Kekeringan di Kabupaten Kupang Kian Parah, Debit Air Terus Berkurang
Dampak kekeringan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kian parah. Debit air di sungai dan sumur terus berkurang dan terancam kering jika musim kemarau terus berlangsung hingga November 2023.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah wilayah di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, kian terdampak kekeringan akibat El Nino. Debit air baik di sungai maupun sumur terus berkurang dan terancam kering jika musim kemarau masih terus berlangsung hingga November nanti.
Di Desa Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, air sungai yang biasa digunakan petani untuk menyiram tanaman sayuran kini hampir kering. Oleh karena itu, para petani sayuran tidak lagi mengolah lahannya.
”Tahun sebelumnya, air sungai masih bisa bertahan sampai musim hujan,” ujar salah seorang warga Desa Tanah Merah, Mikhael Kase (60), Rabu (4/10/2023).
Menurut Mikhael, pada tahun sebelumnya, sempat turun hujan beberapa kali selama musim kemarau. Hujan itu menambah pasokan air di sungai dan air tanah. ”Tahun ini, sudah puluhan hari tidak ada hujan,” ucapnya.
Dia memperkirakan, apabila hingga akhir bulan Oktober tidak turun hujan, sejumlah sumur dan sungai di daerah itu akan benar-benar kering. ”Dan kami tidak tahu lagi mau cari air dari mana,” katanya.
Jika air sungai dan sumur telah mengering, warga Desa Tanah Merah terpaksa membeli air yang diambil dari sumur bor, lalu dijual dengan mobil tangki. Satu tangki berisi 5.000 liter air dijual dengan harga Rp 100.000.
Namun, menurut warga Desa Tanah Merah, Agnes (45), banyak warga yang tidak mampu membeli satu tangki air lantaran tak punya cukup uang. ”Nanti kami patungan untuk membeli satu tangki air,” ujarnya.
Sementara itu, di Desa Babau, Kecamatan Kupang Timur, sejumlah petani tidak lagi menggarap sawah. Padahal, sebagian sawah di desa itu sudah siap untuk ditanami. Namun, petani tidak mau mengambil risiko dengan menggarap sawah saat ini karena debit air terus menurun.
Apalagi, pasokan dari embung dan bendungan tidak lagi mencapai sawah di desa tersebut. Oleh karena itu, jika dipaksakan tetap ditanami, sawah di desa itu dipastikan bakal mengalami puso atau gagal panen. ”Padi butuh air banyak. Kondisi air saat ini tidak cukup,” kata salah seorang petani, Alex Mone (50).
Kondisi itu membuat banyak petani di Kabupaten Kupang akhirnya beralih menjadi buruh serabutan dengan upah paling tinggi Rp 100.000 per hari. Hal itu mereka lakukan untuk menyambung hidup bersama keluarga. Para buruh tani dan penjual hasil pertanian juga ikut terdampak kekeringan.
Kekeringan panjang akibat El Nino berdampak pada ketersediaan air di sejumlah daerah. Akibat kondisi itu, produksi beras yang hilang bisa mencapai 1,2 juta ton.
Badan Pusat Statistik mencatat, hingga pekan keempat September 2023, sebanyak 297 kabupaten/kota atau 57,78 persen dari 514 kabupaten/kota di Indonesia mengalami kenaikan harga beras. Jumlah itu bertambah dari 230 kabupaten/kota pada pekan pertama September 2023 (Kompas, 4/10/2023).
Padi butuh air banyak. Kondisi air saat ini tidak cukup.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Timur Ambrosius Kodo mengklaim, belum ada dampak yang signifikan akibat kekeringan di provinsi itu. Kesimpulan itu diambil berdasarkan pantauan dari pusat laporan kebencanaan yang disusun secara berjenjang, mulai dari level kabupaten/kota.
”Oleh karena itu, status 14 kabupaten/kota di NTT masih siaga darurat kekeringan, belum masuk ke tanggap darurat. Jika ada dampak yang luar biasa, kami berharap semua pihak proaktif memberikan laporan karena itulah prosedurnya,” katanya.
Kendati belum berstatus tanggap darurat, Ambrosius menyebut, Pemerintah Provinsi NTT sudah menyiapkan sejumlah langkah antisipasi. Dia mencontohkan, saat ini tersedia 100 ton beras di setiap kabupaten/kota di NTT dan 200 ton di tingkat provinsi untuk mengantisipasi kemungkinan kelangkaan pangan akibat kekeringan.