Pekik Merdeka oleh Anime Jepang hingga Luar Angkasa
Sebanyak 78 karya lukisan anak dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Merdeka Menggambar” di Museum BPK-RI, Kota Magelang. Semua karya dihasilkan dalam kegiatan ”workshop” yang digelar dua hari sebelumnya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Sesuai dengan isi dari Pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Memperjelas pernyataan tersebut, anak-anak di Magelang pun berpendapat bahwa kemerdekaan adalah sesuatu hal menyenangkan, dirindukan, disuarakan mulai dari orang-orang di kampung, dari pucuk gunung, dari tokoh kartun di luar negeri, bahkan hingga luar angkasa.
Ungkapan bebas merdeka tentang semangat kemerdekaan tersebut tertuang dalam karya lukisan dari 78 anak asal Kota dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dalam workshop melukis bertema ”Merdeka Menggambar” yang digelar oleh Museum BPK-RI bersama kelompok seniman Sanganusa di Museum BPK-RI, Kota Magelang, Kamis (17/8/2023).
Gio (7), salah seorang siswa asal Kecamatan Borobudur, misalnya, menggambarkan suasana dan semangat kemerdekaan dengan melukis tokoh anime Luffy, berikut dengan bendera Merah Putih berkibar di atasnya. Tokoh anime dari seri manga Jepang, One Piece, tersebut disebutnya sedang ikut merayakan 17 Agustus.
Kenapa Luffy dari Jepang ikut merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI? Sempat bingung sesaat, tetapi Gio kemudian mantap menjawab. ”Karena Luffy orang baik,” ujarnya polos, memuji tokoh kartun kesukaannya tersebut.
Ungkapan merdeka serupa juga digambarkan oleh Arsa (6), siswa kelas 1 SD Kanisius Pendowo. Terbiasa melihat dan menggambar tokoh kartun dari Youtube, seperti Skibidi Toilet, Camera Man, dan teman-temannya, dia dalam workshop pun langsung tergerak untuk menggambar Speakerman.
Merasa kurang bagus menggambar, belakangan dia pun menyebut bahwa figur yang digambar adalah robot rusak yang harus diperbaiki. Namun, di samping robot tersebut tetap digambarnya bendera Merah Putih yang berkibar-kibar.
Semula, menurut dia, robot itu sempat terbang memeriahkan suasana perayaan kemerdekaan dengan melayang-layang membawa bendera. Namun, tiba-tiba saja, aki robot tersebut berhenti.
”Robotnya tidak bisa berhenti. Robotnya rusak dan harus diperbaiki,” ujarnya berkilah.
Sekalipun digelar hanya selang beberapa jam setelah upacara bendera, bayangan kemerdekaan dalam imajinasi anak-anak memang tidaklah sebatas upacara dan pengibaran bendera di lapangan.
Selain tokoh kartun, anak-anak lain juga menggambarkan suasana kemerdekaan dalam beragam deskripsi. Echa, salah seorang siswa SD Magelang 7, misalnya, menggambarkan figur astronot sedang membawa Sang Saka Merah Putih dan merayakan kemerdekaan di Bulan.
Sementara itu, Hanif, siswa SLB Negeri Kota Magelang, menggambarkan gunung berapi yang tengah erupsi. Warna merah lava yang membara berpadu dengan bendera Merah Putih yang berkibar di atas gunung.
Kemerdekaan memang harus ada dan disuarakan di setiap ruang semesta. Oleh karena itulah, Farrel (10), siswa kelas 4 MI Muhammadiyah Teladan, Kota Magelang, kemudian ”menggugat” karena kemerdekaan ternyata tidak bisa dirasakan oleh sebagian teman di sekolahnya.
”Ada teman-teman di sekolah yang masih sering di-bully,” ujarnya.
Aksi perundungan tersebut digambarkannya dengan figur seorang anak perempuan yang dilukisnya dengan ekspresi meringis kesakitan karena rambutnya ditarik sejumlah teman di sekelilingnya.
Meski tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan perundungan, dia pun merasa cukup merdeka dan lega karena bisa mengekspresikan kegelisahan hatinya selama ini.
Tidak melulu dalam bentuk gambar dan simbol, semangat kemerdekaan tersebut diwujudkan dalam kebebasan anak-anak tersebut menggambar apa saja dengan warna dan gaya sesuka.
Zahwa (10), siswa SD Magelang 4, menumpahkan semangat kemerdekaannya dengan bebas melukis tanpa menggunakan kuas.
Dia memilih untuk melukis dengan menggunakan dua tangannya langsung.
”Terlalu lama jika harus melukis dengan kuas,” ujarnya. Dia gembira melukis sekalipun kedua tangan dan bajunya kotor belepotan cat akrilik.
Nur Fuad, Ketua Sanganusa, mengatakan, sesuai dengan temanya, ”Merdeka Menggambar”, workshop ini dilakukan dengan memberi kebebasan penuh bagi semua anak yang menjadi peserta. Sebanyak 10 seniman dilibatkan untuk mendampingi anak-anak. Mereka tetap hanya berperan membantu, menjawab segala pertanyaan, tetapi tidak boleh mengarahkan, menentukan obyek, atau teknik melukis yang akan dipakai. Orangtua pun dilarang mendekat agar anak bisa tetap melukis dengan tenang tanpa tekanan atau instruksi dari ayah atau ibunya.
”Kami hanya ingin memberikan kesempatan bagi anak-anak agar mereka bisa melukis dengan gembira,” ujarnya.
Suasana workshop pun dibuat santai dan senyaman mungkin bagi anak-anak. Sebelum melukis, di sesi awal, para seniman terlebih dahulu membagi ilmu tentang teknik melukis, seperti padu padan warna dan bagaimana membuat gradasi.
Selanjutnya, anak-anak pun dibebaskan melukis dengan gaya dan polah tingkah masing-masing. Sebagian di antaranya menggoreskan kuas sembari mengobrol dengan teman di kanan dan kirinya.
Sejak awal acara, panitia sudah membagikan kotak berisi makanan ringan, dan para peserta cilik itu pun “menangkap kesempatan” itu. Anak-anak pun melukis sembari makan kacang dan mengunyah roti.
Yustinus Agus, salah seorang seniman dari Sanganusa, mengatakan, semua karya yang dihasilkan dari workshop akan dipajang dalam pameran yang berlangsung pada 21-28 Agustus 2023.
Rangkaian kegiatan tersebut sama sekali bukan merupakan kompetisi dan tidak ada karya yang dianggap juara atau lebih baik dari yang lain.
”Kami hanya ingin memberikan pengalaman bagi anak-anak untuk melukis di atas kanvas, dan belajar melukis menggunakan cat akrilik,” ujarnya. Selama ini, dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, aktivitas menggambar biasanya hanya menggunakan krayon atau pensil warna.
Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM) M Nafi mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi kegiatan pameran dan workshop tersebut.
Kegiatan ini, menurut dia, menjadi bahan renungan, inspirasi bagi semua orang, orangtua maupun guru di sekolah, agar mulai memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memerdekakan diri. Pasalnya, anak-anak selama ini cenderung didorong berkegiatan dengan batasan-batasan, seperti harus mencapai target tertentu.
”Anak-anak biasanya lebih sering didorong mengikuti lomba atau kompetisi dengan target harus menjadi juara. Tanpa kita sendiri pernah berpikir apakah dia sudah merasa betul-betul senang dan merdeka untuk melakukannya,” ujarnya.
Di tengah ruang, pagar pelindung yang dibangun orangtuanya, ada kalanya anak-anak pun perlu memerdekan jiwa dan imajinasinya....