Rondahaim Saragih, Mempersatukan Simalungun Melawan Penjajah
Peran Tuan Rondahaim Saragih sangat sentral dalam melawan kolonialisme di Sumatera Timur. Belanda menjuluki Rondahaim sebagai ”Napoleon der Bataks” yang artinya Napoleonnya orang-orang Batak.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Peran Tuan Rondahaim Saragih (1828-1891) sangat sentral dalam melawan kolonialisme dan ekspansi kapitalisme perkebunan di Sumatera Timur. Saat kolonialisme sudah meluas hampir di semua daerah di Sumatera Timur, Rondahaim menghambat kolonialisme masuk ke Simalungun. Dia mempersatukan raja-raja lokal untuk melawan kolonialisme.
”Kita harapkan Rondahaim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada November ini. Sudah waktunya menghargai peran kesejarahan masyarakat Simalungun dalam perjuangan Kemerdekaan. Dari semua kelompok etnik di Sumut, hanya Simalungun yang belum ada pahlawan nasional,” kata Guru Besar Sejarah Universitas Sumatera Utara Budi Agustono, Rabu (11/10/2023).
Rondahaim, gelar Raja Namabajan, mempunyai pandangan visioner tentang masa depan Simalungun yang terbebas dari kekuasaan kolonial waktu itu. Dia sangat berani, taktis, dan cerdik dalam melawan pasukan Hindia Belanda. Rondahaim bersama para panglima perang berhasil menghambat penjajah Belanda masuk ke Simalungun.
Budi menyebut, pada tahun 1860-an, Belanda sudah melakukan ekspansi perkebunan di berbagai daerah di Sumatera Timur. Wilayah yang sebelumnya merupakan hutan belantara dalam waktu singkat digarap jadi kebun. Mereka membuka perkebunan tembakau, karet, kakao, kopi, dan lain sebagainya.
Seiring dengan ekspansi perkebunan, intervensi tangan birokrasi kekuasaan kolonial semakin besar di berbagai daerah Sumatera Timur. Mereka melakukan tekanan politik kepada kekuasaan-kekuasaan tradisional. ”Bahkan, apabila ingin melakukan sirkulasi kekuasaan politik harus mendapat persetujuan Belanda, baik melalui residen atau asisten residen,” kata Budi.
Raja-raja daerah di Sumatera Timur pun menjadi bagian birokrasi kolonial. Mereka mempunyai ketergantungan politik dan ekonomi yang sangat kuat kepada Belanda. Perusahaan perkebunan Belanda memberikan semacam konsesi yang dibayar kepada kekuasaan lokal. Bayaran itu yang menjadi pendapatan raja-raja lokal.
Peninggalan senjata pasukan Simalungun berupa meriam masih bisa dilihat di beberapa tempat di Simalungun dan sekitarnya.
Di tengah kondisi ini, Rondahaim dengan tegas menolak tunduk pada kekuasaan kolonial. Dia melawan dan membangkang kepada kekuasaan Belanda. Ia justru mempersatukan raja-raja lokal dan panglima perang di Simalungun yang pada waktu itu sudah terpecah-pecah menjadi bagian kecil.
”Dengan cepat, Rondahaim membangun satu kekuatan besar untuk melawan kapitalisme kolonial,” kata Budi.
Mereka menyerang markas-markas Belanda dalam waktu-waktu tertentu. Menggunakan strategi gerilya malam lalu tiba-tiba muncul di hadapan pasukan Belanda. Mereka, misalnya, berhasil menyerang markas Serbelawan yang menjadi mesin perang Belanda waktu itu.
Selama kekuasaan Rondahaim, Belanda tak bisa memperluas perkebunan ke wilayah Simalungun. Namun, perjuangan Simalungun melemah saat Rondahaim meninggal pada 1891. Visi Rondahaim untuk menjadikan Simalungun bebas dari kolonialisme berlahan-lahan pupus.
Memasuki tahun 1900-an, tidak ada lagi perlawanan besar dari Simalungun. Raja-raja lokal di Simalungun akhirnya menyatakan tunduk pada Belanda. Ekspansi kolonial meluas hingga ke perkampungan-perkampungan Simalungun. Salah satu proyek perkebunan besar di Simalungun adalah kebun teh Sidamanik yang mulai dibuka pada 1917. Kebun teh itu hingga kini masih beroperasi di bawah PT Perkebunan Nusantara IV.
