Sengketa Lahan di Lampung Tengah, 126 Petani Pilih Lepaskan Lahan
Sengketa lahan di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, antara masyarakat dan perusahaan pemegang izin hak guna usaha masih terus bergulir. Sejumlah petani memilih melepaskan lahan, tetapi ada juga yang tetap bertahan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
LAMPUNG TENGAH, KOMPAS — Sebanyak 126 petani dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, memilih melepaskan lahan garapan mereka kepada PT Bumi Sentosa Abadi. Dari jumlah itu, 79 petani sudah mendapat ganti rugi. Namun, sebagian petani masih menolak menyerahkan lahannya.
Ketua Tim Kelompok Kerja Ganti Rugi Tanam Tumbuh PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) Kusuma Haryadi mengatakan, total lahan yang telah diserahkan petani kepada perusahaan seluas 343,65 hektar. Lahan yang disebut masuk dalam area hak guna usaha (HGU) itu diserahkan 126 petani. Menurut Haryadi, pihak perusahaan telah memverifikasi data dan survei di lapangan. Setelah proses verifikasi, perusahaan memberikan uang ganti rugi tanam tumbuh untuk petani. ”Dari data tersebut, yang sudah terverifikasi 200,94 hektar. Ada 79 petani yang sudah mendapat uang ganti tanam tumbuh,” kata Kusuma, Selasa (10/10/2023).
Hingga saat ini, perusahaan telah mengucurkan uang ganti rugi tanam tumbuh sebesar Rp 592 juta untuk petani. Perusahaan juga masih menerima jika ada petani yang ingin mendaftar untuk bisa mendapatkan ganti rugi. Dana ganti rugi disediakan hingga Rp 2,5 miliar.
Sementara itu, Firdaus, juru bicara petani yang menolak menyerahkan lahan, menuturkan, masih ada ratusan petani yang memilih bertahan. Alasannya, tanah itu menjadi satu-satunya sumber penghidupan warga.
Menurut dia, saat ini, warga yang menolak melepaskan lahan semakin terdesak. Warga bahkan tidak bebas beraktivitas di kebun. Sebab, tiap hari aparat kepolisian berpatroli di sekitar lahan.
Sejumlah petani juga dibujuk agar bersedia melepaskan lahan dan mengambil uang ganti rugi yang disiapkan perusahaan. Aktivitas itu dianggap petani sebagai bentuk intimidasi.
”Kami meminta perlindungan pemerintah,” katanya.
Kepala Bidang Humas Polda Lampung Komisaris Besar Umi Fadilah Astutik menuturkan, konflik lahan di Anak Tuha sudah berlangsung sejak 2014. Bahkan, sengketa lahan itu sudah melalui proses gugatan kasasi hingga Mahkamah Agung.
Awalnya, lahan di tiga kampung tersebut dikelola PT Chandra Bumi Kota atas dasar penerbitan HGU selama 25 tahun, kurun waktu 1968-1993. Izin HGU perusahaan itu kembali diperpanjang selama 25 tahun, 1991-2006.
Namun, tahun 1990, PT Chandra Bumi Kota diambil alih PT BSA, berikut asetnya berupa lahan singkong dan tebu. PT BSA lalu mengajukan HGU di lahan tersebut untuk kurun waktu tahun 2005-2040.
”Menurut perusahaan, dari 955 hektar lahan yang telah diterbitkan HGU-nya, hanya 60 hektar dapat dikelola,” katanya.
Umi menyebut, warga yang mengklaim memiliki lahan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gunung Sugih tahun 2014. Namun, gugatan itu ditolak sehingga masyarakat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Tanjung Karang pada tahun 2016. Upaya banding warga kembali ditolak di tingkat PT.
”Masyarakat lalu melakukan upaya hukum lebih lanjut dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2017. MA juga menolak permohonan kasasi,” katanya. Atas dasar itulah, perusahaan melakukan eksekusi lahan.