Santri Korban Penganiayaan Alami Pendarahan di Kepala
Santri yang menjadi korban penganiayaan meninggal karena pendarahan di otak. Ada luka memar di kepala yang disebabkan benturan benda tumpul.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS — Muhammad Nur Ferdiansyah (15), santri di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, meninggal karena perdarahan di bagian otak. Ia diduga dikeroyok oleh beberapa santri lain.
Hal itu terungkap dari hasil otopsi yang dilakukan tim dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah. Kepala Kepolisian Resor (Polres) Temanggung Ajun Komisaris Besar Ary Sudrajat mengatakan, keterangan tersebut diperkuat dengan adanya luka-luka memar di bagian kepala korban.
”Keterangan dari hasil otopsi menyebutkan bahwa luka memar tersebut diakibatkan oleh adanya benturan benda tumpul,” ujarnya dalam acara konferensi pers terkait kasus penganiayaan di pondok pesantren di Markas Polres Temanggung, Selasa (12/9/2023).
Selain luka di kepala, luka-luka lain juga ditemukan di bagian leher dan dada. Sejauh ini, belum diketahui benda tumpul apa yang dipakai untuk melukai korban. Ary menerangkan, pihaknya saat ini juga masih terus memperdalam penyelidikan karena delapan pelaku mengaku menganiaya dengan menggunakan tangan kosong.
Dari hasil penyelidikan sementara, pengeroyokan bermula dari selisih paham yang terjadi antara sejumlah santri dan korban. Karena tidak menemukan jalan damai, pelaku yang berselisih bersama rekan-rekannya menganiaya korban.
Sekalipun sudah mengakui perbuatannya, delapan pelaku penganiayaan belum ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan status tersangka ini masih membutuhkan dukungan bukti-bukti tambahan dari keterangan saksi.
Karena para pelaku masih berusia anak-anak, polisi sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini. Delapan pelaku tersebut tidak ditahan dan tetap dibiarkan menjalankan aktivitas keseharian di pondok pesantren.
Para pelaku penganiayaan adalah anak-anak, yang semuanya bahkan berusia lebih muda daripada korban. Mereka masing-masing adalah MYS (14), santri asal Kabupaten Batang; M (14), santri asal Kabupaten Magelang; dan WRA (14), santri asal Kabupaten Kendal. Lima orang lainnya adalah NNF (13), TMS (14), MD (13), ARR (14), dan KNRK (13), di mana semuanya merupakan santri asal Kabupaten Semarang.
Keterangan dari hasil otopsi menyebutkan bahwa luka memar tersebut diakibatkan oleh adanya benturan benda tumpul.
Para pelaku ini bisa dijerat Pasal 76C juncto Pasal 80 Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara atau denda maksimal Rp 3 miliar.
Seperti sempat diberitakan sebelumnya, kejadian penganiayaan terjadi pada Minggu (10/9/2023) pagi, sekitar pukul 09.30. Korban yang diketahui pingsan setelah dipukuli rekan-rekannya, kemudian dibawa pengasuh pondok pesantren ke Puskesmas Rejosari di Kecamatan Pringsurat. Namun, karena puskesmas tersebut tutup, korban kemudian dibawa ke Gumuk Walik Medika, sebuah klinik 24 jam di Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Namun, ketika itu, petugas klinik memastikan bahwa korban diterima sudah dalam kondisi meninggal dunia.
Kepala Seksi Pendidikan Diniyah Pondok Pesantren Kantor Kementerian Agama Kabupaten Temanggung Akhsan Muayad mengatakan, pihaknya sepenuhnya menyerahkan kasus penganiayaan tersebut kepada aparat penegak hukum.
Terkait hal ini, dia mengaku tidak bisa melakukan intervensi apa-apa dan tidak berwenang untuk memberikan sanksi apa-apa kepada pihak pengasuh atau pengelola pondok pesantren. ”Kewenangan kami terhadap pondok pesantren hanyalah melakukan pengawasan dalam hal administrasi,” ujarnya.
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Temanggung juga terus berupaya mencegah kekerasan dengan memberikan sosialisasi dan pembinaan. Akhsan mengatakan, pihaknya juga terus berupaya mengingatkan para pengasuh pondok pesantren untuk terus meningkatkan pengawasan dan mengontrol aktivitas keseharian di asrama.