Nestapa Petani Jateng akibat Kekeringan
Kekeringan akibat El Nino membuat petani di sejumlah wilayah Jawa Tengah kalang kabut mencari sumber air untuk mengairi lahan pertanian mereka. Sebagian petani pun harus pasrah saat sawah mereka gagal panen.
Selama beberapa waktu terakhir, Widodo (52) harus mendatangi dua mata air dan satu sumur desa setiap hari. Hal itu dia lakukan untuk mencari air guna mengairi sawahnya yang berlokasi di Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jateng.
”Saya harus mencari air dari mana saja karena sawah saya sudah pecah-pecah dan kering. Padahal, padi di sawah itu akan panen minggu ini,” kata Widodo, Kamis (7/9/2023).
Luas area tanaman padi yang menjadi tumpuan perhatian Widodo itu sekitar 1.000 meter persegi. Dari tiga sumber air di sekitar lahannya, ada satu mata air yang telah mengering selama sebulan terakhir. Sementara itu, masih ada satu mata air yang selalu mengalirkan air.
Namun, pasokan air dari mata air tersebut tidak selalu mencukupi. Apalagi, Widodo juga harus berbagi dengan petani lain. Oleh karena itu, dia mesti mencari tambahan air dari sumur desa. Meski begitu, pasokan air dari sumur sedalam sekitar 12 meter itu juga tidak bisa selalu diandalkan.
Ketika sumur mulai terlihat mengering, Widodo harus menunggu hingga ketinggian air kembali naik. Oleh karena itu, dia mesti telaten menengok kondisi air di dalam sumur.
”Dalam sehari, saya bisa lebih dari tiga kali bolak-balik menengok sumur. Kalau kebetulan tersedia air, saya langsung ambil mesin diesel dan menyedot air untuk dialirkan ke sawah,” tuturnya.
Baca Juga: Ratusan Hektar Padi di Jateng Puso, Harga Beras Naik Empat Kali dalam Sebulan
Selain padi, Widodo juga masih merawat 250 tanaman pepaya yang ditanamnya sekitar sebulan lalu. Masalahnya, di sekitar lahan pepaya itu tidak ada sumber air yang bisa diandalkan untuk pengairan. Namun, Widodo tetap tidak putus asa.
”Saya menyirami bibit tanaman pepaya dengan air sumur di rumah yang saya bawa ke lahan menggunakan jeriken,” ujarnya.
Sekretaris Desa Deyangan Ahmad Fauzi Farkhan mengatakan, total luas lahan pertanian di desa itu sekitar 200 hektar. Memasuki musim kemarau, aliran air irigasi sudah diatur bergiliran sehingga Desa Deyangan hanya mendapat pasokan air seminggu sekali.
Karena pasokan air tidak mencukupi, sekitar 40 persen lahan terpaksa dibiarkan menganggur. ”Kalau petani ingin menanam, mereka harus berusaha mencari sumber-sumber air lain yang bisa dimanfaatkan,” kata Ahmad.
Baca Juga: Terdampak Kekeringan di Jateng, Sebagian Tanaman Padi Puso dan Penggilingan Tutup
Di Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, sejumlah petani memilih tidak menanam dulu setelah sebulan lalu menyelesaikan panen tembakau. ”Sambil menunggu hujan, saya membersihkan dan menata lahan dulu,” ujar Muslim (60), buruh tani di Desa Tanjungsari.
Lahan yang digarap Muslim itu menurut rencana akan ditanami cabai dan jagung. Namun, karena lahan itu mengandalkan hujan untuk pengairan, Muslim mengaku belum tahu kapan bakal mulai menanam lagi. Sebab, hujan juga belum bisa diprediksi kapan akan turun lagi.
Irigasi rusak
Di Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, musim kemarau juga berdampak pada makin berkurangnya debit air irigasi. Kondisi itu diperparah oleh banyaknya kerusakan saluran irigasi.
”Total luas sawah di Desa Krincing sekitar 40 hektar. Namun, karena mengecilnya debit dan banyaknya kerusakan di sepanjang saluran irigasi, sawah yang teraliri air irigasi saat ini kurang dari 3 hektar,” tutur Bambang, salah seorang perangkat Desa Krincing.
