Berebut Lahan di KEK Likupang
Seolah mendatangkan investasi swasta tak cukup sulit, pembangunan di KEK Likupang menghadapi hambatan lain yang justru berasal dari pemerintah sendiri.
Seolah mendatangkan investasi swasta tak cukup sulit, pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Likupang di Sulawesi Utara juga menghadapi hambatan lain yang justru berasal dari pemerintah sendiri. Area perkebunan kelapa di sekitar kawasan tak dapat digunakan karena berbenturan dengan kepentingan badan usaha milik negara.
Pada akhir 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2019 diterbitkan untuk meresmikan eksistensi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang di atas lahan 197,4 hektar di pesisir utara Likupang Timur, Minahasa Utara. Pemilik lahan, PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD), ditunjuk pula selaku badan usaha pembangun dan pengelola (BUPP).
Kebijakan itu adalah sebuah langkah efektif pemerintah untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru melalui destinasi pariwisata superprioritas (DPSP). ”Salah satu syarat KEK, minimal 50 persen tanah harus sudah dikuasai, clean and clear,” kata Elvira Katuuk, Pelaksana Tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulut, pertengahan September 2023.
Seluruh lahan tersebut memang sudah dimiliki PT MPRD setidaknya sejak 1989, tetapi hampir 30 tahun praktis hanya jadi lahan tidur. Ia dikelilingi perkebunan kelapa seluas lebih kurang 1.370 hektar yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV, bekas onderneming pada masa kolonial Belanda.
PTPN XIV menegaskan kuasanya atas area perkebunan tersebut dengan mendirikan papan-papan penanda bertuliskan ”Aset Negara Milik PT Perkebunan Nusantara XIV” disertai nomor hak guna usaha (HGU) 09/HGU/BPN/1990. Namun, siapa sangka, ketika kini fokus pemerintah bergeser ke pengembangan pariwisata, hal ini justru menjadi masalah.
BUMN itu disebut enggan melepas area perkebunan sehingga beberapa proyek infrastruktur pemerintah, dari membangun jalan, kantor, sampai pusat pengolahan air bersih, tidak dapat berlangsung. Padahal, kata Elvira, masa berlaku HGU sudah berakhir sejak 2015.
Baca juga: Sulitnya Mendatangkan Turis ke KEK Pariwisata yang Belum Berwujud
”Seharusnya, tanah itu udah dimiliki negara, kan? Karena itu HGU, berarti lahan itu bukan aset mereka. Yang menjadi aset mereka adalah usaha yang ada di atas tanah itu, misalnya pohon. Tetapi, katanya lahan itu tercatat di dalam neraca perusahaan mereka,” keluh Elvira.
Kantor cabang PTPN XIV yang berupa bangunan tua bergaya kolonial di dekat gerbang Desa Marinsow, salah satu desa di lingkar KEK Likupang, bahkan kini sudah tak berpenghuni. Aktivitas administratif berlangsung dari Makassar, Sulawesi Selatan. Kompas telah menghubungi nomor telepon yang tertera di laman PTPN XIV, tetapi tak ada yang aktif.
Proyek-proyek infrastruktur pendukung pariwisata pun tak dapat berlangsung. Patricia Languju, Perencana Muda Bidang Infrastruktur di Bappeda Sulut, mencontohkan sebuah proyek penataan di Pantai Paal, Desa Marinsow, yang sebenarnya dipaketkan dengan pembangunan Malalayang Beach Walk di Manado dan Kawasan Ekowisata Pulau Bunaken tak dapat terlaksana karena lokasinya berada di atas lahan eks HGU PTPN XIV.
”Kalau mau dibilang perkebunan, memang ada kelapanya, tetapi aktivitasnya enggak kelihatan. Kantor mereka (PTPN XIV) saja sudah tidak operasional. Cuma, mereka mau minta perpanjangan izin usaha dengan HGU itu lagi,” kata Patricia.
PTPN XIV, lanjut Patricia, kini sedang mengajukan rekomendasi tata ruang dari Pemprov Sulut. ”Tetapi, karena pemprov ingin mendukung pembangunan KEK Likupang yang (menurut rencana induk) banyak berdiri di lahan eks HGU, rekomendasi tata ruang itu belum diterbitkan pemprov. Jadi, proses perizinan PTPN XIV belum bisa lanjut,” ujarnya.
