Kesepakatan Batas Maritim Antarnegara Tekan Potensi Konflik
Konflik horizontal antarwarga negara berpotensi terjadi jika batas maritim tidak diatur dengan jelas. Untuk menghindari konflik dengan negara tetangga, Indonesia menyepakati sejumlah batas maritim.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Batas maritim antarnegara dinilai penting untuk disepakati. Tanpa batas yang jelas, berbagai konflik warga antarnegara rawan terjadi. Belakangan, Pemerintah Indonesia menyepakati batas maritim dengan Malaysia dan Vietnam untuk menekan potensi konflik.
Perbatasan negara, baik di daratan maupun di perairan, merupakan hal yang krusial. Sebab, batas negara menandai dimulainya kedaulatan suatu negara. Wilayah perairan Indonesia berbatasan dengan setidaknya sepuluh negara lain, yakni India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Niugini.
Selama ini, penentuan garis batas di wilayah maritim yang berbatasan langsung dengan negara atau delimitasi terus dilakukan. Di dunia internasional, delimitasi mengacu pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, meskipun terdapat perbedaan penerapan antarnegara yang bersengketa.
”UNCLOS kurang tegas mengatur mengenai penyelesaian tumpang-tindih batas maritim antarnegara. Kekosongan hukum di area tumpang-tindih ini membuat banyaknya pelanggaran batas maritim sulit untuk diselesaikan dan tak jarang menyebabkan konflik,” kata Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng Kurniawan Priyo Anggoro di sela-sela seminar internasional yang diselenggarakan Universitas Diponegoro di Kota Semarang, Jateng, Selasa (29/8/2023).
Menurut Kurniawan, delimitasi dipengaruhi beberapa hal, seperti politik, faktor historis dan kebudayaan, serta isu strategis dan keamanan. Selain itu, kepentingan ekonomi dan kepentingan bagi kelompok-kelompok masyarakat juga turut memengaruhi delimitasi.
Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi Kementerian Luar Negeri Syahda Guruh Langkah Samudera juga menyebut, penentuan batas maritim sangat penting. Jika batas maritim sudah disepakati dan diketahui oleh masing-masing warga negara, pemanfaatannya akan bisa lebih optimal.
”Kalau sudah punya batas yang baik, kita jadi tahu batas kita di mana sehingga tidak akan terjadi nelayan ambil ikan di wilayah batas negara lain dan tidak ada kapal-kapal (dari negara lain) yang lewat. Selain itu, juga untuk mencegah pencemaran laut yang dampaknya bisa dirasakan lintas perbatasan,” ujar Syahda.
Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir sudah ada 21 perjanjian batas maritim yang disepakati Indonesia. Yang terbaru, pada Juni 2023, Indonesia menyepakati tiga batas maritim dengan dua negara, yakni Malaysia dan Vietnam. Kesepakatan itu tercapai setelah proses perundingan yang dilakukan selama belasan tahun.
”Dalam perundingan itu banyak sifat teknis, seperti masalah fitur geografis dan masalah perhitungan peta. Saya kira yang harus dikembangkan adalah bagaimana benar-benar bisa mendapatkan kesepakatan yang baik, terutama batas yang bisa saling memuaskan satu sama lain,” tuturnya.
Syahda menyebut, tantangan dalam perundingan itu bisa diatasi dengan meningkatkan kapasitas perundingan. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan mengembangkan regulasi domestik yang bisa mendukung perundingan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kapal perikanan asing melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia, salah satunya di perairan Natuna. Menurut Syahda, hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Untuk itu, patroli laut dan penjagaan di kawasan tersebut diperketat.
”Natuna adalah milik indonesia, selesai. Problemnya, China pakai logikanya dia dan bagi kita tidak masuk. Upaya pemanfaatan di tempat itu harus dipertahankan karena itu wilayah kedaulatan kita,” imbuhnya.
Syahda menambahkan, ada konsekuensi yang harus diterima jika pelanggaran batas maritim dilakukan. Selama pelanggaran yang dilakukan tidak terkait dengan tindak kriminal, biasanya akan diselesaikan secara diplomatik, misalnya, melalui perundingan. Adapun jika pelanggaran yang dilakukan terkait tindak kriminal, akan diproses sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Kesadaran
Sementara itu, Ketua Panitia Seminar sekaligus Ahli Hukum Internasional Undip, Darminto Hartono, mengatakan, pihaknya ingin agar melalui seminar itu, para peserta yang mayoritas anak muda menyadari besarnya sumber daya laut Indonesia sehingga keinginan untuk merawat dan memastikan batas maritim bisa muncul.
”Dari seminar ini kami juga mengharapkan adanya masukan-masukan dari berbagai pihak. Masukan itu bisa dari sisi yuridis ataupun sisi ekonomi,” ucap Darminto.
Darminto menyebut, ke depan, Undip bisa mendirikan pusat kajian hukum maritim. Melalui pusat kajian itu, kepentingan-kepentingan masyarakat bisa terwakili.