Harga Komoditas Perkebunan Anjlok, Sebagian Petani di NTT Pilih Jadi Pekerja Migran Ilegal
Produksi semua komoditas perkebunan milik petani di Provinsi Nusa Tenggara Timur terus anjlok, termasuk harganya. Di sisi lain, harga bahan pokok cenderung naik.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Cuaca tak pasti. Produksi semua tanaman perkebunan di Nusa Tenggara Timur turun, harga jual dari petani tak menentu. Di sisi lain, hargakebutuhan pokok terus naik. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sebagian petani lebih memilih jadi pekerja migran melalui jalur ilegal di luar negeri.
Hamparan aneka tegakan tanaman perkebunan menghiasi area perbukitan Wato Tonu dan bukit Ile Paty di Desa Demondei dan Desa Watodei, pedalaman Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kemiri, pinang, kelapa, mangga, kakao, kopi, dan cengkeh. Semuanya melambai-lambai saat diterpa angin gunung. Di sela tanaman itu, tampak tanaman vanili membelit di sejumlah batang pohon.
Sayangnya, semak belukar juga tumbuh rimbun di antara aneka tanaman yang berusia puluhan tahun tersebut. Tanaman dibiarkan digerogoti semak-semak liar. Tampak pula sejumlah tanaman yang patah dan tumbang berantakan saat badai Seroja, awal April 2021, belum juga dirapikan pemilik.
Areal tanaman perkebunan di dua desa itu sekitar 25.000 hektar, menghiasi kawasan perbukitan dan sumber-sumber mata air di wilayah itu. Sebagian tanaman sudah berusia di atas 20 tahun.
Produktivitas aneka tanaman itu sangat rendah. Petani jarang merawat dan memberi pupuk. Tidak ada tenaga penyuluh lapangan masuk ke desa-desa pedalaman itu. Jangankan tanaman perkebunan, untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan petani juga tak mendapatkan bantuan pupuk dan penyuluhan.
Ini sengaja ditanam agar petani tetap punya cadangan penghasilan setiap bulan. (Bernad Reo)
Bernad Reo (65), petani di Desa Demondei, Rabu (30/8/2023), misalnya, mengatakan, tanaman perkebunan itu tidak lagi memberi hasil yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ia memiliki sekitar 2 hektar lahan perkebunan campuran.
”Ada kemiri, pinang, pisang, kelapa dan cengkeh. Setiap tanaman punya masa panen berbeda. Januari-Februari, ada yang masa panen April-Juni, Agustus-Oktober, dan ada pula masa panen November-Desember. Ini sengaja ditanam agar petani tetap punya cadangan penghasilan setiap bulan,” kata Bernad.
Berpihak kepada petani
Hingga 2010, harga komoditas perkebunan masih berpihak pada petani. Saat itu, petani fokus merawat dan terus melakukan regenerasi. Namun, sejak 2015 sampai hari ini, harga tak menentu. Seiring itu, perubahan iklim pun memperburuk produksi semua jenis tanaman itu.
Tahun ini, menurut dia, panen tidak ada sama sekali. Biasanya bulan Mei-Agustus petani ramai-ramai panen pinang, kopi, kakao, cengkeh, dan kemiri. Namun, tahun ini tak berbuah sama sekali. Kopi, misalnya, satu pohon sebelumnya bisa menghasilkan 10 kilogram biji beras, sekarang 3 kg pun tidak sampai. Belum lagi dimakan kelelawar dan musang.
Ayah lima anak dengan enam cucu ini pun memutuskan fokus menanam umbi-umbian jenis keladi di sela tanaman. Selain sebagai makanan pengganti, jenis tanaman itu juga cocok untuk pakan ternak babi. Keladi dinilai lebih bertahan terhadap kekeringan.
Di sisi lain, harga kebutuhan pokok terus bergerak naik. Beras tembusRp 17.000 per kg. Sementara anak-anak sekarang jarang mau mengonsumsi umbi-umbian dan jagung. Jikaterpaksa, merekahanya coba mencicipi. Mereka lebih memilih mi instan dan makanan siap saji lain.
Memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bernad mengutus putra keduanya, Jimy (24), bersama sejumlah pekerja migran nonprosedural dari Kabupaten Flores Timur ke Johor Bahru, Malaysia Barat, melalui Batam, Kepulauan Riau. Keberangkatan Jimy, 2019, secara ilegal bersama puluhan pekerja migran lain menggunakan KMP Bukit Sriguntang.
”Jimy sudah tiga kali kirim uang untuk kami belanja makan-minum dan sekaligus bangun rumah miliknya di samping rumah saya. Dia masih di Malaysia dan bekerja di lahan sawit. Mereka terus berada di hutan. Kalau ke kota pun, mereka selalu waspada agar tidak terpantau polisi Malaysia,” kata Bernad.
Radus Lejap (43), petani Kalikasa di Kecamatan Atadei, Lembata, mengaku tidak lagi tertarik mengurus tanaman perkebunan seluas 1 hektar miliknya. Selain produksi hampir tidak ada, harga komoditas perkebunan juga terus anjlok.
Biji kemiri kupas utuh, misalnya, sebelumnya Rp 40.000 per kg kiniRp 32.000 per kg. Harga ini relatif lebih baik dibandingkan bulan Juli 2023, tetapi produksi tidak ada lagi.
Kebutuhan pokok
Selain kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, kebutuhan anak-anak pun terus meningkat. Kebutuhan ponsel pintar dan paket data internet, misalnya.
”Sekarang, ponsel pintar dan paket data internet punjadi kebutuhan pokok bagi anak-anak. Sekolah saja harus pakai telepon Android. Tidak pegang ponsel pintar, katanya ketinggalan zaman,” katanya.
Ayah tiga anak ini mengatakan, dua tahun silam ia pulang dari Tawau, Malaysia, secara ilegal. Hasilnya bisa digunakan untuk membangun rumah dan membeli lahan pertanian. Kini, Lejap ingin berangkat lagi. Menjadi pekerja migran ilegal sebagai pilihan tepat bagi Lejap mengatasi tekanan ekonomi keluarga.
”September 2023 saya dan teman-teman jalan dengan kapal laut. Mau ke Malaysia Barat melalui Batam. Nanti di Batam baru proses keberangkatan lanjutan ke Malaysia. Ada yang atur di Batam. Legal atau ilegal, kami sudah biasa pergi-pulang,” katanya.
Ketua Kelompok Tani ”Nian Tanah” Desa Kojagete, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, Amandus Marius, mengatakan, sebagai petani selalu mendapatkan ”gerimis” dari alam. Sejumlah tanaman perkebunan secara bergantian memberikan penghasilan sepanjang tahun meski terbatas. Yang menjadi soal adalah produktivitasnya.
Gangguan cuaca atau perubahan iklim sebagai masalah utama. Tanaman itu beraneka jenis. Jumlah tegakan pohon pun terbatas, tidak lebih dari 50 batang untuk satu jenis tanaman.
Ketua Yayasan ”Bola Kemanusiaan” Sikka, Moat Babong, mengatakan, pemahaman petani tradisional masih di bawah rata-rata, tidak berpikir untuk kepentingan jangka panjang, dan berpenghasilan tinggi. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hari ini, hari esok cari lagi.
”Dengan begit,u mereka hanya bisa menghasilkan komoditas tertentu dalam jumlah terbatas. Misalnya, 20-30 kg kopi biji beras per tahun, kemiri biji kupas putih 40 kg, dan pinang kering 30-40 kg per tahun,” kata Babong.
Sementara itu, lapangan kerjalain terbatas. Pilihan yang lebih mudah ditempuh menjadi pekerja migran ilegal. Jika berangkat secara prosedural, dinilai berbelit–belit.
”Lagi pula, sudah banyak yang (pekerja migran) ilegal yang sukses. Ini pula mendorong orang makin banyak berangkat secara ilegal,” ujarnya.