Menjaga Sejarah Kalsel dari Kayuhan Sepeda Ontel
Sepeda ontel ikut mewarnai sejarah geliat komoditas karet di Kalimantan Selatan. Awal 1900-an, karet ditukar dengan sepeda ontel.
Para penyuka sepeda klasik merogoh kocek tidak sedikit untuk menghadirkan kegembiraan diri. Namun, kecintaan mereka juga turut merawat jejak sejarah pasang surut ekonomi di Kalimantan Selatan.
Sahdi (50), warga Banjarmasin, bersepeda santai dengan ontel pada hari bebas kendaraan bermotor atau car free day di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (24/9/2023) pagi. Di antara 30-an sepeda ontel pagi itu, sepeda ontel milik Sahdi paling nyentrik dan mengundang perhatian.
Sepeda Sahdi dilengkapi spion, bel, trompet, dan lampu di bagian setang. Di boncengannya terdapat beberapa barang antik, seperti jam weker, telegraf, koper kulit jadul, dan botol minuman. Di depan dan belakang sepeda juga dipasang bendera merah putih.
”Sepeda ini saya modifikasi supaya enak dilihat dan makin kuat kesan antiknya,” ujar anggota komunitas Sepeda Antik Banjarmasin (Saban) sekaligus anggota Komunitas Sepeda Tua Indonesia (Kosti) Kota Banjarmasin itu.
Baca juga: Peresmian Pabrik Sepeda Turangga
Sahdi mendapatkan sepeda ontel merek Raleigh buatan Inggris itu pada 1986 dari pamannya, pensiunan guru madrasah. Sepeda itu dibeli pamannya pada 1951. Dulu, sepeda digunakan untuk transportasi dari rumah ke sekolah saban hari.
”Ketika paman pensiun, sepeda ini hampir tidak pernah dipakai dan tidak terawat lagi. Akhirnya, saya ambil dan hargai Rp 300.000 pada tahun 1986. Sejak saat itu, sepedanya saya rawat sehingga masih enak dipakai sampai sekarang,” ucapnya.
Menurut Sahdi, sepedanya sudah dicat ulang seperti warna aslinya, hitam. Sepeda kemudian dimodifikasi dengan penambahan beberapa aksesori jadul untuk memperkuat kesan klasik. Aksesori itu pun kerap dibongkar pasang sesuai dengan seleranya.
”Sepeda ini saya modifikasi sendiri. Kalau ditotal, mungkin sudah habis sekitar Rp 3,5 juta. Namun, karena hobi, saya tidak hitung-hitungan lagi. Namanya hobi, tidak ada obatnya,” ujarnya sambil tertawa.
Di masa lalu, orang Inggris sering membeli komoditas karet dari Banjarmasin. Waktu itu, komoditas karet dibarter dengan sepeda merek Raleigh.
Karet Kalsel
Menurut Ketua Saban Praptono, sepeda ontel merek Raleigh paling familiar di Banjarmasin. Karena itu, orang-orang tua di Banjarmasin dulu menyebut semua sepeda ontel adalah Raleigh.
Padahal, saat itu, bertebaran merek lainnya, seperti Gazelle, Simplex, Teha, Batavus, Fongers, Humber, dan Philips buatan Belanda dan Inggris. Sepeda-sepeda ontel dari Eropa yang masih ada di Banjarmasin saat ini umumnya diproduksi tahun 1930-an. Kala itu, sepeda dianggap sebagai barang mewah. Tidak sembarangan orang bisa memilikinya.
”Pokoknya semua sepeda ontel, apa pun mereknya, disebut Raleigh. Persis seperti sepeda motor, yang dulunya semua sepeda motor disebut Honda,” katanya.
Praptono sudah mencari tahu kenapa semua sepeda ontel di Banjarmasin disebut Raleigh. Dari salah satu literatur yang dibacanya, ia menemukan jawaban. Ternyata pada masa lalu, orang Inggris sering membeli komoditas karet dari Banjarmasin. Waktu itu, komoditas karet dibarter dengan sepeda merek Raleigh.
Peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin Sunarningsih dalam tulisan ”Pabrik Pengolahan Karet Peninggalan Belanda di Sungai Tabuk, Kalimantan Selatan” menyebutkan, komoditas karet Kalsel mulai menggeliat tahun 1900-an. Kala itu, karet sangat diperlukan dalam industri mobil dunia.
