Empat buah buku seri ”Babad Pasir” diluncurkan untuk menambah khazanah literasi di Banyumas. Kisahnya tentang sepak terjang Raden Kamandaka.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS – Penerjemah Nassirun Purwokartun menerbitkan empat buku seri Babad Pasir. Buku itu terjemahan dari naskah aksara Jawa dan diharapkan menambah khazanah literasi Banyumas.
Keempat buku itu adalah Babad Kamandaka: Legenda Purwokerto, Serat Kamandaka: Legenda Purwokerto,Layang Kamandaka: Legenda Purwokerto, dan Babad Pasirluhur: Sejarah Purwokerto. Secara garis besar, kisahnya tentanghidup dan sepak terjang Raden Kamandaka.
Nassirun mengatakan, Babad Pasir ada 39 bab. Bahkan, tercatat 1.426 bait. Jumlah itu tergolong panjang dibandingkan naskah lain.
”Babad Banyumas saja hanya 600-800 bait. Mengapa saya tertarik, karena belum ada yang menerjemahkan secara utuh,” kata Nassirun di Desa Mandirancan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Sabtu (7/10/2023).
Raden Kamandaka jadi tokoh sentral dalam buku-buku itu. Babad Kamandaka: Legenda Purwokerto, misalnya, mengisahkan perjalanan Raden Kamandaka dari Kerajaan Pajajaran. Dia tengah mencari calon istri yang persis sama dengan ibunya.
Ternyata gadis yang dicarinya berada di Kerajaan Pasirluhur. Namun, kisah cintanya tidak berjalan mulus.
Serat Kamandaka: Legenda Purwokerto, ujar Nassirun, mengisahkan pertarungan Raden Kamandaka dengan Raden Silihwarni. Ada juga cerita perjuangannya menjadi Raja Pajajaran.
Selain itu, ditulis kisah kasihnya dengan Dewi Ciptarasa. Penyamarannya menjadi Lutung (Kasarung) juga dipaparkan.
Selanjutnya, buku ketiga Layang Kamandaka: Legenda Purwokerto mengisahkan pertarungan Raden Kamandaka dengan pasukan Kerajaan Nusakambangan. Pertarungan dipicu balas dendam Kerajaan Nusakambangan setelah kematian Prabu Pulebahas.
Di buku yang sama juga diceritakan pengangkatan Raden Kamandaka menjadi Raja Pasirluhur. Dia bergelar Adipati Banyak Catra.
Sementara itu, buku keempat Babad Pasirluhur: Sejarah Purwokerto mengisahkan keturunan Raden Kamandaka yang menjadi raja di Pasirluhur. Dikisahkan juga datangnya pengaruh Islam dari Demak dan menjadikannya sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa bagian selatan. Pada buku keempat ini diceritakan lahirnya ibu kota Pasir, yaitu Purwokerto.
Anggota DPRD Jateng, Jasiman, yang hadir dan mendukung penerbitan buku itu mengapresiasi upaya Nassirun. ”Setiap kali saya datang, pasti saya banyak berguru dari beliau tentang banyak hal, terutama tentang budaya, sejarah, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Menurut Jasiman, kisah sejarah dalam Babad Pasir dan Banyumas bisa menjadi kekayaan untuk dikemas menjadi wisata sejarah. Tempat-tempat petilasan bisa menjadi lokasi studi, kunjungan, dan meningkatkan ekonomi masyarakat.
Airlangga, peserta bedah buku, penasaran dengan kisah-kisah sejarah Banyumas dan ingin mendengarkan penelusuran legenda dan sejarah yang dilakukan Nassirun. ”Saya suka sejarah dan saya kelahiran Banyumas. Memang sumber-sumber aslinya sulit dibaca. Orang awam seperti saya lebih mudah mencernanya yang ringan-ringan,” kata Airlangga.