Pertanian Hidroponik Bertingkat di Malang Hemat Pemakaian Air
Pertanian hidroponik menjadi salah satu solusi dalam menghadapi kemarau dan El Nino. Sistem ini hemat air dan bisa empat kali tanam dalam setahun.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Di tengah musim kemarau yang terkena dampak El Nino, dibutuhkan kreativitas dari petani dalam mengelola lahan sehingga tidak kekurangan air. Salah satunya seperti yang dilakukan Basiri (50), petani di Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Meski rumahnya dilalui saluran irigasi, dia tak ingin hanya berpangku tangan menikmati air dari saluran yang ada. Lelaki paruh baya itu membuat sistem hidroponik yang kemudian berkembang ke wilayah lain.
Di pekarangan rumahnya yang cukup luas, sekitar 1.200 meter persegi, sejak beberapa tahun lalu dia membuat beberapa petak instalasi hidroponik bertingkat. Bahan yang digunakan adalah pipa paralon, gelas plastik, dan galvalum sebagai penyangga.
Setiap instalasi memiliki ukuran 2 x 12 meter. Basiri memiliki pertanian hidroponik seluas 350 meter persegi. Bagian atas instalasi dimanfaatkan untuk menanam padi. Basiri melubangi paralon-paralon itu untuk menaruh gelas plastik sebagai media tanam. Sementara bagian bawah dengan menggunakan terpal dipakai untuk kolam ikan.
Dia menyebut sistem hidroponik yang dikembangkan membentuk rantai berputar dan memanfaatkan satu sama lain. Misalnya, kotoran ikan yang ada di kolam akan dipompa ke atas dan dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman padi.
Sementara untuk pakan ikan, dia membudidayakan magot dan tanaman azolla yang lokasinya berada di samping instalasi hidroponik itu. ”Sistem ini efektif untuk menghemat air. Permintaan dari pihak lain banyak. Saat ini saya mendampingi beberapa lembaga mengembangkan sistem serupa,” ucapnya, Kamis (14/9/2023).
Menurut Basiri, ada beberapa klien di beberapa desa di Malang yang tengah dia dampingi, seperti Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir; Banduarjo, Kalipare; Madrasah Ibtidaiyah Curungrejo, Kepanjen; dan Yayasan Al Ikhlas, Janti, Kota Malang.
Di Banduarjo, misalnya, saat ini tengah dibuat instalasi perpipaan di tanah khas desa setempat. Ada dua modul dengan ukuran masing-masing 2 x 12 meter (total 48 meter persegi) yang dipasang. Pemerintah desa yang membeli bahan, sedangkan pengerjaannya dibantu oleh Basiri dan tim.
Banduarjo merupakan salah satu desa yang sulit air di Kalipare yang ada di kawasan selatan Kabupaten Malang. ”Di sini tidak ada air. Mereka harus beli air. Untuk instalasi hidroponik ini cukup beli sekali saja di masa awal tanam. Setelah itu, air akan diputar dan tidak habis sampai panen, baik untuk padi maupun ikan,” ujarnya.
Dengan modul instalasi 48 meter persegi, dibutuhkan 5 kubik air (dua tangki). Harga 1 tangki air bersih sekitar Rp 100.000. Artinya, hanya butuh Rp 200.000 untuk pemakaian sekitar tiga bulan (usia padi) sehingga jauh lebih hemat daripada pengairan di lahan konvensional.
Menurut Basiri, sistem pertanian hidroponik memungkinkan petani bisa melakukan tanam hingga empat kali dalam setahun. Kondisi ini berbeda dengan di sawah yang maksimal hanya tiga kali lantaran butuh jeda untuk pengolahan lahan. ”Di sistem hidroponik hanya butuh penggantian gelas plastik media tanam, selesai,” ucapnya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang Avicenna M Senaputra membenarkan ada penurunan debit air irigasi akibat puncak musim kemarau kali ini. Dia pun berharap petani bisa lebih arif dalam memanfaatkan air irigasi tersier yang ada untuk digunakan secara bersama-sama.
Sejauh ini, petani di Kabupaten Malang telah memulai tanam sejak satu bulan lalu. Ini dilakukan, khususnya, oleh petani yang mendapatkan air cukup dari saluran irigasi.