Sulitnya Mendatangkan Turis ke KEK Pariwisata yang Belum Berwujud
Setelah empat tahun KEK Likupang ditetapkan, belum ada pembangunan selain infrastruktur dasar.
Sarce Natari (42), warga Desa Pulisan di pesisir Kabupaten Minahasa Utara, sangat bersyukur ketika mengetahui namanya terdaftar sebagai penerima hibah penginapan (homestay) dari pemerintah pusat pada 2020 lalu. Tak pernah tebersit dipikirannya, ia akan menjadi pengusaha pariwisata tanpa modal sepeser pun.
Dalam hitungan bulan setelah diumumkan, program hibah itu langsung dilaksanakan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun sebanyak 211 homestay di Desa Pulisan serta dua desa di sebelahnya, yakni Marinsow dan Kinunang, seiring dengan infrastruktur dasar seperti jalan aspal.
Ketiga desa itu terletak di wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang yang ditetapkan Presiden pada akhir 2019 sebagai satu dari lima Destinasi Pariwisata Superprioritas (DPSP). Dengan homestay tersebut, masyarakat diharapkan dapat memetik keuntungan dari gelombang perkembangan industri pariwisata yang akan datang.
Ada dua tipe homestay, yaitu rumah kayu dan rumah beton alias paviliun dengan nilai yang sama, yaitu Rp 110 juta. Dana tersebut ditransfer secara bertahap ke rekening penerima hibah untuk dikelola sendiri dalam proses pembangunan sesuai desain yang telah ditetapkan Kementerian PUPR.
Sarce mendapatkan yang berbentuk rumah kayu. Meski terkendala oleh tukang-tukang yang gemar membengkakkan biaya material, ibu dua anak itu menyatakan pembangunan berlangsung lancar hingga rampung pada awal 2021. Ia kemudian menamai homestay itu dengan kedua nama buah hatinya, Echa & Icha.
”Saya secara pribadi sangat bersyukur dengan adanya KEK karena banyak fasilitas hidup masyarakat yang dibangun untuk membantu masyarakat. Salah satunya, ya, dengan dibukanya lapangan kerja bagi masyarakat (melalui homestay),” kata Sarce, pertengahan September 2023 lalu.
Baca juga: Harapan dan Berkat Sejahtera dari KEK Likupang
Sejak proyek itu rampung, berbagai acara, dari festival sampai pelatihan, digelar berbagai instansi pemerintah daerah di Desa Pulisan, Marinsow, dan Kinunang. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno beberapa kali juga datang. Homestay warga pun semuanya dipesan dan dipakai dengan tarif Rp 250.000 per malam.
Namun, tentu tak ada event yang berlangsung setiap hari sepanjang tahun. ”Pernah disewa satu atau dua minggu, pernah satu bulan, pernah juga cuma sehari. Tapi di luar itu, sebulan sekali memang belum tentu ada tamu. Malah seringnya begitu,” ujar Sarce.
Rosalina Wodi (27), pemilik homestay Brayen yang berdiri tepat di seberang homestay Echa & Icha, juga menyatakan, tamu hanya datang kadang-kadang. Memang ada yang mendadak tiba untuk menginap, tetapi itu sangat jarang terjadi.
”Apalagi, homestay di sini juga banyak, to. Tamu juga pilih-pilih,” kata dia, mengacu pada jumlah penginapan warga yang di Desa Pulisan saja ada 73 unit.
Seiring dengan itu, berembus isu pencabutan status KEK dari Likupang di kalangan warga. Sebab, kecuali infrastruktur dasar yang dibangun pemerintah, sampai kini belum tampak pembangunan pusat-pusat akomodasi pariwisata di kawasan seluas 197,4 hektar yang dikelola oleh PT Minahasa Permai Restor Development (MPRD) itu.
Hanya ada satu resor, yaitu The Pulisan yang dimiliki oleh PT MPRD juga, sedangkan restoran belum ada satu pun. Bupati Minahasa Utara Joune Ganda pun mengakui, selama semester I-2023, hampir 60 persen dari investasi senilai Rp 929,16 miliar yang masuk ke daerahnya didominasi oleh sektor pertambangan, sedangkan sepertiganya perumahan.
Oleh karena itu, untuk sekarang hampir semua tamu yang datang ke kawasan KEK Likupang, terutama wisatawan lokal, hanya berkunjung ke Pantai Paal dan Pulisan atau ke Bukit Larat, kemudian pulang. Tiga destinasi wisata itu dikelola badan usaha milik masing-masing desa.
