Museum Huruf, Mengabadikan Jejak Peradaban Manusia
Kerinduan akan hadirnya museum di Jember, Jawa Timur, mendorong sekelompok orang untuk membuat museum sendiri secara swadaya. Museum dibangun berdasar kemampuan personal mereka. Maka, lahirlah museum huruf.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
Bermula dari hobi, nongkrong, dan obrolan, ide untuk mewujudkan museum pun muncul. Bukan sekadar tentang huruf, museum kecil ini pada akhirnya menjadi ruang bersama untuk merawat ”kebudayaan”.
Untuk mencari museum huruf tidaklah sulit karena kita bisa memanfaatkan teknologi pencari peta di internet. Lokasinya di Jalan Bengawan Solo, Jember. Pun, saat mendekati lokasi, di bagian depan bangunan tertulis museum huruf dengan jelas.
Namun, saat memasuki lokasi, kita mungkin akan sedikit kebingungan. Sebab, ada beberapa gedung yang membuat kita harus bertanya untuk memastikan lokasi museumnya.
”Ini dahulu ruang kerja saya. Sekarang jadi museum,” kata Erik Wijayanto, Minggu (06/08/2023). Erik adalah pemilik rumah, yang sebagian gedungnya difungsikan menjadi museum huruf. Erik sebelumnya bekerja di bidang desain grafis dan komunikasi visual.
Erik kemudian mengantar saya untuk menengok isi museum. Berbagai panel berisi sejarah aksara pun terpampang berurutan. Mulai dari sejarah aksara tertua di dunia, di mana ditemukan di Sumeria sekitar 2500 sebelum Masehi (SM). Disusul peradaban Mesir dan China.
”Berikutnya ada aksara Hindus. Kitab Weda 1900 SM itu ditulis dengan aksara Hindus. Menguatkan bahwa sebelum ada huruf, tulisan simbol yang dipakai. Bahkan di Nusantara,” kata Erik.
”Di Nusantara, awal huruf digunakan adalah Pallawa (India), sekitar abad ke-5 Masehi. Lalu berikutnya pada abad ke-8 ada aksara Kawi,” kata pria berlatar pendidikan ISI Yogyakarta itu.
Menurut Erik, di museum huruf, mereka hanya mengoleksi kisah kesejarahan aksara. Tidak mengoleksi benda kuno. Hampir semua benda yang ada di sana adalah replika.
Meski demikian, museum itu pun sering dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat termasuk siswa sekolah. ”Ada yang hanya ingin melihat isi museumnya, dan ada yang mencari data,” kata Erik.
Dan, bagian terbaik dari museum ini adalah diterjemahkannya paparan sejarah aksara itu ke dalam huruf Braille sehingga pengunjung dengan keterbatasan netra bisa tetap mengakses informasi di museum ini.
”Memang kami sengaja menerjemahkannya ke dalam huruf Braille agar kawan-kawan difabel bisa turut memanfaatkan museum huruf ini. Kami ingin menjadikan museum ini inklusif untuk semua orang,” kata Direktur Museum Huruf Ade Sidiq Permana.
Menurut Ade, awalnya mereka menginisiasi munculnya museum daerah Jember. Namun, oleh karena ide tersebut masih mentok saat dibahas pada tataran eksekutif-legislatif, mereka pun mendirikan museum ala mereka sendiri hingga lahirlah museum huruf pada 30 Agustus 2017.
Memang kami sengaja menerjemahkannya ke dalam huruf Braille agar kawan-kawan difabel bisa turut memanfaatkan museum huruf ini.
Museum kemudian bukan saja berfungsi sebagai ruang sejarah. Namun, lebih luas, menjadi ruang diskusi dan aktivitas. ”Kami menerima siapa saja yang ingin memanfaatkan museum ini untuk berkegiatan. Silakan saja, yang penting acaranya bermanfaat bagi banyak orang,” kata Ade.
Begitulah, dari ruang kecil yang mereka bangun bersama ada harapan besar untuk bisa merawat rekam jejak peradaban manusia.