Sulbar Bergulat Mengembalikan Kejayaan Kakao
Upaya peremajaan tanaman harus dilakukan untuk mengembalikan kejayaan kakao di Sulawesi Barat.
Pada masa jayanya, kakao menjadi sumber kesejahteraan keluarga-keluarga petani di Sulawesi Barat. Dengan kakao, anak-anak petani bersekolah hingga perguruan tinggi. Karena kakao, mereka berhaji dan membangun rumah-rumah permanen berperabot lengkap. Sebagian melengkapi garasi dengan kendaraan roda empat.
Namun seiring waktu, era keemasan itu berlalu. Pamor kakao memudar seiring usia tanaman yang kian tua dan serangan beragam penyakit. Sebagian meninggalkan kakao. Adapun yang mempertahankan, tak lagi sepenuh hati. Kakao ibarat pepatah, hidup segan mati tak mau.
Abdul Rauf (60), petani kakao di Desa Pulliwa, Kecamatan Bulo, Polewali Mandar, galau. Dia bimbang antara meremajakan tanaman kakaonya atau menunggu saja hingga benar-benar tak produktif lagi.
Baca juga: Kakao, “Buah Dewa” Calon Pengganti Emas Freeport
Usia tanamannya di hamparan seluas 1 hektar, sudah hampir 30 tahun. Mestinya tanaman itu sudah diremajakan. Namun di sisi lain, produktivitasnya dinilai masih tinggi, rerata 400-500 kilogram per hektar. Saat ini harga kakao Rp 40.000-Rp 45.000 per kilogram kering untuk masa penjemuran dua hari.
”Produksi dan harga seperti itu masih cukup untuk saya makan sekeluarga. Dua bulan ini saya menerima hasil penjualan 8 juta. Itu pun masih ada yang bisa dipanen. Kalau saya remajakan, butuh waktu untuk berbuah lagi. Lalu saya makan apa,” katanya saat ditemui, Sabtu (16/9/2023).
Lain lagi M Asri (45) yang sejak beberapa tahun terakhir tak lagi terlalu mengurusi tanamannya akibat terserang penyakit busuk buah. Dia beralih menanam jagung dan tanaman jangka pendek lainnya.
”Ternyata sekarang harga kakao lumayan bagus. Dijemur setengah hari saja sudah bisa dijual 35.000 per kilogram. Sungguh menyesal, mestinya tanaman saya masih bisa berbuah bagus jika diurus,” katanya.
Yang terjadi pada dua petani kakao ini sesungguhnya juga dialami banyak petani lainnya di sentra-sentra kakao di Polewali Mandar hingga Mamuju. Tanaman berusia tua dengan produktivitas yang terus menurun dan diperparah serangan penyakit kakao.
Baca juga: Kakao Kalteng Dilirik Jerman
Di sisi lain, sebagian petani juga memiliki keterbatasan modal untuk melakukan perawatan, apalagi harus mengganti dengan tanaman baru. Untuk modal perawatan sebesar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hektar saja kerap membuat petani harus mengutang kepada pengepul.
Era kejayaan kakao
Kakao pernah berjaya di Sulbar dan mencapai masa keemasan pada era 1990-2000-an. Namun, cerita kejayaan ini pudar dan produktivitas kakao kian menurun seiring tanaman yang mulai tua. Sebagai gambaran, umumnya tanaman kakao di Sulbar berusia 25-30 tahun. Sebagian tanaman saat ini adalah hasil sambung samping yang sudah dilakukan lebih dari 10 tahun lalu.
Pada masa pemerintahan Gubernur Anwar Adnan, Gerakan Nasional (Gernas) Kakao dilakukan. Saat itu dengan kucuran dana APBN, peremajaan tanaman dilakukan di sentra-sentra kakao. Dalam program ini, petani tak hanya didampingi dalam proses peremajaan, tapi juga dibantu bibit dan pupuk.
