Kreativitas dan Kesukarelaan yang Menyelamatkan Nyawa
Sebagian warga Jawa Barat menggunakan kreativitas untuk menyelamatkan nyawa sesama. Semua beriringan dengan putaran roda ekonomi.
Kreativitas dan kesukarelaan sebagian warga Jawa Barat selatan berbuah lebih dari sekadar rupiah. Kiprah mereka ikut menyelamatkan nyawa manusia dan lingkungan di sekitarnya, kini dan nanti.
Asep Hidayat Mustofa (36) tidak pernah menyangka bakal membawa trofi Kalpataru pulang ke rumahnya di Kampung Waluran 2, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di Jakarta, berjarak 180 kilometer dari rumahnya, dia menerima Kalpataru Perintis Lingkungan pada 5 Juni 2023. Asep diapresiasi lewat kiprahnya bersama Desa Wisata Hanjeli yang dirintis sejak 2017.
Lewat tanaman hanjeli (Coix lacryma–jobi L), dia mengajak warga di Kampung Waluran untuk berdaya. Secara sukarela, Asep mendampingi warga menanam dan mengolah hanjeli sebagai sumber makanan bergizi.
Warga yang sebagian besar perempuan juga dilatih menata rumahnya menjadi penginapan untuk wisatawan. Ada juga yang belajar beragam kerajinan, mulai dari gelang hingga tasbih.
Hasilnya membanggakan. Sajian wisata menambah kesejahteraan bagi sedikitnya 40 warga. Mereka memperoleh tambahan penghasilan ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah per bulan bergantung kontribusinya.
”Dari wisata, warga bisa mendapat hasil tambahan lebih dari Rp 1 juta. Bisa lebih kalau ada warga yang rumahnya dijadikan tempat menginap,” ujar Asep pada Selasa (15/8/2023).
Baca juga: Upaya Kreatif Buka Pintu Sejahtera di Jabar Selatan
Akan tetapi, lebih dari sekadar rupiah, kiprah hanjeli ternyata ikut menyelamatkan nyawa. Selain menguatkan struktur tanah rawan longsor, Desa Wisata Hanjeli memberikan harapan baru.
Sebelumnya, akibat minim pilihan, banyak warga bekerja sebagai pekerja migran hingga petambang emas ilegal. Kini, mereka tidak perlu lagi bertaruh nyawa.
”Meski tidak ingin mengulanginya, banyak pelajaran yang didapatkan. Salah satunya kemampuan berbahasa asing. Lama di luar negeri, sebagian warga fasih berbahasa Inggris, Arab, hingga Kanton,” kata Asep, pekerja migran di Arab Saudi periode 2007-2010.
Bila ada turis atau peneliti asing, saya bisa menjelaskan berbagai kebaikan yang diberikan hanjeli untuk kami.
Salah satu warga yang jago berbahasa asing adalah Cum Ahmawati. Terhitung, 16 tahun dia wara-wiri ke sejumlah negara, seperti Arab Saudi, Hong Kong, Oman, Malaysia, dan Bahrain. Karena minim informasi, ia datang ke beberapa negara tanpa prosedur resmi. Ujungnya, dia dideportasi tahun 2016.
Sempat menjadi pemecah batu hasil tambang emas, ia bergabung dengan Desa Hanjeli di tahun 2017. Kemampuannya berbahasa Arab, Inggris, dan Kanton memikat Asep. Ahmawati kini menjadi koordinator pemandu wisata di Desa Wisata Hanjeli.
”Bila ada turis atau peneliti asing, saya bisa menjelaskan berbagai kebaikan yang diberikan hanjeli untuk kami,” kata Ahmawati.
Putus sekolah
Jauh dari pemberitaan media, Ahmad Jamaludin (38) juga ikut memberikan harapan dan bekal masa depan bagi anak-anak Desa Jayagiri, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur. Di daerah berjarak 130 km dari Kota Bandung itu, Ahmad membangun sekolah gratis.
Bukan tanpa alasan Ahmad melakukan semua itu. Banyak anak putus sekolah akibat masalah biaya hingga keberadaan SMP yang jauh dari tempat tinggal.
”Tahun 2012, saya mendirikan SMP Terbuka Jayagiri. Sempat berjalan dan menerima 200 siswa, aktivitas itu berhenti tahun 2014. Saya harus bekerja ke Jakarta, Bogor, dan Cianjur,” katanya.
Akan tetapi, merantau tak semudah dikira. Dia tidak kunjung mendapat pekerjaan ideal. Uniknya, dia justru menemukan ”jalan” tidak jauh dari rumahnya.