Karena perkara lahan itu pula, kantor administrator KEK serta kantor BUPP yang menurut rencana berdiri di dekat bundaran KEK Likupang belum bisa dibangun. Elvira bilang, pemerintah juga masih perlu membangun jalan sepanjang 450 meter dari bundaran ke area lahan PT MPRD di atas tanah eks HGU PTPN XIV.
Bundaran KEK Likupang, yang menjadi gerbang masuk utama, sesungguhnya bercabang tiga. Namun, cabang jalan aspal itu berujung buntu ke tanah perkebunan. Bahkan, ada petani lokal yang mendirikan gubuk dan menanam jagung di sana.
Sebenarnya, masalah itu bisa saja selesai kalau Pemprov Sulut mau membeli lahan tersebut. ”Nah, itu yang kami pemerintah daerah tidak punya kapasitas, keberatan. Masa negara bayar ke negara?” kata Elvira.
Untuk itu, Gubernur Sulut Olly Dondokambey disebut telah berdialog dengan pemerintah pusat. Isu ini juga telah diwacanakan sejak dua-tiga tahun lalu meski tak kunjung mendapatkan solusi. Maka, penyelesaiannya akan diupayakan lewat rapat koordinasi nasional.
Menurut Elvira, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian serta Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi dilibatkan untuk mencari jalan keluar dari situasi ini. ”Itu sudah di ranah pemerintah pusat untuk pengambilan keputusan, high level,” katanya.
Perencanaan di KEK harus lebih kepada mendorong investor asing ataupun nasional untuk hadir di Sulut. Kalau kita berkutat untuk fokus pada lahannya, bisa jadi (investor) salah interpretasi. ( Henry Kaitjily)
Di sisi lain, Leo Rustandi, pemilik sekaligus Direktur Investasi dan Pengembangan Pariwisata PT MPRD, mengakui keadaan ini cukup menghambat pengembangan infrastruktur di KEK Likupang. Akan tetapi, ia yakin masih ada solusi kreatif dan kolaboratif yang dapat sama-sama menguntungkan para pemangku kepentingan di KEK serta PTPN XIV.
”Saya rasa mungkin akan baik juga kalau PTPN (XIV) bisa bersama-sama dengan kita membangun (wilayah) ini. Kita bisa masuk ke agritourism (pariwisata perkebunan). Itu tidak hanya untuk wisata, tetapi juga menghasilkan,” ujarnya.
Konsep kolaborasi tersebut Leo sebut masih sejalan dengan konsep pariwisata regeneratif yang diusung oleh PT MPRD di KEK Likupang. Hasil perkebunan, dalam hal ini buah, nantinya dapat diserap untuk kebutuhan pariwisata. ”Kalau lebih, bisa jadi supply ke kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Kalau lebih, bisa kita ekspor,” kata Leo.
Kendati begitu, ini adalah sebuah mimpi besar. Leo mengatakan, dibutuhkan peran pemerintah untuk melaksanakan ini semua. ”Saya sebenarnya sangat senang dengan (peran) pemda kabupaten dan provinsi. Mereka blessing bagi kami,” katanya.
Baca juga: Beban Ekspektasi Sulut pada Pundak KEK Likupang
Kepala Dinas Pariwisata Sulut Henry Kaitjily mengatakan, persoalan lahan dengan PTPN XIV masih terus diusahakan. Namun, ia lebih ingin berfokus pada upaya untuk segera mendatangkan investasi swasta. Sebab, antara 2019 dan 2023, investasi Rp 372 miliar yang masuk ke KEK Likupang didominasi oleh infrastruktur dasar dari pemerintah.
”Perencanaan di KEK harus lebih kepada mendorong investor asing ataupun nasional untuk hadir di Sulut. Kalau kita berkutat untuk fokus pada lahannya, bisa jadi (investor) salah interpretasi. Ini tergantung PT MPRD juga. Kan, mereka harus berupaya untuk mencari solusi?” ujarnya.