Sebanyak 1.200 orang menari dalam Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi. Baik orangtua maupun sang anak merasa bangga bisa menarikan kesenian tradisional khas daerah setempat itu.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Gamelan pengiring dan narasi belum sepenuhnya rampung, tetapi para orangtua sudah menyerbu masuk ke barisan. Mereka menghampiri sang anak yang masih dalam koreo jongkok, lalu merangkulnya. Si anak yang masih berpakaian gandrung lengkap dengan omprog atau mahkota itu pun menyambutnya.
Peluk dan tangis haru pecah. Suasana semarak selama tari kolosal berlangsung sekitar satu jam itu pun berubah menjadi emosional. Para orangtua mengaku terharu dan bangga atas pencapaian anak-anak mereka yang telah merampungkan tari khas Banyuwangi itu.
Ya, Sabtu (16/9/2023) sore, sebanyak 1.200 anak muda, yang merupakan siswa SD-SMA dari 25 kecamatan di Banyuwangi, Jawa Timur, menari gandrung bersama dalam puncak Festival Gandrung Sewu 2023 di Pantai Marina Boom, Kelurahan Kampung Mandar.
”Terharu,” ucap Indriati (43), orangtua dari Nanda Aira, siswa SMP Negeri 1 Cluring, dengan mata yang masih memerah.
Hal senada diungkapkan Fitriani (41), ibu dari Nabila Diah Ayu, yang masih satu sekolah dengan Nanda.
Bukan hanya kaum perempuan yang menitikkan air mata. Sigit Pamungkas (34), warga Sarimulyo, Kecamatan Cluring, merasa terharu dan bangga atas capaian keponakannya. Nesya Ayu R (16), sang keponakan, kembali ikut tampil pada festival yang berlangsung sejak 2012 itu. Ini adalah ketiga kalinya Nesya ikut gandrung sewu, pertama saat duduk di bangku kelas 8 dan 9 SMP, serta kelas 11 SMAN 1 Cluring.
”Bangga karena tidak semua anak muda bisa ikut gandrung sewu. Nesya sering ikut ekstrakurikuler menari gandrung di sekolah. Dia mempelajari gandrung sejak masih duduk di bangku TK,” ucapnya.
Menurut Sigit, dengan menyenangi gandrung, budaya turun-temurun itu akan tetap lestari. Kondisi ini tidak banyak terjadi pada budaya di daerah lain yang kian surut oleh perkembangan zaman. Belum lengkap, menurut dia, menjadi orang Banyuwangi jika belum menyukai gandrung.
Apa yang dirasakan orangtua dan sang anak bisa dimaklumi. Untuk bisa menari massal, mereka harus berlatih selama 2-3 bulan setelah menjalani seleksi di sekolah masing-masing.
Bagi mereka, sebenarnya gandrung bukan sesuatu yang baru. ”Saya sejak kecil sudah sering melihat gandrung. Gandrung sewu wajib nonton. Saya belajar menari sejak kelas 1 SD,” tutur Linda Darmawanti (15], siswi kelas 9 SMPN 2 Genteng.
Ini ketiga kalinya Linda ikut Festival Gandrung Sewu. Sebelumnya ia ikut tahun 2019 dan 2022. Pada 2020 dan 2021 perhelatan massal itu vakum lantaran pandemi Covid-19.
Dibandingkan dengan dua pergelaran sebelumnya, menurut Linda, gandrung sewu kali ini lebih menarik dari sisi tema. Mengambil tema ”Omprog, the Glory of Art”, Gandrung Sewu 2023 digelar berbeda dari sebelumnya-sebelumnya. Jika biasanya hanya satu hari, tahun ini menjadi tiga hari.
Linda pun punya keinginan bisa menjadi gandrung profesional. Untuk mendukung langkah itu, dia ikut ekstrakurikuler gandrung di sekolah. Dia juga kerap mengajari sesama teman menari dan ikut lomba terkait dengan tari tradisi itu.
Senada dengan Linda, Dwi Melita Sari (14) dan Febtania (15) juga punya keinginan menjadi penari profesional. Ini adalah pertama kali kedua siswi kelas 9 di SMPN 1 Srono itu ikut gandrung sewu.
Digandrungi
Sekarang gandrung memang benar-benar digandrungi anak muda di provinsi paling timur Pulau Jawa Itu. Akbar Wiyana (31), pengurus adat Seblang Bakungan, Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah, sekaligus pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Osing, mengatakan, kalau ada anak perempuan di Banyuwangi kurang bisa menari gandrung, dia akan minder.
Gandrung sewu menjadi wadah pemerintah kabupaten dalam memberikan ruang kepada anak muda dalam melestarikan kesenian tradisional. (Ipuk Fiestiandani)
Dari dulu generasi muda Banyuwangi memang suka akan tradisi, tetapi sekarang lebih suka lagi. Banyak ajang yang melibatkan pelajar atau anak muda untuk menari tradisional, baik gandrung maupun kesenian lain, seperti kuntulan dan jaran kepang (kuda lumping).
”Dibandingkan dengan saat saya SD dulu, satu kelas hanya 1-2 yang bisa menari gandrung. Kalau sekarang, banyak siswa yang bisa menari,” ujar Akbar.
Seiring dengan perkembangan zaman, gandrung memang telah bertransformasi. Jika dulu ia dipandang sebelah mata, penari gandrung seperti biduan yang ”digilai” banyak lelaki. Selain itu, juga erat dengan minuman keras karena menjadi salah satu cara untuk menaklukkan Belanda. Tentara kompeni dibuat mabuk selama pertunjukan sehingga mereka mudah dikalahkan.
”Kini kondisinya berbeda. Gandrung tidak tidak lagi dipandang sebelah mata, juga tidak lagi melibatkan minuman keras,” kata Akbar.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengatakan, gandrung sewu menjadi wadah pemerintah kabupaten dalam memberikan ruang kepada anak muda melestarikan kesenian tradisional. ”Bagaimana mereka mencintai budayanya. Mereka pasti akan bersemangat dengan mendapatkan banyak apresiasi dari apa yang mereka tampilkan hari ini,” ucapnya.
Menurut Ipuk, festival gandrung sewu merupakan salah satu upaya bersama untuk mempertahankan kebudayaan lokal di tengah gempuran budaya luar.
Saat ini, penari-penari gandrung muda banyak bermunculan. Mereka yang menari dengan menjiwai gandrung sebagai budaya yang harus selalu dihidupi.