Nestapa Anak Nelayan Kupang Setelah Badai Seroja Berlalu
Badai Seroja di NTT pada April 2021 meninggalkan sejumlah persoalan, mulai dari kekurangan pangan, kemiskinan, hingga trauma yang terus meneror. Anak-anak menjadi kelompok yang paling terkena dampaknya.
Vantriks Mandala (13) mengunyah makanan sambil menggerutu. Dengan ujung sendok yang dipegangnya, dia berulang kali mengaduk nasi, sayur, dan potongan tempe goreng di dalam piring. Dipelototi ayahnya dari seberang meja makan, Vantriks akhirnya menghabiskan makanan itu dengan berat hati.
”Kapan makan ikan segar lagi?” tanya Vantriks kepada sang ayah. Dia lalu meraih tas dan berangkat ke sekolah dari rumahnya di perkampungan nelayan Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (19/8/2023) pagi.
Pertanyaan serupa sering dilontarkan Vantriks selama lebih dari dua tahun terakhir. Pertanyaan itu mulai muncul ketika ikan yang ia konsumsi semakin sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada ikan yang tersaji di meja makan, itu bukan ikan kesukaannya yang dulu hampir setiap hari selalu ada.
Vantriks gemar makan ikan pelagis atas, seperti ikan kuwe, yang diolah dengan cara direbus dan dibakar. ”Saya suka makan mata ikan yang agak berlendir seperti jeli. Itu enak sekali. Saya rasa badan saya kuat,” ujar bocah yang gemar main sepeda dan sepak bola itu.
Setelah berkurangnya asupan ikan di meja makan, Vantriks mengaku merasakan perubahan dalam dirinya. Ia merasa lebih cepat capek kala menggiring bola atau mengayuh sepeda. Itulah kenapa, dia akhirnya lebih banyak mengurung diri di rumah ditemani gawai.
Berkurangnya konsumsi ikan di keluarga Vantriks itu tak lepas dari masalah yang dihadapi sang ayah, Romi Mandala (43). Dulu, Romi bekerja sebagai nelayan. Namun, pada 4 April 2021, kapal motor miliknya hancur diterjang ombak akibat badai Seroja saat sedang ditambatkan di pesisir Pantai Oesapa. Kala itu, hampir semua wilayah di NTT terdampak siklon tropis tersebut.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, badai Seroja menewaskan 181 orang dan 47 lainnya dinyatakan hilang. Selain itu, 250 orang luka-luka. Rumah rusak berat sebanyak 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 35.733 unit.
Baca juga : Kerugian akibat Badai Seroja Mencapai Rp 34 Triliun
Pemerintah tidak merilis data kerusakan kendaraan ataupun kapal motor akibat badai Seroja. Padahal, di kampung nelayan tempat Romi tinggal, setidaknya 17 kapal motor berukuran 2 gros ton hancur.
Kerusakan kapal melumpuhkan aktivitas nelayan yang berjumlah 41 keluarga di kampung tersebut. Sebagian besar nelayan yang terdampak itu kini tak lagi melaut. Mereka beralih menjadi pekerja serabutan dan pengojek. Ada pula yang merantau ke daerah lain.
Akibat kondisi itu, konsumsi ikan di keluarga nelayan pun berkurang drastis. ”Dulu, mulai pagi sampai malam, selalu ada ikan. Kami tinggal pilih mau makan ikan yang mana. Sekarang kami harus beli, sementara harga ikan sering kali mahal,” kata Romi.
Setelah badai Seroja, Romi kehilangan pendapatan per hari sekitar Rp 500.000 dari hasil mencari ikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keluarganya harus mengandalkan gaji istri Romi sebagai guru honorer yang jumlahnya tidak seberapa. Mengurangi jumlah konsumsi ikan pun dilakukan untuk menghemat pengeluaran keluarga yang beranggota lima orang itu.
Saat ini, Romi yang merupakan generasi ke-8 keluarga nelayan itu sedang menabung untuk membeli kapal baru. Untuk membeli satu kapal lengkap dengan mesin dan alat tangkap, butuh uang sekitar Rp 50 juta. ”Targetnya paling cepat dua tahun ke depan," ujarnya.
