”Smart Farming” Lanud El Tari, Adaptasi pada Kekeringan
Ratusan ribu tanaman jagung yang tumbuh subur di sekitar Lanud El Tari seakan menyatakan perlawanan terhadap kekeringan ekstrem. Menolak tunduk pada alam yang tandus.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Terpaan suhu sekitar 36 derajat celsius membuat hamparan lahan seluas tujuh hektar makin kering dan berdebu. Tampak di permukaan tanah itu retak-retak. Namun, ratusan ribu tanaman jagung tumbuh menjulang dan subur.
Senin (9/10/2023) siang itu, sensor kelembaban tanah yang terpasang di setiap blok lahan mengirimkan sinyal informasi ke pusat data. Terbaca derajat kelembaban tanah di areal itu mendekati titik nol sehingga memerlukan tindakan segera berupa penyiraman.
Lewat gawainya, Ronald Stefanus Gunawan, pengelola kebun, merespons laporan itu. Ia perintahkan keran air dibuka. Segeralah air mengalir melalui pipa yang dilewatkan pada setiap tanaman. Di tanaman itu, air keluar melalui lubang pipa.
Pihak Pangkalan TNI Angkatan Udara El Tari Kupang selaku pemilik lahan pertanian itu menyebutkan, sistem yang digunakan itu adalah smart farming. Alasannya, sistem itu menggunakan perangkat teknologi internet, teknik irigasi tetes, dan minimnya tenaga kerja. Sistem dapat dikendalikan dari jarak jauh.
Dengan sistem tersebut, lahan Lanud El Tari Kupang menjadi satu-satunya lahan kering di NTT yang masih terus berproduksi di tengah El Nino yang menerjang seluruh wilayah Indonesia. Di NTT, 14 dari 22 kabupaten/kota telah ditetapkan dalam kategori siaga darurat bencana kekeringan.
Di Kabupaten Kupang, misalnya, banyak petani meninggalkan lahan lantaran kehabisan air. Lahan pertanian telah berubah menjadi tempat pengembalaan sapi. Padahal, tahun lalu, mereka masih sempat menanam jagung. Sudah lebih dari 60 hari tidak ada hujan di daerah itu.
Ronald menuturkan, pengairan di lahan smart framing itu memanfaatkan air dari sumur bor yang volumenya terbatas. Air disedot menggunakan pembangkit tenaga surya yang beroperasi hanya tujuh jam. Dalam sehari hanya diambil 105.000 liter air untuk kebutuhan tujuh hektar tanaman.
”Di sinilah kekuatan irigasi tetes. Kita tidak buang-buang air. Proses pengairan lebih presisi. Irigasi tetes ini cocok untuk daerah minim air, seperti NTT,” ujarnya. Jika dibandingkan dengan pengairan konvensional, irigasi tetes dapat menghemat air hingga 70 persen.
Selain menghemat air, sistem tersebut juga efisien dalam pemupukan. Menghemat biaya pupuk hingga 30 persen dan mengurangi ongkos tenaga kerja. Proses penyiraman dan pemupukan tidak lagi memerlukan tenaga manusia. Efisiensinya sejak lahan mulai dikerjakan tahun ini hingga melewati panen perdana pada 18 Juli 2023.
Dari sisi produktivitas, di tengah bencana kekeringan ekstrem seperti saat ini, hasil panen tidak mengecewakan. Berdasarkan hasil panen bulan lalu, satu hektar bisa menghasilkan antara 4 ton dan 5 ton jagung. Angka ini jauh di atas rata-rata produktivitas lahan kering di NTT yang maksimal hanya 2 ton.
Adaptasi perubahan iklim
Komandan Pangkalan TNI AU El Tari Kupang Marsekal Pertama Aldrin Petrus Mongan mengatakan, inisiatif pembukaan lahan pertanian dengan konsep smart farming, itu berangkat dari kepedulian TNI AU terhadap persoalan pangan di NTT. Setiap musim kemarau panjang, daerah itu sering kali mengalami rawan pangan.
Rawan pangan disebabkan berkurangnya hasil pertanian lantaran minim ketersediaan air. Sebagian besar petani di NTT mengandalkan tadah hujan. Dalam satu tahun, mereka hanya bisa menanam satu kali, dan hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan sepanjang tahun.
Konsep smart farming sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim yang kini semakin terasa dampaknya. Kekeringan yang berkepanjangan merupakan bagian dari dampak perubahan iklim. Ke depan, kondisi iklim diprediksi makin tidak menentu.
Dengan adanya konsep ini, Aldrin berharap dapat dijadikan contoh untuk dikembangkan di daerah lain di NTT. ”Kami buka lahan ini di dekat bandara agar mudah dijangkau oleh masyarakat. Silakan belajar di sini. Kami dengan senang membantu,” ujar Aldrin.
Aldrin menyadari sistem irigasi tetes memerlukan biaya tambahan, seperti pengadaan pipa serta beberapa perangkat pendukung. Tidak semua petani memiliki modal yang cukup. Ia menyarankan, bagi masyarakat yang tertarik, pihaknya akan membantu menjembatani akses bantuan, baik pemerintah daerah maupun perbankan, lewat kredit usaha rakyat.
Selain tanaman, lanjut Aldrin, di lokasi itu sudah beroperasi peternakan sapi. Kini terdapat 26 sapi yang dilakukan penggemukan. Pakan sapi diambil dari batang jagung hasil pertanian. ”Sistemnya kami buat terintegrasi,” ujarnya. Dengan kekuatan pakan yang ada, mereka menargetkan 1.000 sapi.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT Lecky F Koli mengapresiasi konsep pertanian terintegrasi yang diterapkan Lanud El Tari Kupang. Konsep itu senafas dengan program Pemprov NTT, yakni Tanam Jagung Panen Sapi.
Selain modal, kata Lecky, tantangan dalam memajukan sektor pertanian di NTT adalah peningkatan etos kerja. Di sejumlah daerah, banyak lahan tidak dimanfaatkan untuk pertanian dan peternakan. Ia mengajak masyarakat NTT agar belajar menerapkan pertanian modern dan terintegrasi seperti di Lanud El Tari.
Kini, banyak orang mulai belajar lahan Lanud El Tari. Berbardus Boli Alior, mahasiswa semester akhir dari Universitas Nusa Cendana Kupang, bersama teman-teman melakukan magang di lokasi pertanian tersebut. Mereka pun bertekad membangun usaha skala mikro.
”Kami terdorong berwirausaha di sektor pertanian. Dari sisi ekonomi, usaha ini menjanjikan karena setiap orang butuh makanan yang dihasilkan dari pertanian,” ujar anak petani dari Kabupaten Lembata itu.
Keberadaan lahan pertanian berkonsep smart farming di sekitar kompleks militer Lanud El Tari Kupang telah menginspirasi banyak orang untuk memajukan pertanian di NTT. Di tengah El Nino, mereka menyulap lahan kering menjadi areal pertanian yang subur dan produktif.