Cara menjual
Dalam situasi ini, bagaimana cara ”menjual” pariwisata di KEK Likupang yang setelah empat tahun sejak ditetapkan belum memiliki wujud? Padahal, dengan predikat DPSP, Likupang disetarakan dengan Labuan Bajo (NTT), Mandalika (NTB), dan Borobudur (Jateng), dan Danau Toba (Sumut) untuk menjadi lima ”Bali Baru”.
”Karena ini sudah diputuskan (pemerintah), jadi kami all-out untuk mendukung itu. Kami mempromosikan untuk turis yang senang dengan green (dan) eco-marine (tourism), yang bahari gitu. Beberapa destinasi cocok untuk sustainable tourism yang kayakgitu,” kata Ni Made Ayu Marthini, Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf, akhir September 2023.
Made mengakui, belum ada fasilitas pariwisata yang cukup di Likupang, tetapi pihaknya harus tetap jujur dalam upaya pemasaran. Karena itu, segmen wisatawan yang ditarget dalam pemasaran wisata adalah mereka yang gemar menyelam atau snorkeling atau sekadar wisata pantai.
”Turis China, misalnya. Mereka suka ke Manado karena pernah ada film yang syuting di sana. Akhirnya, ada penerbangan carter. Dari Manado dan Bunaken, mereka bisa ke Likupang juga karena Chinese tourists itu suka sekali dengan pantai,” tambah Made.
Penerbangan carter dari China yang dilayani Lion Air, yang selama 2016-2019 bisa meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Sulut hingga 129.000 orang per tahun, belum aktif kembali. Adapun sepanjang Januari-Agustus 2023, jumlah wisman yang dicatat Badan Pusat Statistik Sulut sebanyak 28.270 orang.
Pada saat yang sama, untuk terus menggerakkan roda pariwisata meski KEK Likupang belum berbentuk, Kemenparekraf dan Pemprov Sulut sejak 2021 menyatakan konsep DPSP tidak hanya mencakup Likupang, tetapi mencakup kabupaten/kota di sekitarnya. Artinya, Bunaken di Manado, Selat Lembeh di Bitung, Danau Tondano di Minahasa, dan Pegunungan di Tomohon turut menjadi bagian dari DPSP.
Berembus isu pencabutan status KEK dari Likupang di kalangan warga.
Meski dikhawatirkan membuat publik bingung, Made menilai kebijakan tersebut sudah tepat. ”Kita enggak bisa bergantung pada satu tempat saja, padahal destinasi wisata kita banyak sekali dan bagus. Kita juga tidak ingin terjadi overtourism (kedatangan wisatawan berlebihan) sehingga menyebar. Kesejahteraannya (masyarakat) dapat, lingkungan terjaga juga,” ujarnya.
Meski demikian, agar wisatawan tetap berkunjung ke Likupang, Made meminta pemda mengadakan event pendukung sebagai sarana promosi. Usul ini pun sudah masuk dalam agenda, yaitu Likupang Tourism Festival yang akan dilaksanakan pada akhir Oktober 2023.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Sulut Henry Kaitjily tetap optimistis dengan kondisi Likupang saat ini. Ia mengatakan, PT MPRD memang tidak ingin banyak mengubah bentuk alam di wilayah pesisir Likupang Timur itu.
Baca juga: Beban Ekspektasi Sulut pada Pundak KEK Likupang
”(Konsepnya) Konservasi alam. Nanti akan ada (dermaga) marina, nursery (pusat pembiakan satwa), glamping (kemah mewah), resor, area mendaki, dan pusat konservasi Wallace. Itu titik beratnya,” kata dia.
Karena itu, Henry menyebut pariwisata di Likupang memang ditargetkan untuk orang-orang di kelas ekonomi menengah atas, terutama wisman Eropa yang suka alam terbuka. Maka, wisatawan tidak akan datang secara massal. ”Jadi kita gabungkan pariwisata berkualitas dengan wellness tourism (pariwisata kebugaran),” ujarnya.
Selagi PT MPRD berupaya merealisasikan semua rencana tersebut, pemerintah terus mempersiapkan masyarakat untuk menadah cuan dari pariwisata. Untuk itulah berbagai pelatihan keramahtamahan diadakan bagi warga yang mengelola homestay.
Harapan warga pun mengembang. Mereka ingin KEK Likupang segera jadi, dan mereka ingin aktif terlibat di dalamnya. ”Kalau KEK-nya enggak jadi, buat apa pelatihan itu semua? Bakalan enggak ada gunanya karena pelatihan dan event diadakan di sini hanya karena hubungannya untuk persiapan KEK,” ujar Sarce.