Di Kalsel, perkebunan karet ada di Hayup, Tanah Intan, dan Danau Salak. Pekerjanya didatangkan dari Pulau Jawa. Seiring waktu, sebagian orang Banjar muncul membuka kebun. Mereka beralih dari menanam padi karena lebih menguntungkan.
Sempat surut tahun 1920-an, karet dari Hindia Belanda mulai menguasai dunia. Pada tahun 1930, separuhnya produksi karet dunia berasal dari Tanah Air. Kalsel adalah salah satu daerah penghasil utamanya.
”Jejak kejayaannya di Kalsel bisa dilihat dari keberadaan rumah saudagar karet dan kebun karet, terutama di wilayah Hulu Sungai,” kata Sunarningsih dalam tulisan yang dimuat di jurnal penelitian arkeologi ”Kindai Etam” pada November 2015.
Kini, karet masih menjadi salah satu andalan Kalsel. Data Dinas Peternakan dan Perkebunan Kalsel, kebun karet tercatat seluas 271.969 hektar dengan produksi 198.193 ton pada tahun 2022. Ekspor masih dilakukan menopang ekonomi masyarakat meski mungkin tidak secemerlang dahulu.
Saat pandemi Covid-19, misalnya, 10 kontainer karet diekspor dari Kalimantan Selatan ke India pada Agustus 2020. Karet dengan volume sekitar 200 ton itu diekspor dari gudang PT Bumi Asri Pasaman di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar.
Baca juga: Sepeda Tua Ayah
Ratusan kilometer
Dengan kisah panjang itu, minat sebagian warga tetap menjaga sejarah Kalsel melalui kayuhan sepeda patut diapresiasi. Meski tidak mudah dan butuh usaha besar, semua coba dijalani dengan bahagia.
Bakti (53), anggota Saban penyedia onderdil dan aksesori sepeda ontel, menjelaskan, sepeda-sepeda klasik itu tergolong awet karena rangkanya kuat. Tidak seperti kebanyakan sepeda zaman sekarang, rangka ontel itu dari baja asli dan tebal.
Namun, ia mengakui tidak mudah lagi mendapat beragam onderdil asli di pasaran. Jejaring pertemanan dengan pencinta sepeda klasik dari daerah lain menjadi kunci tetap bisa mendapatkan barang-barang langka itu. Hal itu membuat banyak sepeda ontel di Banjarmasin masih terawat dan dihargai tinggi.
”Untuk di Banjarmasin, harga pasaran ontel paling murah Rp 1 juta. Namun, kalau kondisi sepedanya masih bagus dan terawat, serta semuanya masih orisinal bisa mencapai Rp 7,5 juta sampai Rp 15 juta per unit. Sepedanya rata-rata peninggalan orangtua,” kata Bakti, pemilik Gazelle buatan Belanda tahun 1938.
Sekarang, tidak hanya menjaga warisan orangtua, sebagian juga mendatangkan sepeda klasik dari luar daerah. Mahdani (48), anggota Saban lainnya, misalnya, memiliki sepeda merek Teha buatan Belanda tahun 1932.
”Sepeda ini saya beli tahun 2015. Harganya Rp 1,6 juta. Yang jual waktu itu teman sekomunitas juga. Dia mendapatkan sepeda ini dari Solo,” ucapnya.
Menurut Mahdani, sepeda ontel miliknya dalam kondisi standar masih bagus dan terawat. Modifikasi dilakukan lebih untuk mempercantik sepeda.
”Saya modifikasi sendiri. Enggak tahu habis berapa karena enggak terasa mengeluarkan duit. Yang pasti lebih mahal dari harga sepedanya, mungkin bisa dua kali lipat dari harga beli sepeda ini,” katanya.
Ia pun memastikan, perawatan dan perbaikan sepeda klasik tidak susah, apalagi kalau bisa servis sendiri. ”Kalau saya jarang sekali bawa sepeda ke bengkel karena bisa servis sendiri di rumah, kecuali harus ganti onderdil,” katanya.
Mahdani puas dengan modifikasinya. Pada 2017, ia bersama beberapa anggota komunitas pernah ngontel dari Banjarmasin ke Balikpapan, menempuh jarak sejauh 555 kilometer selama enam hari. Saat itu, dia menikmati keindahan alam Indonesia dari atas sadel, sama seperti orang Eropa tempo dulu saat membawa sepeda itu ke Tanah air.
Baca juga: Prinsip Baik ”Deddy Bike”