Perkuat Intervensi Sensitif untuk Turunkan Tengkes di Kalsel
Pemerintah daerah di Kalsel dituntut memperkuat intervensi sensitif untuk menurunkan angka prevalensi tengkes. Saat ini, prevalensi tengkes di Kalsel masih di atas rata-rata nasional.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan berhasil menurunkan angka prevalensi tengkes sebesar 5,4 persen pada tahun 2022. Namun, prevalensi tengkes di Kalsel masih di atas angka nasional. Pemerintah daerah pun dituntut untuk lebih memperkuat intervensi sensitif untuk menurunkan tengkes.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022 yang dirilis Kementerian Kesehatan memperlihatkan adanya perbaikan angka prevalensi tengkes (stunting) di Kalsel, dari 30 persen pada 2021 menjadi 24,6 persen pada 2022. Namun, angka tersebut masih di atas angka nasional 21,6 persen dan jauh dari target nasional 14 persen pada 2024.
Setidaknya, ada lima kabupaten di Kalsel yang perlu mendapat perhatian lebih mengingat angka prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan angka provinsi dan kabupaten/kota lain, yaitu Barito Kuala (33,6 persen), Kotabaru (31,6 persen), Hulu Sungai Tengah (31,1 persen), Balangan (29,8 persen), dan Hulu Sungai Utara (28 persen).
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalsel Ramlan mengatakan, Kalsel harus bisa menjaga tren penurunan angka prevalensi tengkes di atas 5 persen pada 2023 dan 2024 jika ingin mencapai target 14 persen pada 2024. Namun, tantangan untuk mencapai target itu masih cukup besar, terutama pada faktor sensitif terkait sanitasi lingkungan.
”Intervensi sensitif harus lebih diperkuat kalau mau mencapai target 14 persen karena tantangan terbesarnya ada di situ,” ujarnya dalam kegiatan Forum Koordinasi Jurnalis Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting Provinsi Kalsel di Banjarmasin, Jumat (15/9/2023).
Intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung tengkes, yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Intervensi sensitif terbagi menjadi empat, yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi.
Ramlan menyebutkan, ada beberapa intervensi sensitif yang mendesak dilakukan, yaitu penyediaan air bersih, penggantian jamban apung, dan perbaikan rumah tidak layak huni.
Hal ini karena kasus tengkes banyak ditemukan pada warga yang tinggal di bantaran sungai dengan kondisi rumah yang kurang layak huni, masih menggunakan jamban apung, dan mengonsumsi air sungai yang tercemar.
”Dana APBN yang dialokasikan ke kementerian/lembaga atau dinas tertentu mestinya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk penanganan stunting, khususnya untuk perbaikan sanitasi. Ini akan sangat membantu percepatan penurunan stunting,” katanya.
Ramlan menambahkan, faktor sosial dan budaya, seperti pola asuh dan perkawinan anak yang masih cukup tinggi, juga ikut menyebabkan tengkes. Usia perkawinan yang terlalu muda berpotensi melahirkan anak tengkes. Idealnya, usia perkawinan adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Dalam Rapat Kerja Daerah Program Bangga Kencana Provinsi Kalsel Tahun 2023 pada Februari lalu, terungkap bahwa dari setiap 1.000 perempuan di Kalsel, ada 45 orang yang melahirkan pada usia 15-19 tahun.
Intervensi sensitif harus lebih diperkuat kalau mau mencapai target 14 persen karena tantangan terbesarnya ada di situ.
Sementara itu, jumlah kehamilan di Kalsel tercatat sekitar 80.000 per tahun. Dengan prevalensi tengkes 24 persen, sekitar 19.000 anak yang lahir berpotensi tengkes.
”Kita semua harus berupaya sekuat tenaga dan berkolaborasi untuk konvergensi atau menuju satu titik yang sama, yaitu percepatan penurunan stunting. Kita harus terus perkuat intervensi sensitif, intervensi spesifik, dan edukasi kepada masyarakat,” ucap Ramlan.
Kolaborasi
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kalsel Muhamad Muslim mengatakan, kolaborasi untuk mempercepat penurunan tengkes sudah dilakukan satuan kerja perangkat daerah pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota di Kalsel. Semua instansi bergerak melakukan intervensi sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
”Pekerjaan terbesar untuk mempercepat penurunan stunting terletak pada intervensi sensitif. Bisa dikatakan, 70 persen ditentukan intervensi sensitif dan hanya 30 persen ditentukan intervensi spesifik,” kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Kalsel itu.
Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya tengkes dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan, seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan.
Menurut Muslim, kolaborasi dalam upaya percepatan penurunan tengkes telah menunjukkan hasil yang baik dengan turunnya angka prevalensi tengkes 5,4 persen pada 2022. Penurunan itu cukup besar karena sebelumnya, pada 2013-2018, penurunan angka prevalensi tengkes di Kalsel rata-rata hanya 2,1 persen per tahun.
”Bapak Gubernur (Sahbirin Noor) juga terus menggaungkan penurunan stunting dengan turun langsung ke desa-desa di Kalsel untuk memberikan edukasi dan juga bantuan penanganan stunting,” ujarnya.
Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post M Royan Naimi mengatakan, tengkes bukan hanya persoalan yang menjadi tanggung jawab pemerintah, peneliti, pengusaha, ataupun pihak-pihak yang memang berkecimpung di bidang kesehatan, melainkan juga menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk media massa.
”Media memiliki peranan penting karena mampu mengetuk hati (empati) orang lain melalui liputan jurnalistik yang menarik, lalu membuat orang itu terlibat secara fisik maupun psikis dalam penanganan stunting,” katanya.