Jangan Biarkan Korban Kejahatan Digital Berjatuhan
Akselerasi transaksi digital yang terus didorong saat ini perlu dibarengi dengan penguatan dan kesadaran tentang perlindungan konsumen. Tujuannya agar korban kejahatan digital tidak makin banyak.
Tingkat literasi dan keberdayaan digital masyarakat yang masih rendah menjadi ancaman makin banyaknya korban kejahatan. Akselerasi transaksi digital terus didorong dan dibarengi penguatan kesadaran tentang perlindungan konsumen.
Pada awal September 2023, seorang pengusaha asal Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, bernama Muhammad mendatangi Kepolisian Daerah Kalsel. Ia melaporkan, rekeningnya di salah satu perbankan berpelat merah atau bank badan usaha milik negara (BUMN) telah dibobol. Uang di rekeningnya Rp 1,5 miliar pun raib.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalsel Komisaris Besar Suhasto di Banjarmasin, Senin (11/9/2023), menyampaikan, Muhammad baru mengetahui uangnya raib pada 3 September 2023. Ketika itu dia akan bertransaksi, tetapi gagal terus karena dinyatakan sudah melebihi limit.
Korban kemudian mengecek daftar mutasi rekeningnya melalui aplikasi mobile banking dan menemukan ada 42 transaksi dari rekeningnya ke rekening yang tidak dikenal. Dia pun langsung menghubungi pihak bank, minta agar pihak bank segera memblokir nomor rekeningnya guna mengamankan uang yang tersisa.
”Korban diduga mengeklik atau menginstal file APK (Android Package Kit) sehingga data pribadi hingga rekeningnya dapat diretas oleh pelaku,” ujar Suhasto.
Pihak BRI juga telah menginvestigasi pengaduan korban dan mendapati bahwa raibnya uang itu akibat kelalaian nasabah. Bank tidak akan mengganti uang yang hilang di rekening akibat kelalaian nasabah. Bank hanya akan mengganti kerugian nasabah apabila kelalaian diakibatkan oleh sistem perbankan.
Pelaksana Tugas Deputi Direktur Manajemen Strategis, Edukasi dan Pelindungan Konsumen, dan Kemitraan Pemerintah Daerah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 9 Kalimantan Abidir Rahman menyebutkan, kejadian yang dialami pengusaha asal Martapura itu termasuk kejahatan digital. Istilahnya dikenal dengan nama social engineering (rekayasa sosial) atau soceng.
”Soceng adalah cara dalam mengelabui, memanipulasi pikiran korban untuk mendapatkan informasi berupa data pribadi atau akses yang diinginkan,” katanya dalam Seminar Perlindungan Konsumen dengan tema ”Aman dan Nyaman Bertransaksi di Era Digital” di General Building Lecture Theater Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kamis (14/9/2023).
Soceng menggunakan teknik manipulasi psikologis untuk memengaruhi pikiran korban melalui berbagai cara dan media secara persuasif dengan cara membuat korban senang atau panik sehingga korban tanpa sadar akan menjawab atau mengikuti instruksi pelaku. Soceng bisa berbentuk phising (menggunakan media palsu menyerupai media asli), pretexting (menggunakan media panggilan suara dan teknik berbicara persuasif), baiting (penawaran hadiah), dan sniffing (penyadapan).
Di samping soceng, ujar Abidir, ada pula kejahatan siber dalam bentuk skimming dan carding. Skimming adalah tindakan pencurian data kartu debit dan kredit dengan cara menyalin informasi yang terdapat pada strip magnetis secara ilegal, sedangkan carding adalah perbuatan mencuri nomor kartu kredit orang lain dan menggunakannya untuk melakukan transaksi di internet.
Tips agar terhindar dari soceng antara lain jaga kerahasiaan data pribadi, jangan mengunggah data pribadi di media sosial, aktifkan verifikasi dua langkah, waspadai penipu yang mengaku petugas bank, aktifkan notifikasi transaksi rekening, dan cek histori rekening secara berkala, serta cek keaslian telepon, akun media sosial, e-mail, dan website bank.
Literasi rendah
Abidir mengemukakan, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023, tingkat penetrasi internet di Indonesia saat ini mencapai 78,19 persen. Jumlah penduduk Indonesia yang telah terkoneksi internet sebanyak 215,62 juta jiwa.
Tindakan atau perilaku konsumen untuk menjaga keamanan data masih rendah.
Namun, tingginya tingkat penetrasi internet itu belum diimbangi dengan tingkat literasi keuangan digital sehingga kerawanan terhadap kejahatan digital masih relatif tinggi.
