Di Kota Paling Tercemar di Dunia, Warga Palangkaraya Andalkan Kipas Angin
Kota Palangkaraya dan daerah lain di Kalimantan Tengah diselimuti asap kebakaran hutan dan lahan yang semakin tebal. Warganya hidup dalam kesakitan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kabut asap mulai menyelimuti Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, pada Selasa (26/9/2023). Warga Palangkaraya mulai bersiap hadapi kabut asap akibat kebakaran lahan dan ancaman ISPA.
Tinggal di kota dengan udara paling tercemar di dunia, warga Palangkaraya menggantungkan hidup pada putaran kipas angin. Mereka susah payah menghalau asap pekat yang menggerogoti kualitas kesehatannya.
Kompleks permukiman di kawasan Tingang Ujung, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, seperti mati. Hanya ada asap tebal dengan rona kuning menjadi latarnya. Nyaris tidak terlihat aktivitas warga meski hari masih pagi. Meski sesungguhnya berbahaya, mereka memilih mengurung diri di rumah. Jerebu membuat hidup mereka terbelenggu.
Wuryanto (46), warga setempat, misalnya, tidak ingin lama-lama di luar pada Jumat (29/9/2023). Pulang dari Puskesmas Kayon, dia langsung masuk rumah. Setelah mengunci pintu, dia menyalakan kipas angin untuk mengusir asap yang memaksa masuk ke dalam kamarnya. Beberapa obat yang ia dapatkan langsung ditenggaknya.
”Sudah dua hari ini susah tidur karena batuk berdahak,” kata Wuryanto. Penderita asma ini yakin asap tebal memicu. Empat hari terakhir, asap datang lagi menyelinap masuk ke dalam rumah dan kamar warga di sana.
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan mulai menyelimuti Bandar Udata Tjilik Riwut, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (28/9/2023). Penerbangan pun tertunda karena jarak pandang yang menurun.
Tinggal di Tingang Ujung adalah petaka saat kemarau datang. Letaknya tidak jauh dari Jalan Mahir-Mahar atau lingkar luar Kota Palangkaraya. Di sana dikenal sebagai daerah gambut yang kerap dilanda kebakaran.
Saat api menyala, asapnya pasti datang menyapa warga Tingang Ujung. Pada Sabtu (30/9), kebakaran masih terjadi di kawasan itu. Segala cara coba dilakukan warga agar dampaknya tidak semakin menghancurkan hidup dan kesehatan mereka.
Sumarni (27), penderita pneumonia, misalnya, bersiasat memasang plastik taplak meja untuk menutup celah atap rumah dan dinding rumah. Meski tidak terlalu yakin, ia sangat berharap plastik itu bisa ampuh menolak asap. Mesin filter udaranya seharga Rp 500.000 sudah lama tidak berfungsi ideal.
”Saat ini, salah satu jalan terbaik adalah membatasi aktivitas dengan tinggal di rumah saja,” katanya.
Menurut data Real-Time AQI (indeks kualitas udara internasional), Palangkaraya berada di urutan teratas 100 kota paling tercemar udaranya di dunia pada Jumat pagi pukul 10.47.
Paling tercemar di dunia
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kabut asap tebal di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya, Kamis (28/9/2023). Kabut asap muncul seiring meningkatnya intensitas kebakaran lahan di kota tersebut. Aktivitas warga pun terganggu.
Keresahan warga itu adalah potret nyata di Palangkarya saat ini. Asap mengerogoti hidup mereka.
Menurut data Real-Time AQI (indeks kualitas udara internasional), Palangkaraya berada di urutan teratas 100 kota paling tercemar udaranya di dunia pada Jumat pagi pukul 10.47. Tingkat particulate matter (PM) berukuran 2.5 mikrometer mencapai 354 atau masuk kategori tercemar berat.
Pada Sabtu pagi, Palangkaraya hanya turun satu peringkat ke urutan kedua. Namun, melihat kebakaran yang masih sulit diatasi, potensi banyak warga hidup setengah mati bersama asap pekat bakal terus terjadi.
