Kelahiran Baru Harimau Sumatera di Tengah Kerusakan Habitat dan Konflik
BBKSDA Sumut menemukan kelahiran baru beberapa ekor harimau sumatera. Kelahiran menjadi kabar gembira di tengah ancaman kerusakan habitat dan konflik dengan manusia yang masih tinggi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara menemukan kelahiran baru beberapa ekor harimau sumatera. Kelahiran itu menjadi kabar gembira di tengah populasi terancam punah. Namun, kelahiran itu sekaligus menghadapi ancaman kerusakan habitat dan konflik dengan manusia yang masih tinggi.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara Rudianto Saragih Napitu menyampaikan kondisi tersebut saat pemusnahan bagian tubuh satwa-satwa dilindungi hasil tindak pidana kehutanan dan penyerahan masyarakat, di Medan, Kamis (10/8/2023).
”Tim survei tata guna kawasan hutan menemukan harimau sumatera dengan dua anak di Suaka Marga Satwa Dolok Surungan (Kabupaten Toba dan Asahan),” kata Rudianto.
Rudianto menyebut, tim juga menemukan beberapa harimau yang beranak di kawasan hutan di sekitar Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, yang merupakan daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Dengan beberapa temuan harimau yang melahirkan itu, Rudianto berkeyakinan ada penambahan beberapa individu harimau sumatera di habitatnya.
”Akan tetapi, hal ini bisa menjadi masalah ke depan karena harimau butuh teritori. Semakin banyak populasi harimau, semakin luas teritori yang dibutuhkan. Harimau adalah individu soliter, tidak berkelompok seperti singa,” kata Rudianto.
Kalau tidak ditemukan habitat tempat hidup harimau sumatera, konflik antara harimau dan masyarakat di desa penyangga hutan diperkirakan akan semakin tinggi. Karena itu, BBKSDA Sumut melakukan beberapa survei untuk mencari habitat yang masih bagus untuk harimau sumatera.
Pencarian habitat ini juga sangat penting sebagai tindak lanjut penanganan konflik. Dalam beberapa kasus, harimau sumatera yang dievakuasi dari daerah konflik sangat sulit dicarikan habitat barunya. Evakuasi harimau saja sudah sangat sulit. Pencarian habitat baru jauh lebih sulit lagi.
Dalam catatan Kompas, dua harimau sumatera yang lahir di penangkaran Suaka Satwa Harimau Sumatera Barumun akhirnya mati pada Juli 2022 dan Maret 2023 setelah dilepasliarkan ke Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi.
Sudah enam bulan BBKSDA Sumut melakukan survei, antara lain, di tiga lokasi di Karo. Pekan depan juga akan dilakukan survei di Labuhan Batu, Batang Toru, serta Kabupaten Karo dan Langkat yang berbatasan dengan Aceh.
”Sejauh ini, hasil surveinya tidak menggembirakan. Di hutan banyak ditemukan jerat. Masyarakat juga sulit menerima harimau untuk dievakuasi ke hutan di dekat desanya. Lalu, harimau hasil evakuasi dari konflik harus dilepasliarkan ke mana kalau kondisinya seperti ini?” kata Rudianto.
Rudianto menjelaskan, konflik satwa harimau dengan masyarakat di daerah Sumut naik turun dalam beberapa tahun ini. Pada 2020, konflik harimau dengan masyarakat mencapai 13 kasus, pada 2021 naik menjadi 59 konflik, dan pada 2022 turun menjadi 20 konflik. Sepanjang tahun 2023 ini, BBKSDA Sumut mencatat baru lima konflik harimau dengan masyarakat.
Rudianto mengatakan, edukasi masyarakat penyangga hutan sangat penting untuk menekan konflik. Belakangan, saat masyarakat melihat harimau melintas di hutan di dekat desa atau hanya menemukan jejak kakinya, mereka langsung melapor kepada petugas dan menganggap itu adalah ancaman yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, masyarakat beramai-ramai memburu, menangkap, hingga membunuh harimau.
Padahal, harimau terkadang hanya melintas dari ladang di dekat hutan. Harimau biasanya akan kembali ke hutan. ”Sebenarnya sudah ada kearifan lokal masyarakat yang membiarkan harimau jika melintas dan masyarakat hanya menghindar dalam beberapa waktu. Di beberapa tempat, masyarakat menyebut harimau sebagai oppung (moyang) yang menandakan penghormatan kepada harimau,” kata Rudianto.
Pemusnahan
Kamis, BBKSDA Sumut memusnahkan bagian tubuh satwa hasil penindakan pidana kehutanan dan penyerahan masyarakat dari tahun 2015 hingga 2023. BBKSDA membakar bagian tubuh satwa dilindungi, antara lain 2 lembar utuh kulit harimau sumatera, 44 lembaran kecil kulit harimau, 1 opsetan (satwa diawetkan) harimau, 5 opsetan tanduk rusa, 1 opsetan rangkong, 5 opsetan penyu sisik, 15 kilogram sisik trenggiling, 317 lembar kulit ular gendang, 224 lembar kulit sanca batik, dan barang bukti lain.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemerintah Provinsi Sumut Yuliani Siregar menyebut, penebangan hutan secara ilegal menjadi ancaman terbesar kerusakan habitat harimau sumatera. Penebangan hutan marak di Tapanuli bagian selatan. ”Saya baru saja memutasi beberapa pejabat Kesatuan Pengelolaan Hutan. Mudah-mudahan membawa perubahan ke arah lebih baik,” kata Yuliani.
Pendiri Sumatran Tiger Rangers, Harray Sam Munthe, mengatakan, pemusnahan satwa dilindungi menunjukkan keadaan darurat penyelamatan satwa. Menurunnya populasi satwa berpengaruh pada ekosistem Sumatera secara keseluruhan, termasuk pada hidup manusia.
Dia mencontohkan menurunnya populasi trenggiling akibat perburuan masif selama 15 tahun terakhir. Populasi semut akhirnya meningkat pesat karena jumlah trenggiling sebagai pemangsa semut menurun drastis. Akibatnya, puluhan hektar pohon-pohon petai rapuh dan tumbang karena digerogoti semut. ”Masyarakat yang sebelumnya mendapat ekonomi dari petai pun terpuruk,” kata Harray.