Irigasi Tetes di Lanud El Tari, Solusi Pertanian Lahan Kering NTT
Konsep irigasi tetes dikembangkan di Lanud El Tari, NTT. Konsepnya dapat dijadikan contoh bertani di lahan minim air.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Di tengah bencana kekeringan yang melanda hampir seluruh Nusa Tenggara Timur, Pangkalan TNI Angkatan Udara El Tari Kupang mengembangkan smart farming dengan sistem irigasi tetes. Konsep ini menjadi salah satu alternatif solusi bertani di lahan minim air.
Pada Senin (9/10/2023), lahan lebih kurang 7 hektar di sekitar pangkalan penuh tanaman jagung dan sorgum. Selain jagung siap panen, ada yang baru berumur tiga minggu.
Jagung tumbuh dalam beberapa blok berdasarkan umur tanaman. Semuanya disiram air sumur bor.
Setelah dicampur pupuk cair, air lalu dialirkan melalui pipa dan menetes di setiap tanaman. ”Dalam satu hari, proses pengairan setiap tanaman butuh dua jam,” kata Ronald Stefanus Gunawan, pengelola lahan.
Mekanisme pengairan dimulai dari perekaman derajat kelembaban tanah oleh sensor di setiap blok. Informasi itu kemudian dikirim ke pusat data. Jika derajat kelembabannya rendah, sistem lantas memerintahkan penyiraman.
Menurut Ronald, dengan sistem ini, penggunaan air lebih efisien dan presisi. Jika dibandingkan dengan teknik konvensional, cara itu dapat menghemat air hingga 70 persen.
”Cocok untuk daerah minim air seperti NTT,” ujar Ronald, seorang sarjana kedokteran.
Areal itu, menurut dia, dulu adalah lahan tidur tandus. Sekitar enam bulan lalu atau awal musim kemarau, Ronald memulai proyek itu. Kini, setelah satu kali panen, hasilnya tidak mengecewakan.
Dari 1 hektar, Ronald mengatakan, bisa menghasilkan 5 ton jagung. Jumlahnya diklaim tinggi untuk kategori lahan kering di NTT. Poduktivitas jagung di NTT rata-rata 2 ton per hektar.
”Kondisi iklim sekarang memang tidak ideal karena penguapan sangat tinggi. Potensinya bisa sampai dua kali lipat,” ucapnya.
Komandan Pangkalan TNI AU El Tari Kupang Marsekal Pertama Aldrin Petrus Mongan mengatakan, lahan itu dibuka karena kepedulian terhadap kondisi pangan di NTT. Minim air, tanaman pangan sebagian besar diolah mengandalkan tadah hujan.
Ia berharap lahan smart farming itu dapat dikembangkan di daerah lain. ”Kami buka di dekat bandara agar mudah dijangkau masyarakat. Silakan belajar di sini. Kami dengan senang membantu,” ujar Aldrin.
Menurut dia, sistem irigasi tetes memang memerlukan biaya tambahan, seperti pengadaan pipa serta perangkat pendukung lain. Jika ada petani yang serius belajar tapi terkendala modal, dia bisa menjembataninya dengan pemerintah daerah atau kredit usaha rakyat.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Lecky F Koli mengapresiasi konsep smart farming itu. Konsepnya senapas dengan semangat pengolahan lahan yang efektif, eifisien, dan menyesuaikan dengan kondisi alam.
Lecky sudah melihat langsung areal pertanian tersebut. Ia berharap pemerintah kabupaten/kota mengirim tim untuk melakukan studi banding. Lembaga pendidikan juga bisa belajar di sana.