Di tahun 2018, Ahmad melihat pembuatan sapu ijuk ketika tinggal di Cibeber, berjarak 80 km dari Sindangbarang. Sama-sama di Cianjur, waktu tempuhnya sekitar 5 jam perjalanan dengan mobil.
”Saya lalu mencoba membuat sapu ijuk sendiri dan ternyata sukses. Usaha berkembang pesat. Para pembeli berdatangan dari sejumlah daerah, dari pesisir Cianjur hingga Garut.
”Pedagang keliling yang biasa jualan alat-alat dapur itu sapunya dari saya,” katanya.
Lambat laun kesejahteraan Ahmad dan keluarga membaik. Janjinya pun ia tepati. Tahun 2020, dia membangun SMP IT Pancuh Tilu di Desa Jayagiri.
Bangunan sekolah gratis itu sederhana. Dinding terbuat dari papan kayu. Ruangan hanya ada empat, masing-masing berukuran 5 meter x 5 meter. Tiga untuk ruang kelas, satu untuk ruang guru. Sebagian kelas diisi berkursi plastik.
Untuk operasionalisasi sekolah, dia mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Akan tetapi, dana BOS hanya cukup untuk membayar gaji 12 guru di sekolah itu.
”Sisanya, saya menyisihkan uang pribadi untuk operasionalisasi sekolah. Yang penting anak-anak tidak perlu bayar,” kata Ahmad.
Agar operasionalisasi sekolah dan dapur rumah tangga tetap terjaga, Ahmad mencari cara untuk menambah pemasukan. Ia melihat peluang berjualan gula semut yang nilainya tinggi.
”Cara membuat gula dan sapu ijuk kami ajarkan di sekolah. Harapannya, bisa menjadi bekal hidup,” harap Asep yang mendapat pelatihan pembuatan dan pemasaran gula semut lewat program Petani Milenial. Program itu digagas Pemprov Jabar untuk petani muda sejak 2021.
Sejahtera pariwisata
Di Pangandaran, upaya menyelamatkan masa depan juga berbarengan dengan keinginan warga sejahtera dari pariwisata. Tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup Pangandaran (KMPLHP), sejumlah warga Pangandaran intens menanam karang di kawasan laut Cagar Alam Pangandaran.
Salah satu penggerak KMPLHP Hadiat Kelsaba (44) mengatakan, ratusan karang ditanam di sejumlah titik dalam dua tahun terakhir. Mendapat dana transplantasi karang dari berbagai donatur, anggota kelompok menanam secara sukarela.
Hadiat yang biasa disapa Encek mengatakan, kemandirian warga dimulai sejak 2005 lewat Kelompok Masyarakat Peduli Pangandaran (KMPP). Kala itu, luas terumbu karang tersisa 20-40 persen dari total luas laut CA Pangandaran 470 hektar. Penyebabnya beragam, mulai dari penangkapan ikan hingga aktivitas wisata.
Penanaman kembali pun dilakukan warga dengan berbagai cara, mulai dari media tanam dari ban bekas hingga payung berundak. Namun, kedua metode itu tidak awet.
Ban bekas hancur dihantam tsunami 6,8 skala Richter pada 2006. Payung berundak dirusak sebagian nelayan yang menangkap ikan menggunakan jaring.
”Sekarang, kami memilih metode balok beton bersambung. Metode ini memungkinkan lebih banyak ikan tinggal karena karang yang bisa ditanam juga lebih banyak. Dari hasil pengamatan kami, balok beton juga lebih kuat menahan gelombang,” kata Encek.
Encek mengatakan, kegiatan penanaman karang ini perlahan bisa menarik pengunjung. Selain komunitas yang hendak melakukan kegiatan penghijauan, ada juga sejumlah peneliti dari berbagai perguruan tinggi.
”Kami masih berjuang menjadikan terumbu karang sebagai atraksi wisata unggulan. Jarak pandang di dalam air masih tak stabil. Terkadang air keruh sehingga pandangan kurang jelas,” katanya.
Oleh karena itu, Encek mengatakan, penyelamatan ini belum selesai. Ketika karang semakin banyak ditanam, dia dan kawan-kawannya getol mengampanyekan alat tangkap ramah lingkungan dan penerapan jalur perahu yang ideal.
”Semuanya demi masa depan. Selain bakal ampuh (menahan) bencana tsunami yang rentan berulang, karang ini berpotensi memberikan penghasilan bagi warga lewat hasil perikanan dan pariwisata,” katanya.
Di tengah tantangan zaman yang kian keras, kreativitas diperlukan bagi banyak orang untuk tetap bertahan hidup. Namun, kesukarelaan juga hendaknya tidak hilang. Perpaduan keduanya diyakini bakal terus menyelamatkan nyawa manusia dan dunia kelak.
Baca juga: Masa Depan Jabar Ada di Jalur Selatan