”Dengan tingkat penetrasi internet sebesar 78,19 persen, tingkat literasi keuangan digital baru 35,5 persen. Artinya, ada gap antara indeks literasi keuangan digital dan penetrasi pengguna internet di Indonesia,” katanya.
Menurut Kepala Grup Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (BI) Ricky Satria, tren peningkatan transaksi digital saat ini belum disertai dengan kesadaran menjaga keamanan data pribadi. ”Tindakan atau perilaku konsumen untuk menjaga keamanan data masih rendah,” ujarnya.
BI mencatat ekonomi keuangan digital di Indonesia menunjukkan perkembangan yang semakin pesat, ditandai dengan nilai ekonomi digital Indonesia pada 2022 sebesar 77 miliar dollar AS atau tumbuh 22 persen secara tahunan dan diprediksi akan meningkat hampir dua kali lipat hingga 130 miliar dollar AS pada 2025. Indonesia juga menjadi tujuan investasi digital terpopuler di Asia Tenggara, yang mewakili 40 persen dari total transaksi ekonomi digital.
Namun, perkembangan positif ekonomi dan keuangan digital itu juga disertai tingginya pengaduan terkait transaksi digital. Berdasarkan data manajemen hubungan pelanggan BICARA 131, BI menerima 1.322 pengaduan pada triwulan IV-2022. Jumlah itu meningkat 58 persen dibandingkan triwulan III-2022 yang tercatat sebanyak 835 pengaduan.
”Tingginya jumlah pengaduan itu menunjukkan tingkat literasi dan keberdayaan konsumen masih kurang atau rendah,” kata Kepala Perwakilan BI Kalsel Wahyu Pratomo.
Tidak hanya BI yang mencatat tingginya pengaduan, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mencatat adanya tren peningkatan pengaduan masyarakat terkait transaksi digital. Pada semester I-2023 tercatat 2.849 laporan. Dari 2.032 rekening yang dilaporkan, total kerugian yang dialami konsumen mencapai Rp 38,73 miliar.
Wahyu menuturkan, di samping memberi manfaat dan kemudahan, era digital juga memberi risiko ketika bertransaksi digital. Banyaknya pengaduan menjadi indikator bahwa aspek perlindungan konsumen belum begitu dipahami konsumen ataupun penyelenggara sistem pembayaran. ”Akselerasi transaksi digital saat ini memang perlu dibarengi dengan penguatan dan kesadaran tentang perlindungan konsumen agar korban tidak terus berjatuhan,” katanya.
Ekosistem perlindungan
Untuk melindungi konsumen, BI telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tahun 2023 pada 27 Juni 2023 tentang Pelindungan Konsumen Bank Indonesia. PBI ini, antara lain, bertujuan untuk menciptakan ekosistem perlindungan konsumen, menumbuhkan kesadaran penyelenggara mengenai perilaku bisnis, serta meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen mengenai produk dan/atau layanan penyelenggara serta meningkatkan pemberdayaan konsumen.
”Di era digital ini, yang kami harapkan tidak hanya transaksinya meningkat, tetapi transaksi itu juga tetap aman dan nyaman. Karena itu, selain mendorong digitalisasi, kami juga menitikberatkan pada perlindungan konsumen. Ini harus jalan beriringan,” kata Wahyu.
Pemimpin BNI Kantor Wilayah 09 Kalimantan Iwan Ariawan mengatakan, pelaku perbankan di era digital selalu berupaya meningkatkan aspek sekuriti supaya orang yang bertransaksi melalui sarana digital lebih aman dan nyaman. ”Kalau ada laporan atau pengaduan, tentu akan kami teliti dulu. Kalau kesalahan atau kerugian diakibatkan sistem perbankan, kami pasti bertanggung jawab,” ujarnya.
Presiden Komisaris PT Visionet Internasional (OVO) Dyah Nastiti Kusumowardani Makhijani mendorong para pemangku kepentingan untuk meningkatkan edukasi kepada masyarakat di tengah maraknya kasus social engineering. Edukasi dilakukan melalui kampanye skala nasional dan masif serta penerapan kurikulum literasi keuangan dan data pribadi sejak dini.
”Kita juga perlu membangun sistem deteksi penanganan fraud (kejahatan melalui penipuan) secara cepat guna mempersempit ruang gerak pelaku. Salah satunya dengan membangun inisiatif bersama dan berkolaborasi dengan sektor telekomunikasi,” katanya.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia juga lebih sadar dan waspada terhadap ancaman kejahatan digital agar tidak menjadi korban dan tetap bisa menikmati transaksi digital yang cepat, murah, mudah, aman, dan andal.