Surat Edaran Penguatan Syariat Islam Penjabat Gubernur Aceh Tuai Pro dan Kontra
Surat edaran Penjabat Gubernur Aceh tentang penguatan dan peningkatan pelaksanaan syariat Islam bagi aparatur sipil negara dan masyarakat di Aceh menuai pro dan kontra.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Surat edaran Penjabat Gubernur Aceh tentang penguatan dan peningkatan pelaksanaan syariat Islam bagi aparatur sipil negara dan masyarakat di Aceh menuai pro dan kontra. Sejumlah pihak berpandangan, surat edaran tersebut seharusnya lahir melalui kajian mendalam. Namun, sejumlah pihak lain tidak mempermasalahkan.
Ketua Ikatan Siswa Kader Dakwah (Iskada) Aceh Azwir Nazar, Sabtu (12/8/2023), mengatakan, kebijakan tersebut semangatnya untuk membenahi atau menjaga sosial-budaya warga Aceh sesuai dengan syariat Islam. Namun, menurut dia, surat edaran tersebut lahir tanpa kajian mendalam dan sangat tergesa-gesa sehingga menuai pro dan kontra.
”Harusnya melalui kajian mendalam, bukan reaktif, sehingga tidak terkesan hanya kebijakan populis untuk mengaduk psikologis orang,” kata Azwir.
Surat Edaran Penjabat Gubernur Aceh Nomor 451/11286 itu memuat 20 poin. Hal itu, di antaranya, pembatasan jam operasional warung kopi, larangan berduaan dengan bukan muhrim di kendaraan, pengawasan terhadap konten media massa, seruan shalat berjemaah lima waktu, dan penguatan dakwah di perbatasan. Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah diminta meningkatkan operasi dan pengawasan. Namun, dalam surat edaran itu tidak dicantumkan sanksi bagi pelanggar.
Sebagai organisasi yang perhatian pada isu keislaman, Azwir mengatakan, Iskada mendukung upaya pemerintah menguatkan penerapan nilai keislaman di Aceh. Akan tetapi, hal tersebut semestinya tidak sekadar melalui surat edaran.
Menurut Azwir, seharusnya Pemprov Aceh membuat program konkret dan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk kegiatan Islami. ”Tidak cukup dengan surat edaran, sementara anggaran untuk sektor penguatan syariat Islam kecil,” ujarnya.
Dia menyebutkan kebijakan tersebut lahir tidak melalui musyawarah yang melibatkan para pihak. Menurut Azwir, gubernur tidak menghimpun aspirasi dari para pihak yang akan menerima dampak dari surat edaran tersebut. ”Yang lebih penting lagi, gubernur sebagai pemimpin tertinggi harus menunjukkan keteladanan,” katanya.
Direktur Katahati Institute Raihal Fajri mengatakan, surat edaran tersebut tidak sesuai dengan konteks keacehan. Surat edaran itu justru dinilainya cenderung menghambat pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, para pencari nafkah melalui ojek daring akan terkendala untuk mengambil penumpang yang bukan muhrim. Di sisi lain, banyak perempuan pekerja yang menggunakan ojek daring sebagai moda transportasinya. Pembatasan jam buka warung kopi hingga pukul 00.00 dan pengawasan pemberitaan media massa memberi kesan Aceh seperti pada masa konflik.
Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Aceh Ridha Mafdhul mengatakan, kebijakan menutup warung kopi dan sejenisnya pada pukul 00.00 justru menguntungkan bagi pengusaha. Menurut dia, pada pukul 00.00 sangat sedikit pelanggan yang memesan makanan dan minuman. Biasanya, pelanggan yang duduk hingga larut malam sudah memesan sebelum jam tersebut.
”Dengan adanya surat edaran itu, kami ada alasan untuk menutup warung pada pukul 00.00. Sebenarnya secara bisnis, operasionalisasi di atas pukul 23.00 tidak terlalu menguntungkan,” ucap Ridha.
Menurut dia, sebelum surat edaran itu keluar, Hipmi Aceh tidak diajak musyawarah. Akan tetapi, sebagai organisasi pengusaha muda, ia menilai surat edaran tersebut tidak akan mematikan sektor bisnis warung kopi di Aceh.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Prof Syamsul Rizal mengatakan, hal yang wajar sebuah kebijakan melahirkan pro dan kontra. Menurut dia, kebijakan tersebut tidak membuat Aceh mundur. Dia mengajak semua pihak untuk mengambil sisi positif terhadap penguatan penerapan syariat Islam.
Sementara itu, Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad Mta mengatakan, surat edaran tersebut dibuat atas dasar kajian dan masukan dari kalangan ulama. Menurut dia, ini adalah upaya untuk mendekatkan generasi kepada nilai-nilai keislaman.
Muhammad Mta menambahkan, saat ini Indonesia sedang menyiapkan generasi emas 2045. Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, maka generasi yang disiapkan adalah yang memahami nilai-nilai agama dengan baik. ”Agar tidak mudah dipengaruhi budaya negatif yang merusak tatanan adat budaya yang Islami di Aceh,” ujarnya.
Lalu kita bertanya, apa kajian dampak dari kebijakan yang telah dibuat itu.
Dia pun mengajak warga Aceh untuk mendukung surat edaran tersebut demi pembangunan Aceh yang berlandaskan nilai-nilai keislaman. ”Dalam pelaksanaannya tentu akan menimbulkan berbagai polemik. Berbagai penyesuaian akan terjadi saat kebijakan ini dijalankan dengan mempertimbangkan berbagai masukan publik,” kata Muhammad Mta.
Direktur Koalisi NGO Hak Asasi Manusia Aceh Khairil Arista menilai surat edaran tersebut justru memperburuk citra Aceh di mata orang luar. Seolah-olah warung kopi telah menjadi tempat transaksi maksiat sehingga perlu ditertibkan.
Menurut Khairil, membenturkan maksiat dengan kedai kopi tidak arif. Seharusnya pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha yang melanggar syariat Islam, bukan justru memukul rata. Dia menilai kebijakan serupa telah banyak dilahirkan oleh pemkab di Aceh, tetapi berakhir tanpa ada kejelasan apa dampak baik atas kebijakan tersebut.
Sebagai contoh, Pemkab Lhokseumawe pernah melarang perempuan berkeliaran di atas pukul 22.00, Pemkab Aceh Barat mengharuskan perempuan memakai rok, sebuah desa di Kabupaten Bireuen melarang warung menyediakan fasilitas Wi-Fi, dan Pemkab Aceh Besar memerintahkan tutup warung 20 menit saat azan. ”Lalu kita bertanya, apa kajian dampak dari kebijakan yang telah dibuat itu,” kata Khairil.
Khairil pun mendorong Pemprov Aceh untuk melahirkan program konkret yang manfaatnya langsung dirasakan warga. Selain itu, juga memastikan aparatur tidak melakukan korupsi anggaran daerah.