Guru Mencukur Paksa Siswi Indikasi Pendidikan dengan Kekerasan
Tindakan guru mencukur paksa belasan siswi SMP Negeri 1i Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, cuma karena masalah busana mengindikasikan kekerasan masih hidup dalam pendidikan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan membebastugaskan seorang guru SMP Negeri 1 Sukodadi pencukur paksa 19 siswi yang tak mengenakan ciput kerudung. Tindakan guru ini mengindikasikan pendidikan masih diberikan dengan kekerasan yang meninggalkan trauma sekaligus bertentangan dengan semangat merdeka belajar.
Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Munif Syarif saat dihubungi dari Surabaya, Rabu (30/8/2023), mengatakan, guru pencukur paksa sementara dicabut kewenangannya mengajar. Guru berinisial RR EWP itu ditarik ke dinas sebagai staf untuk pembinaan dalam waktu yang belum ditentukan. Dinas telah mengumpulkan seluruh guru bimbingan konseling dan kepala sekolah untuk pencegahan kejadian serupa berulang.
Menurut Munif, cukur paksa dialami oleh 14 siswi kelas IX yang oleh EWP kedapatan tak mengenakan ciput atau bagian dalam kerudung pada Rabu (23/8/2023). Ciput digunakan untuk menutupi rambut sebelum memakai kerudung. Melihat kalangan siswi tidak memakai ciput, EWP yang notabene pengampu mata pelajaran menjadi kesal lalu bertindak di luar kewenangan.
Munif mengakui, tindakan itu mengagetkan dan meninggalkan trauma bagi siswi yang terkena cukur paksa. Selain itu, memunculkan polemik di antara tenaga pendidik karena di SMP Negeri 1 Sukodadi tidak ada peraturan tertulis kewajiban memakai ciput. Kalangan siswi yang terkena cukur paksa kemudian mengadu ke orangtua dan keluarga yang selanjutnya mempermasalahkannya.
Sehari kemudian, kata Munif, diadakan pertemuan antara orangtua atau wali siswi dengan sekolah. Dalam pertemuan, EWP menyampaikan permohonan maaf. Masalah sebenarnya sudah bisa diselesaikan karena tidak ada orangtua atau wali yang menuntut atau menempuh jalur hukum. ”Guru itu telah ditarik untuk pembinaan sejak Senin (28/8/2023),” katanya.
Secara terpisah, Kepala SMP Negeri 1 Sukodadi Harto mengatakan, pihaknya telah meminta kedatangan psikolog untuk membantu penanganan trauma para siswi yang terkena cukur paksa. Selain itu, EWP telah dipanggil ke dinas bersama kepala sekolah dan guru BK untuk diingatkan kembali agar tidak menempuh cara-cara tak simpatik dalam proses belajar-mengajar.
”(Cukur paksa) Itu tindakan salah. Kami sudah laporkan ke dinas dan guru itu telah ditarik untuk pembinaan,” kata Harto. Sekolah meminta maaf kepada orangtua dan seluruh sivitas sekolah sekaligus berusaha mencegah kejadian serupa dan atau tindakan tak simpatik terhadap siswa siswi jangan berulang di masa depan.
Secara terpisah, dosen keguruan dan pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya, Holy Ichda Wahyuni, mengatakan, hukuman (cukur paksa) yang berlebihan dari guru kepada siswa siswi memperlihatkan arogansi dan pengajaran diberikan dengan jalan kekerasan.
Sejatinya, pendidikan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan atau memanusiakan manusia (peserta didik). Dengan cara yang simpatik dan humanis, pendidikan diharapkan dapat mencerdaskan anak bangsa sekaligus membangun keterampilan dan karakter yang baik.
Sejatinya, pendidikan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan atau memanusiakan manusia.
Wahyuni menyarankan, guru kembali kepada hakikat dalam pendidikan yakni sosok yang digugu dan ditiru. Digugu berarti perkataan dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru berarti sikap dan perbuatan sebagai teladan. Pendekatannya secara humanis kepada siswa siswi yang notabene masih remaja. ”Pendekatan yang simpatik, kultural, personal, dan bersahabat bukan yang mendikte apalagi memaksa,” ujarnya.
Guru bisa memanggil siswa siswi yang cara berpakaian misalnya kurang rapi atau tidak sesuai lalu mengajak bicara atau diskusi. Jika kemudian siswa-siswi bersedia mengubah cara berpakaian, itu akan menjadi tindakan yang simpatik. Jika tidak bersedia, perlu diperlihatkan aturan yang benar. Namun, jika tiada aturan yang dilanggar, siswa-siswi tidak boleh terkena sanksi apa pun.