Baca juga : Rumah Rusak Terdampak Badai Seroja di NTT Mencapai 52.793 Unit
Clara M Kusharto, ahli gizi masyarakat dari IPB University, mengatakan, ikan mengandung protein berkualitas tinggi seperti asam lemak omega-3, vitamin D, vitamin B12, selenium, serta mineral seperti seng dan yodium. Zat gizi ini dapat membantu meningkatkan fungsi kognitif, perkembangan mata, dan sistem saraf.
Dia mengingatkan, zat gizi dalam ikan memiliki peran menjaga kesehatan jantung, fungsi otak, dan sistem saraf. Jika asupan berkurang secara signifikan, hal itu dapat berdampak pada penurunan energi, kelelahan, dan bahkan perubahan suasana hati. Gejala itu pula yang dialami Vantriks setelah konsumsi ikannya berkurang.
Meski begitu, Clara menyarankan, orangtua perlu mengonsultasikan gejala tersebut kepada dokter atau profesional kesehatan demi mendapatkan evaluasi medis yang tepat dan rekomendasi penanganan yang sesuai.
Perubahan iklim
Selain asupan protein ikan yang berkurang, terpukulnya kondisi ekonomi nelayan akibat badai Seroja juga mengancam masa depan pendidikan anak-anak. Ketua Kelompok Nelayan Oesapa Mansur Dokeng menuturkan, banyak anak sering kali tidak nyaman belajar karena diteror beban tunggakan iuran sekolah.
”Sekarang ini, anak-anak sekolah dari kampung ini juga jarang punya seragam baru. Dulu, setiap semester pasti punya seragam, tas, dan sepatu baru,” ujar Mansur.
Dia juga menyebut, trauma yang dialami anak-anak saat terjadi badai Seroja belum sepenuhnya hilang. Ketika terjadi angin kencang, anak-anak itu biasanya ketakutan. Mereka lalu bersiap lari ke tempat yang jauh dari pesisir.
Baca juga : Pembaca "Kompas" Bangun Rumah Terdampak Badai Seroja
Untuk menghilangkan rasa takut itu, Mansur mengajak anak-anak ke pos nelayan untuk melihat laporan cuaca di layar monitor yang diakses dari Indonesian Weather Information for Shipping.
Lelaki yang pernah terlibat dalam Sekolah Lapang Cuaca Nelayan yang digelar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) itu lalu memberi pemahaman kepada anak-anak tersebut. Dengan demikian, mereka menjadi lebih tenang.
Koordinator Program Voice for Climate Action Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Dina Soro mengatakan, badai Seroja merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim akibat pemanasan global. Sebagaimana penuturan masyarakat sekitar, badai semacam itu pernah terjadi pada tahun 1950-an. Namun, dalam data resmi pemerintah tidak ada catatan itu.
”Bencana seperti badai Seroja bisa berulang dengan siklus lebih cepat. Ini karena perubahan iklim yang memang sulit ditebak dan bisa jadi semakin buruk dari waktu ke waktu. Yang perlu dilakukan adalah mitigasi dan adaptasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Dina mendorong pemerintah dan masyarakat di pesisir NTT, termasuk Kampung Nelayan Oesapa, agar melakukan langkah mitigasi. Salah satu upaya mitigasi itu adalah menanam mangrove. Mangrove terbukti berhasil meredam dampak badai Seroja di Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang, sekitar 15 kilometer arah timur Oesapa.
Bencana seperti badai Seroja bisa berulang dengan siklus lebih cepat.
Di pesisir Tanah Merah, kini membentang 145 hektar mangrove yang dibudidayakan keluarga Joni Messakh, warga setempat. Hutan mangrove itu menjadi pelindung bagi 1.250 warga pesisir ketika badai Seroja datang sehingga tak ada kerusakan berarti di sana.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat pun mengajak masyarakat menanam mangrove. Ia juga mengklaim, pemerintah memiliki komitmen kuat dalam pelestarian lingkungan. Namun, di sisi lain, pemerintah masih memberi izin pembangunan dengan cara reklamasi yang merusak ekosistem pesisir.
Badai Seroja menjadi pengingat bahwa Bumi sedang dilanda perubahan iklim. Upaya mitigasi untuk mengantisipasi kedatangan badai semacam itu di kemudian hari harus digalakkan.