Baca juga: Ironi Petani Kakao Lokal di Hari Cokelat Internasional
Tak hanya itu, kompensasi berupa bantuan biaya hidup juga diberikan selama masa menunggu hingga tanaman bisa berproduksi. Program ini berjalan selama lima tahun antara 2008-2013. Program ini akhirnya terhenti di saat belum semua tanaman diremajakan.
Saat program ini dilaksanakan, luas areal pertanaman kakao di Sulbar lebih dari 150.000 hektar. Produksinya 100.000 ton per tahun, bahkan pernah mencapai angka 120.000 ton. Ini menempatkan Sulbar sebagai penghasil kakao terbesar keempat di Indonesia.
Namun setelah tak jalan lagi, luas areal sekaligus produksi kakao terus menurun. Berdasarkan data BPS Sulbar, jika luas areal pertanaman kakao pada 2018 adalah 144.970,58 hektar, pada 2022 luasnya berkurang menjadi 142.370,13 hektar.
Namun dari total luas ini, tak semuanya menghasilkan. Sebagai contoh pada 2021, kebun yang menghasilkan hanya seluas 89.333,15 hektar dan menjadi 88.028,33 hektar pada 2022. Adapun produksi kakao, yang pada 2018 sebesar 71.787,31 ton, terus berkurang menjadi 69.623,06 pada 2022.
Baca juga: Kontribusi Biji Kakao Lokal Masih Minim
Akademisi Universitas Sulbar yang intens meneliti kakao, Dr Rahmaniah HM, mengakui setelah program Gernas Kakao terhenti, berbagai persoalan kembali merundung petani. Padahal, saat program ini jalan pun, belum maksimal membuahkan hasil.
”Mereka sadar tanamannya sudah tua dan harus diremajakan. Namun, keterbatasan modal membuat mereka tak bisa berbuat banyak. Apalagi jika tanaman itu masih menghasilkan dan menjadi sumber penghasilan utama,” katanya.
Rahmaniah menyebutkan, selama ini data yang dipaparkan pemerintah kerap tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. ”Misalnya produktivitas kakao disebut 700 kilogram per hektar. Tapi nyatanya, hasil penelitian kami hanya 500-an, bahkan bisa kurang dari itu,” katanya.
Dia mengatakan, untuk mengembalikan produktivitas kakao, tak hanya peremajaan, tapi juga harus dibarengi dengan berbagai perlakuan lain, seperti sanitasi, pemupukan, pemangkasan, dan panen sering. Perlakuan pascapanen juga menjadi faktor yang membuat harga di tingkat petani kadang rendah. Fermentasi juga masih jarang dilakukan.
Penjabat Gubernur Sulbar Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, upaya mengembalikan kejayaan kakao sebenarnya mulai dilakukan. Setidaknya Pemprov Sulbar sudah menghadap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk meminta dukungan.
”Kami minta bantuan bibit kakao. Kami juga minta dibantu untuk pengembangan pembibitan di areal 1.000 hektar, termasuk untuk pengembangan bibit kopi dengan luasan sama. Kami berharap peremajaan bisa bertahap dilakukan,” kata Zudan.
Dia memahami peremajaan tak bisa berjalan sekaligus karena banyak petani hanya bersandar pada kakao. Karena itu, peremajaan dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sambung samping dan sambung pucuk.
”Tak langsung semua, tapi bertahap. Misalnya di satu hamparan, setengah dulu yang diremajakan. Jadi sebagian masih bisa diambil hasilnya. Sembari melakukan peremajaan, petani akan didorong menanam tanaman jangka pendek,” katanya.
Rahmaniah mengingatkan, persoalan kakao cukup kompleks. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih fokus dan serius. Jika kondisi saat ini dibiarkan, bukan hanya akan jadi ancaman bagi keberlangsungan kakao ke depan, melainkan upaya mengembalikan kejayaan kakao akan kian jauh dari harapan.