Terdampak Kekeringan di Jateng, Sebagian Tanaman Padi Puso dan Penggilingan Tutup
Petani dan penggilingan padi di sejumlah daerah di Jateng merugi akibat kekeringan yang melanda wilayah tersebut. Mereka berharap, pemerintah melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi.
SEMARANG, KOMPAS — Kekeringan yang terjadi akibat fenomena El Nino membuat petani di sejumlah wilayah di Jawa Tengah merugi karena lahan tanam padi mereka puso. Tak hanya petani, sejumlah pelaku usaha penggilingan padi juga terpaksa berhenti beroperasi karena kesulitan mendapatkan gabah dari petani.
Di Kabupaten Pati, hujan sudah mulai jarang turun setidaknya sejak tiga bulan terakhir. Kondisi itu membuat air di sejumlah embung, waduk, maupun sungai mengering. Hal itu lantas membuat lahan pertanian tak mendapatkan aliran air yang cukup sehingga tanaman-tanaman puso.
Beberapa bulan terakhir, Kamelan (50), petani asal Margorejo, Kabupaten Pati, menyewa sawah seluas 3,6 hektar di Kecamatan Jakenan, Pati. Sawah itu ditanami padi. Kini, padi-padi itu berumur 2 bulan itu sebagian besar mati karena kekeringan.
”Dari 3,6 hektar, sekitar 2 hektar sudah mati karena kekeringan. Sisanya sekitar 1,6 hektar segera menyusul puso karena sekarang sudah benar-benar tidak ada air,” kata Kamelan, Senin (4/9/2023).
Anak-anak bermain di lahan sawah yang kering akibat kemarau di Desa Krincing, Secang, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (25/8/2023). Kemarau mengakibatkan sejumlah lahan sawah yang hanya menggunakan sistem tadah hujan menjadi tidak produktif. Petani berharap musim kemarau segera berakhir agar mereka dapat memanfaatkan lahan mereka kembali.
Selama ini, Kamelan berupaya mencari sumber air lain untuk sawahnya. Ia pernah meminta bantuan suplai air dari Waduk Randugunting di Blora. Hasilnya, air dari waduk tersebut dua kali mengalir ke sungai yang berada di sekitar sawah Kamelan. Namun, hal itu tidak cukup. Saat kembali mengajukan permintaan bantuan, ia ditolak dengan alasan kuotanya sudah habis.
Kamelan sempat menempuh jalan lain dengan membuat sumur bor di sekitar sungai yang tak jauh dari sawahnya. Setelah menggali sampai kedalaman 120 meter, Kamelan hanya mendapat sedikit sekali air. Kini, air di sumur bor itu juga berangsur mengering.
Baca Juga: Ratusan Hektar Padi di Jateng Puso, Harga Beras Naik Empat Kali dalam Sebulan
Kamelan menyebut sudah mengeluarkan biaya sedikitnya Rp 60 juta untuk menanam padi-padi tersebut. Selain itu, ia juga masih berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 200 juta.
”Untuk menanam padi itu, saya seluruhnya pakai uang pinjaman dari bank. Sekarang cuma bisa pasrah karena ini fenomena alam. Saya sudah berusaha, tetapi tetap tidak bisa menghindari puso,” tutur Kamelan.
Selama ini, ia tidak mengasuransikan tanamannya karena tidak paham dengan program tersebut. Ia belum pernah mendapatkan sosialisasi ataupun edukasi terkait program tersebut.
Kamelan berharap, ke depan, pemerintah bisa membangun lebih banyak waduk untuk menampung air pada saat musim hujan. Sehingga, saat kemarau, ada tambangan cadangan air yang bisa dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian.
Kekeringan tidak hanya membawa kerugian bagi Kamelan, tetapi juga petani-petani lain di sejumlah wilayah di Jateng. Berdasarkan catatan Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jateng hingga Agustus, lahan pertanian padi seluas 5.150,7 hektar terdampak kekeringan. Dampak yang terjadi beragam, mulai dari dampak ringan, sedang, berat, hingga puso.
Luasan lahan padi yang puso hingga Agustus tercatat sekitar 254,1 hektar. Lahan itu tersebar di sejumlah daerah, antara lain Banyumas, Cilacap, Brebes, Kendal, Kabupaten Pekalongan, Rembang, Kebumen, Kabupaten Tegal, dan Purworejo.
Banyaknya lahan pertanian yang puso membuat suplai gabah ke sejumlah penggilingan padi seret. Di Blora, misalnya, mayoritas usaha penggilingan padi tidak bisa beroperasi karena tidak mendapatkan suplai gabah.
