Harga Beras di Kendari Tembus Rp 15.000 Per Kilogram
Sejak sebulan terakhir, harga beras di Kendari, Sultra, melonjak drastis. Harga beras premium di pasar bahkan mencapai Rp 15.000 per kilogram.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Harga beras di Kendari, Sulawesi Tenggara, terus melambung dan dijual di atas harga eceran tertinggi. Harga beras kualitas premium bahkan mencapai Rp 15.000 per kilogram. Kurangnya stok akibat gagal panen dan produksi beras yang lebih banyak dikirim ke luar daerah membuat harga beras terus melonjak.
Eka (36), pedagang beras di Pasar Mandonga, Kendari, menuturkan, harga beras melonjak siginifikan selama satu bulan terakhir. Kenaikan harga terjadi hampir dua kali dalam setiap bulan sehingga mencapai angka yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Untuk beras kualitas medium, tutur Eka, saat ini dijual dengan harga Rp 14.000 per kg atau Rp 680.000 per karung. Sebulan sebelumnya, harga beras ini masih berada di kisaran Rp 12.000 per kg atau Rp 650.000 per karung.
”Kalau untuk beras yang super (premium) kami tidak jual karena sudah terlalu mahal. Ecerannya saja bisa Rp 15.000 per kg. Kami ambil yang menengah saja biar modal tidak tertinggal,” katanya.
Dia menyebut, harga beras yang melonjak membuat penjualan menurun drastis. Sebelumnya, Eka bisa menjual 10 karung beras dalam sebulan. Namun, saat ini, penjualan menurun karena para pembeli mengurangi belanja.
Pedagang lainnya, Abdul Haris (55), menuturkan hal yang sama. Ia biasanya memiliki stok 100 karung beras setiap bulan. Namun, meski telah hampir tiga minggu berjualan, stok beras miliknya masih tersisa setengah.
Menurut Haris, hal ini disebabkan harga beras yang terus melonjak dalam beberapa waktu terakhir. Harga beras medium, misalnya, telah naik sejak Agustus, dari harga Rp 580.000 per karung menjadi Rp 615.000 per karung. Terakhir, ia menjual dengan harga Rp 650.000 per karung.
”Untuk yang kualitas premium itu sekarang Rp 720.000 per karung, kami jual Rp 15.000 per kg. Mau tidak mau dijual segitu karena harganya sudah tidak menutupi kalau tetap dijual Rp 13.000 setiap kg,” ujarnya.
Menurut Haris, tingginya harga beras itu terjadi karena stok beras yang kurang akibat dampak kekeringan. Sebagian sawah petani terkena puso sehingga gagal panen. Saat ini, para pengepul berani membeli beras meski masih di penggilingan. Padahal, biasanya beras digiling dulu baru dibayar setelah tiba di lokasi tujuan. Hal ini terjadi akibat sulitnya mendapatkan beras di sentra-sentra penanaman.
Sementara itu, sejumlah warga mengeluhkan tingginya harga beras di Kendari. Asrul (44), pedagang makanan di Kendari, menyampaikan, harga beras yang semakin naik membuat usahanya tercekik. Sebab, ia tidak ingin menaikkan harga jualannya karena takut pelanggannya hilang.
”Harga tetap, tetapi modal naik. Jadi, untung sudah sangat tipis. Kalau kasih naik harga, pembeli tidak ada. Dibanding usaha mandek, mending seperti ini. Yang kami takutkan kalau harga terus naik ke depannya,” ujarnya.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra La Ode Fitrah Arsad menjelaskan, harga beras mengalami kenaikan sejak beberapa waktu terakhir. Kondisi ini disebabkan hasil panen petani di Sultra lebih banyak dikirim ke luar daerah.
”Kami sudah menginstruksikan agar pabrik-pabrik penggilingan tetap mengutamakan pasar dalam wilayah dahulu. Tapi faktanya, beras dari wilayah ini lebih banyak dijual ke luar daerah, termasuk ke Jawa,” katanya.
Kondisi itu, kata Fitrah, membuat harga beras melambung dan dijual di atas harga eceran tertinggi (HET). Beras medium dengan HET Rp 10.900 per kg, misalnya, dijual di pasaran dengan harga Rp 13.000 per kg. Beras premium dengan HET Rp 14.500 per kg dijual dengan kisaran Rp 15.000 per kg.
Fitrah memaparkan, sejumlah upaya telah dilakukan untuk menambah stok beras di pasaran. Penyaluran beras oleh Bulog, misalnya, telah dilakukan sejak September 2023 lalu. Selain itu, pasar murah juga tengah diupayakan digelar di sejumlah daerah. ”Kami berharap, dengan berbagai upaya itu, harga beras bisa stabil dan turun kembali,” tuturnya.
Beras dari wilayah ini lebih banyak dijual ke luar daerah, termasuk ke Jawa.
Sebelumnya diberitakan, 2.560 hektar lahan sawah di Sulawesi Tenggara terdampak kekeringan panjang. Dari jumlah itu, ratusan hektar lahan telah mengalami puso dan tidak bisa dipanen.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra La Ode M Rusdin Jaya mengatakan, dampak kekeringan terjadi merata di sejumlah sentra persawahan di provinsi itu. Dua wilayah dengan dampak terbesar adalah Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kolaka.
”Dari ribuan hektar yang terdampak, ada 824 hektar sawah yang mengalami puso. Wilayah yang mengalami puso ini 90 persen terjadi di Bombana dan selebihnya di Kolaka. Daerah lain masih kami pantau karena ribuan hektar terdampak kekeringan,” kata Rusdin, Rabu (20/9/2023).
Menurut Rusdin, kekeringan akibat fenomena El Nino ini memiliki dampak yang cukup terasa dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Sebab, kekeringan tahun ini terjadi pada masa tanam kedua atau saat sebagian lahan telah memasuki musim panen.
Rusdin menambahkan, berbagai langkah telah dilakukan untuk mengantisipasi dampak bencana kekeringan agar tidak kian memburuk. Beberapa upaya itu misalnya pendataan dan pemantauan lahan yang lebih intens, bantuan pompanisasi ke sejumlah daerah, penyediaan benih tahan kering, dan peningkatan ketersediaan air.