Api, misalnya, masih membara di Desa Tanjung Taruna, Tumbang Nusa, dan Desa Kameloh Baru di Kabupaten Pulang Pisau. Sejak Jumat (22/9), kebakaran merajalela menghanguskan kawasan telantar di daerah itu. Usaha warga memadamkan api menggunakan ember hingga memukulkan ranting pohon tidak banyak memberi hasil.
Pada Sabtu, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong datang ke lokasi kebakaran. Dia meminta kebakaran Tumbang Nusa, Tanjung Taruna, dan Kameloh Baru, harus segera dipadamkan. Residu kebakaran rentan terbawa angin sehingga rentan memperburuk kualitas kesehatan warga.
Kabut asap tebal di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya, Kamis (28/9/2023). Kabut asap muncul seiring meningkatnya intensitas kebakaran lahan di kota tersebut. Aktivitas warga pun terganggu.
”Di daerah itu gambutnya begitu dalam. Saya perintahkan semuanya keroyok api supaya bisa cepat dipadamkan dalam tiga hari ke depan. Ini emisi gas rumah kaca bisa besar karena gambut menyimpan karbon yang tinggi,” kata Alue.
Sejauh ini, kata Alue, tantangan terbesar memadamkan api di lahan gambut adalah sumber air. Di musim kemarau, ditambah fenomena El Nino, membuat debit air di dalam tanah berkurang drastis sehingga sumber air untuk memadamkan kurang.
Selain itu, dalam tindakan pencegahan seharusnya sudah dilakukan pembasahan sebelum musim kering itu datang. ”Masalahnya, status darurat baru bisa keluar kalau sudah ada kejadian ini berkaitan dengan sistem anggaran nasional,” ujarnya.
Belum prioritas
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kabut asap tebal di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya, pada Kamis (28/9/2023).
Ketika mitigasi belum ideal, tidak heran apabila dampak kebakaran teramat luas. Data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalteng menyebutkan, luas lahan yang terbakar mencapai 18.058,22 hektar selama tahun 2023. Jumlah itu setara luas wilayah Jakarta Timur.
Total ada 3.025 kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan 31.519 titik panas. Akibatnya, pada kesehatan tidak ringan. Tercatat 88.868 kasus infeksi pernapasan atas (ISPA) di Kalteng selama tahun 2023.
Akan tetapi, Kepala Dinas Kesehatan Kalteng Suyuti Syamsul mengungkapkan, kasus ISPA tidak hanya muncul karena kabut asap akibat pembakaran lahan. Ada banyak faktor yang memengaruhinya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Asap membubung dari lokasi kebakaran di Jalan Karya Hapakat, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Selasa (26/9/2023) sore. Kabut asap sudah menyelimuti lokasi tersebut sejak pukul 07.00 hingga petang.
Terkait dengan penanganan pasien ISPA, dia mengatakan, sejauh ini tingkat kematian manusia karena ISPA masih nol persen. Hal itu membuat kasus ISPA tidak masuk dalam prioritas Kementerian Kesehatan.
”Tapi, kami tidak mengabaikannya, tetap kami menyiapkan obat-obatan di fasilitas kesehatan,” kata Suyuti.
Asap memang belum mencabut nyawa manusia di Palangkaraya dan daerah lain di Kalsel. Namun, hidup dalam kesakitan jelas bukan hal yang mudah. Herni (38), warga Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, misalnya, putus asa karena batuknya tidak kunjung sembuh dalam beberapa hari terakhir. Hatinya semakin hancur saat anak-anaknya yang masih kecil mengalami hal serupa.
Dia mengaku tidak punya solusi saat kebakaran terjadi di depan rumahnya sendiri sejak seminggu terakhir. Herni hanya bisa pasrah menggantungkan hidup pada kipas angin saat asap pekat yang masuk ke rumahnya.