”Di Blora itu, ada sekitar 12 penggilingan padi yang besar. Saat ini, yang beroperasi tinggal 2 sampai 3 unit. Yang lain terpaksa berhenti beroperasi karena kesulitan mendapatkan gabah karena produksi dari petani pasti menurun,” ujar Mardiono, pemilik usaha penggilingan padi di Blora.
Selain itu, para pelaku usaha penggilingan padi juga masih harus menghadapi mahalnya harga gabah. Menurut Mardiono, harga gabah kering giling saat ini mencapai Rp 8.000 per kilogram. Harga itu lebih tinggi harga pokok pembelian (HPP) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 6.200 per kilogram.
Sementara itu, harga gabah kering panen saat ini disebut Mardiono sebesar Rp 7.600. Harga itu juga lebih dari HPP yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar Rp 5.100 per kilogram.
Baca Juga: Antisipasi Dampak El Nino, Petani di Jateng Diimbau Tunda Masa Tanam
Melambungnya harga gabah disebut Mardiono juga dipicu oleh faktor eksternal, yakni adanya keputusan negara-negara lain menutup keran ekspor beras demi keamanan pangan negara mereka masing-masing. Kebijakan negara-negara itu berpotensi membuat pemerintah Indonesia kesulitan dalam mengimpor beras untuk menyetabilkan harga.
”Masa-masa ini akan sulit karena petani baru akan panen raya pada Februari 2024. Ini baru September sudah begini kondisinya,” katanya.
Saat ini, sebagian petani diperkirakan Mardiono memilih untuk menyimpan sebagian hasil panennya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sampai panen berikutnya. Sebagian dari mereka hanya akan menjual sedikit gabahnya.
Sementara itu, para tengkulak juga berpotensi menahan penjualan sampai harga gabah di pasaran mencapai titik tertinggi. Untuk itu, Mardino berharap pemerintah segera melakukan sesuatu untuk mencegah kondisi memburuk.
Irigasi
Sekretaris Daerah Provinsi Jateng Sumarno mengatakan, irigasi memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga ketahanan pangan. Sebab, produksi-produksi pertanian bergantung pada irigasi. Untuk itu, Sumarno berharap, manajemen irigasi dilakukan secara efektif, efisien, dan lestari demi terjaganya ketahanan pangan di Jateng.
”Karena itu, perhatian pemerintah terhadap irigasi pertanian terus ditingkatkan. Di antaranya melalui pembangunan saluran infrastruktur irigasi di berbagai daerah agar penggunaan air lebih efektif dan efisien,” ujarnya.
Sumarno menambahkan, dalam menghadapi fenomena El Nino seperti saat ini, pihak-pihak terkait harus bersiaga mengantisipasi kekeringan. Para petani juga diharapkan bisa melakukan penyesuaian pola tanam untuk menekan potensi kerugian yang timbul.
Warga menggunakan jasa penggilingan padi keliling saat panen raya di sekitar Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (13/5/2019). Pemilik mesin giling padi ini menjelajahi berbagai kawasan pertanian saat panen untuk menawarkan jasa mereka Rp 10.000 per kuintal.
Di Grobogan, sejumlah petani memilih untuk tidak menanam padi karena takut merugi. Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Grobogan, Hardino menyebut, pada musim tanam ketiga seperti saat ini, mayoritas petani di wilayahnya memilih untuk menanam jagung, kacang, dan kedelai.
”Mayoritas pakai cara padi-padi-komoditas lain. Musim tanam pertama padi, kedua padi, dan ketiga komoditas lain. Yang menanam padi (di musim tanam ketiga) ada, tapi hanya sebagian kecil. Itu pun yang lokasi sawahnya benar-benar dekat dengan sumber air,” kata Hardiono.
Menurut Hardiono, para petani di wilayahnya menerapkan sistem methuk atau menjemput. Melalui sistem itu, petani langsung membuat persemian saat padi mulai menguning. Sehingga, setelah padi dipanen, sawah bisa langsung diolah untuk selanjutnya ditanami padi atau komoditas lain.
”Kalau normalnya, sawah setelah dipanen itu diberi jeda 25-30 hari untuk bikin persemian. Sistem methuk ini tadi untuk memangkas waktu jeda itu,” imbuhnya.
Kini, para petani Grobogan, terutama yang menanam jagung disebut Hardiono sedang panen raya. Pada saat yang sama, harga jagung juga tinggi. Jagung kering dengan kadar air di bawah 17 persen misalnya, mencapai Rp 5.800 per kilogram. Harga itu menjadi yang paling tinggi sepanjang sejarah. Biasanya, harga jagung dengan kondisi tersebut sebesar Rp 5.200 per kilogram.