Masuki Puncak Kemarau, Risiko Kebakaran Lahan di Sulut Meningkat
Sulut memasuki masa puncak musim kemarau yang diiringi angin kencang sehingga risiko kebakaran lahan meningkat. Selama 15 hari terakhir telah terjadi 12 kali kebakaran hutan dan lahan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sulawesi Utara memasuki masa puncak musim kemarau yang diiringi angin kencang sehingga risiko kebakaran lahan meningkat. Selama 15 hari terakhir telah terjadi 12 kali kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, dampaknya diperkirakan tidak akan parah karena masih adanya curah hujan sekalipun berintensitas rendah.
Kepala Stasiun Klimatologi Sulut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Iryanto Marmin Suwirono mengatakan, Sulut telah memasuki masa puncak kemarau pada September dan diprediksi akan berlangsung hingga akhir Oktober. ”Ini dipengaruhi adanya fenomena El Nino dengan derajat lemah hingga moderat,” katanya, Senin (4/9/2023) via telepon.
BMKG membagi wilayah sulut menjadi 10 zona musim dan delapan di antaranya telah memasuki kemarau berdasarkan analisis per 1 September 2023. Setidaknya lima dari 15 kabupaten/kota di Sulut pun melalui lebih dari 21 hari tanpa hujan, yaitu Bolaang Mongondow, Manado, Minahasa, Minahasa Selatan, dan Minahasa Utara.
Di Manado, Kecamatan Bunaken dan Mapanget bahkan telah melewati lebih dari 31 hari tanpa hujan. Kebakaran sempat terjadi di sebuah lahan kosong di sisi utara kompleks pertokoan modern Kawanua City Walk, tetapi cakupannya berskala kecil.
Hari berkepanjangan tanpa hujan juga terjadi di Poigar, kecamatan di pesisir utara Kabupaten Bolaang Mongondow.
”Beberapa daerah diperkirakan akan mengalami curah hujan sangat rendah, kurang dari 20 milimeter per dasarian (10 hari) dengan peluangnya sampai 90 persen. Kondisi ini memenuhi syarat untuk dikeluarkannya peringatan dini terkait ancaman kekeringan,” kata Iryanto.
Cuaca terik dan suhu yang mencapai 34 derajat celsius pada siang hari di Sulut diiringi pula fenomena angin kencang. Di Sulut daratan, kecepatan angin bisa mencapai 8 knot atau hampir 15 kilometer per jam. Sementara di wilayah Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Siau Tagulandang Biaro 12 knot atau 22 km per jam.
Belasan kebakaran
Menurut Iryanto, angin kencang ini dipengaruhi oleh bertiupnya angin muson australia yang bersifat kering. ”Ini membuat suhu lebih panas,” ujarnya.
Puncak musim kemarau pun diwarnai dengan insiden kebakaran hutan dan lahan di beberapa kota/kabupaten. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bitung Fivy Kadeke menyatakan telah terjadi 12 kali kebakaran hutan dan lahan selama 15 hari terakhir antara 19 Agustus hingga 2 September.
”Penyebab kebakaran bervariasi. Ada yang awalnya membakar sampah, sementara yang lainnya tidak diketahui sebab tidak ada yang tahu awal kejadian kebakaran,” kata Fivy via pesan teks.
Kebakaran lahan sempat terjadi di daerah perkebunan rakyat di Kelurahan Batuputih Bawah, Kecamatan Ranowulu, Bitung. Daerah tersebut berbatasan dengan Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus. Kepala Polsek Ranowulu, Inspektur Satu Andri Salmon, menyebut area yang terbakar dikhawatirkan mencapai 4 hektar.
Kepolisian pun berkoordinasi dengan camat serta Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut. ”Penanganan dilakukan oleh Manggala Agni (pemadam kebakaran hutan) di perbatasan perkebunan serta hutan konservasi,” ujarnya.
Soal ini, Fivy masih mengonfirmasi korelasi musim kering dan angin kencang dengan kebakaran lahan yang terjadi. Untuk sementara, BPBD Bitung pun menerbitkan imbauan kepada masyarakat untuk tidak membakar lahan ataupun membuang puntung rokok sembarangan.
”Pelaku bisa dikenai pidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 5 miliar sesuai Pasal 78 Ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999,” katanya.
Kebakaran hutan dan lahan juga dilaporkan terjadi di Kawasan Hutan Lindung Gunung Soputan, tepatnya di Kecamatan Silian, Kabupaten Minahasa Tenggara. Kepala Pelaksana BPBD Minahasa Tenggara, Dontry Wongkaren, menyebut peristiwa itu telah berlangsung sejak Sabtu (2/9/2023) pagi.
Tim pemadam kebakaran serta Manggala Agni telah diturunkan sejak Sabtu sore, tetapi hingga larut malam, api tak kunjung dapat dipadamkan. ”Angin kencang menyebabkan api semakin meluas dan asap tebal sehingga kami perlu bantuan personel dan peralatan,” kata Dontry melalui pernyataan tertulis.
Untuk sementara, kebakaran di kawasan lindung gunung tertinggi ketiga di Sulut itu tidak menimbulkan korban jiwa. Penyebabnya pun belum diketahui.
Terkait hal ini, Iryanto menyebut kebakaran lahan di beberapa daerah telah terekam oleh satelit BMKG. Ia menduga, kebakaran berawal dari kebiasaan warga membakar sampah atau petani membuka lahan dengan cara membakar.
”Karena sudah musim kemarau, banyak daun kering yang gugur ikut terbakar sehingga cepat meluas. Akan tetapi, kalau kebakaran hutan kami prediksi kecil kemungkinannya karena walau di puncak kemarau, tetap akan ada hujan meski intensitasnya di bawah 50 milimeter dalam satu dasarian,” kata Iryanto.
Warga Sulut pun harus bertahan dengan cuaca kering dan panas hingga setidaknya akhir Oktober.
Warga Sulut pun harus bertahan dengan cuaca kering dan panas hingga setidaknya akhir Oktober. BMKG memperkirakan Sulut akan memasuki musim hujan secara keseluruhan pada November.
Wilayah Minahasa Raya serta Bolaang Mongondow Raya sisi utara akan memasuki musim hujan lebih dulu, disusul kepulauan serta Bolaang Mongondow Raya sisi selatan.