Menurut Bambang, sekitar dua bulan lalu, sejumlah petani di desa itu menanam padi. Saat itu, kadang masih ada hujan gerimis yang turun sehingga petani berharap sawah mereka bisa mendapat air hujan ditambah sedikit pasokan air irigasi.
Namun, karena datangnya musim kemarau, tanaman padi itu pun mengering. ”Tanaman padi mereka hanya bertahan hijau selama sebulan dan selanjutnya mengering sampai sekarang,” ujar Bambang.
Baca Juga: Sistem Irigasi Belum Sentuh Sebagian Petani
Di sisi lain, lancarnya pasokan air irigasi juga belum tentu bisa membuat hasil panen kali ini melimpah seperti kondisi normal. Di Desa Bumirejo, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, sekitar 150 hektar lahan pertanian masih mendapat pasokan air yang mencukupi dari irigasi.
Namun, menurut Sumedi, salah seorang perangkat Desa Bumirejo, cuaca panas saat ini berdampak pada tanaman. Banyak tanaman padi dan palawija terlihat layu. ”Banyak tanaman seperti terbakar karena panas matahari. Dengan kondisi ini, hasil panen pun bisa susut 50 persen dari biasanya,” ujarnya.
Tanaman padi mereka hanya bertahan hijau selama sebulan dan selanjutnya mengering sampai sekarang.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang Ade Sri Kuncoro Kusumaningtyas mengatakan, saat ini belum ada lahan pertanian di kabupaten itu yang terdata mengalami gagal panen.
Untuk menghindari risiko gagal panen, petani diminta menanam tanaman yang tahan kekeringan. ”Jika tetap ingin menanam padi, sebaiknya pilihlah varietas padi tahan kekeringan, seperti Cakrabuana, Situbagendit, atau Ciherang,” kata Ade.
Sementara itu, petani yang sebelumnya menanam tembakau diminta melanjutkan menanam tanaman yang tak memerlukan banyak air, seperti palawija.
Ratusan hektar puso
Selain di Kabupaten Magelang, kesulitan air juga terjadi di wilayah lain Jateng. Mualif (55), buruh tani di Desa Malebo, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, mengatakan, untuk mengairi lahan jagung yang digarapnya, dirinya harus menyedot air dari sumber air terdekat menggunakan mesin diesel.
Namun, karena debit air mulai mengecil, upaya menyedot air butuh waktu cukup lama. ”Untuk mengairi 2.000 meter persegi lahan jagung, saya biasanya harus menyedot air selama delapan jam,” katanya.
Kondisi lebih parah dialami Kamelan (50), petani asal Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Dia menyewa sawah seluas 3,6 hektar, lalu ditanami padi. Kini, padi-padi berumur 2 bulan itu sebagian besar mati karena kekeringan.
”Dari 3,6 hektar, sekitar 2 hektar sudah mati karena kekeringan. Sisanya sekitar 1,6 hektar segera menyusul puso karena sekarang sudah benar-benar tidak ada air,” katanya, Senin (4/9/2023).
Kamelan mengaku telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 60 juta untuk menanam padi. Selain itu, ia juga berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 200 juta.
”Untuk menanam padi itu, saya seluruhnya pakai uang pinjaman dari bank. Sekarang cuma bisa pasrah karena ini fenomena alam. Saya sudah berusaha, tetapi tetap tidak bisa menghindari puso,” kata Kamelan.
Kekeringan tidak hanya membawa kerugian bagi Kamelan, tetapi juga petani-petani lain di sejumlah wilayah Jateng. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng, hingga Agustus 2023, lahan pertanian padi seluas 5.150,7 hektar di provinsi itu terdampak kekeringan. Dampak yang muncul beragam, dari ringan, sedang, berat, hingga puso.
Luasan lahan padi di Jateng yang puso hingga Agustus 2023 tercatat sekitar 254,1 hektar. Lahan yang puso itu tersebar di sejumlah wilayah, antara lain Banyumas, Cilacap, Brebes, Kendal, Kabupaten Pekalongan, Rembang, Kebumen, Kabupaten Tegal, dan Purworejo.