Sekitar 20 Kesenian Tradisional di Cirebon Terancam Punah
Sekitar 20 kesenian tradisional di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terancam punah. Penyebabnya, minimnya regenerasi seniman, jarangnya pentas, hingga kalah pamor dengan seni modern lainnya.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sekitar 20 kesenian tradisional di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terancam punah. Penyebabnya, minimnya regenerasi seniman, jarangnya pentas, hingga kalah pamor dengan seni modern lainnya. Sejumlah pihak diharapkan melestarikan kesenian daerah.
”Di Cirebon, ada 40-an kesenian tradisional. Yang eksis tinggal 20 (kesenian). Yang lainnya, hidup segan mati tak mampu,” ucap Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Cirebon H Sulama Hadi, Sabtu (23/9/2023). Artinya, setengah dari total kesenian di Cirebon kini terancam punah.
Sejumlah kesenian daerah yang berada di ujung tanduk adalah berokan, sintren, tari rudat, jaran lumping, hingga genjring akrobat. Seni pertunjukan itu sudah berusia puluhan tahun, bahkan ada yang ratusan tahun. Tari sintren yang bernuansa magis, misalnya, sudah lebih dari seabad lalu.
Menurut Sulama, sejumlah faktor memicu sekitar 20 seni tradisi di Cirebon terancam punah. Salah satunya, regenerasi seniman yang minim. Sebagian besar pelaku kesenian tradisional kini berusia di atas 50 tahun. Maestro tari topeng Kreyo Mimi Tumus, misalnya, sudah 80-an tahun.
Terhambatnya regenerasi dalam seni tradisi Cirebon, lanjutnya, erat kaitannya dengan kenyataan bahwa kesenian daerah tidak memberikan masa depan yang cerah. Anak muda pun enggan meneruskan kesenian itu. Di sisi lainnya, para pelaku seni sudah menua dan meninggal dunia.
Kondisi ini, menurut Sulama, tidak bisa dipisahkan dari minimnya panggung untuk kesenian tradisional. Tanpa pentas, para seniman pun tidak mendapatkan pemasukan. Itu sebabnya, banyak pelaku seni yang punya pekerjaan lain, seperti bertani, melaut, hingga tukang pijat.
”Yang bikin saya marah, beberapa pemangku kebijakan, seperti pegawai, anggota DPRD, kuwu (kepala desa), pemerintah, yang selama ini hidup dari Cirebon, malah nanggap (panggil) kesenian dari luar Cirebon. Gaji mereka dari Cirebon, tetapi hiburannya dari luar,” ucapnya.
Sulama pun mendesak Pemkab Cirebon untuk memprioritaskan kesenian daerah, terutama yang terancam punah, tampil di acara-acara pemerintah. Apalagi, mereka kini kesulitan bersaing dengan seni modern, seperti organ tunggal dan seni pertunjukan dari kota lainnya.
”Kalau kesenian (tradisional) ini punah, dampaknya banyak. Misalnya, etika anak ke orangtua yang kurang sampai masalah persatuan,” ucap Sulama. Sebab, lanjutnya, kesenian daerah selama ini tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan masyarakat agar berperilaku baik.
Genjring akrobat, kesenian yang memadukan tabuhan genjring dan atraksi, misalnya, kerap berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, saat ini hanya tersisa satu grup yang masih aktif, yakni Genjring Putri Kuda Kecil di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Cirebon.
”Mungkin, tinggal (kami) satu-satunya di Cirebon. Padahal, dulu setiap desa ada grup genjring akrobat,” ujar Karyadi (70), anggota grup Kuda Kecil. Setahun terakhir, pihaknya baru satu kali pentas. Ia pun berharap pemerintah memberikan solusi atas kesenian yang terancam punah itu.