Setelah tunduk pada kekuasaan Belanda, raja-raja di Simalungun menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Mereka akhirnya menerima konsesi dari hasil perkebunan yang digarap perusahaan Belanda. ”Hal ini memperlemah posisi sosial politik raja-raja di Simalungun,” kata Budi.
Lukman Rudi Saragih Garingging (56), cicit dari Rondahaim, mengatakan, Rondahaim adalah raja ke-14 di Partuanan Raya. Pusat kekuasaan kerajaan itu berada di wilayah yang saat ini menjadi Kecamatan Raya, ibu kota Simalungun.
Rudi menyebut, Rondahaim mempersatukan raja-raja di wilayah Simalungun, yakni Raja Siantar, Bandar, Sidamanik, Tanah Jawa, Pane, Raya, Purba, Silimakuta, dan Dolok Silau. Rondahaim membentuk pasukan tempur dengan dipimpin Panglima Besar Torangin Damanik yang berasal dari Kerajaan Sidamanik.
Pasukan perang Simalungun juga mempunyai senjata api yang dibeli dengan sistem barter hasil bumi. Mereka membelinya dari Kota Malaka, Malaysia, yang ketika itu dikuasai Portugis. Peninggalan senjata pasukan Simalungun berupa meriam masih bisa dilihat di beberapa tempat di Simalungun dan sekitarnya.
Rondahaim sangat ditakuti Belanda karena merupakan pemimpin yang cerdik dan berani. Suatu ketika, Belanda mengajak Rondahaim untuk berunding di Pelabuhan Matapao. Ia sangat mewaspadai ajakan itu. Ia lalu mengumpulkan pasukannya dan memilih orang yang paling mirip dengannya. Ia juga dipakaikan baju raja.
”Sesaat sebelum sampai di tempat perundingan, orang yang menyamar menjadi Rondahaim itu ditembak mati oleh tentara Belanda,” kata Rudi.
Rudi menyebut, Rondahaim dan pasukannya juga ikut bertempur dalam perang di wilayah residen Sumatera Timur. Dia juga ikut dalam pembakaran perkebunan tembakau yang sudah digarap Belanda.
Napoleon der Bataks
Ketua Umum Partuha Maujana Simalungun Sarmedi Purba mengatakan, Belanda menjuluki Rondahaim sebagai ”Napoleon der Bataks” yang artinya Napoleonnya orang-orang Batak. Hal itu karena kepemimpinannya yang kuat dan sulit ditaklukkan sebagaimana Napoleon Bonaparte (1769-1821), pemimpin politik dan militer Perancis yang disegani.
”Atas perjuangan luhur dan luar biasa Tuan Rondahaim, masyarakat Simalungun terus memperjuangkannya untuk mendapat gelar pahlawan nasional,” kata Sarmedi.
Sarmedi menyebut, Presiden BJ Habibie telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Jasa kepada Rondahaim pada 13 Agustus 1999. Sejak saat itu, pengusulan Rondahaim sebagai pahlawan nasional mengemuka. Upaya pengusulan itu semakin intensif dilakukan sejak 2010. Tahun ini, Gubernur Sumut juga kembali mendukung dan merekomendasikan Rondahaim mendapat gelar pahlawan nasional.
Di Kabupaten Simalungun, pemerintah kabupaten telah menggunakan namanya pada Rumah Sakit Umum Daerah Tuan Rondahaim Saragih. Di Kota Pematang Siantar namanya digunakan sebagai nama jalan.
Perjuangan Rondahaim juga telah dirangkum dalam buku berjudul Napoleon der Bataks (2013) yang ditulis oleh Erika Revida Saragih, Budi Agustono, Suprayetno, Heristina Deti, dan Pendeta Juanda Raya Purba. ”Semoga perjuangan luhur Tuan Rondahaim melawan penjajahan Belanda dikenang dan diteladani warga masyarakat Indonesia,” kata Sarmedi.