Strategi Petani Tambak Pantura Sidoarjo Mengatasi Kemerosotan Ekonomi
Petani tambak di Sidoarjo terus memperluas pengembangan pola budidaya tumpang sari dengan komoditas unggulan rumput laut yang berorientasi pada pasar ekspor. Upaya itu dilakukan demi mengatasi kemerosotan ekonomi.
Petani tambak di Sidoarjo, Jawa Timur, terus memperluas pengembangan pola budidaya tumpang sari dengan komoditas unggulan rumput laut yang berorientasi pada pasar ekspor. Upaya itu dilakukan demi mengatasi kemerosotan ekonomi sekaligus mengembalikan produktivitas lahan di tengah sulitnya pupuk.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), total tambak tradisional di Indonesia mencapai 247.803 hektar. Sebanyak 70 persen tambak tradisional tersebut berada di pantai utara Jawa, termasuk di Kabupaten Sidoarjo.
Ironisnya, kondisi tambak di sepanjang pantura Jawa ini, hampir 99 persen sudah tidak produktif untuk budidaya komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti udang vaname dan windu yang berorientasi pasar ekspor. Banyak tambak yang akhirnya dibiarkan menganggur guna mencegah kerugian yang lebih besar.
KKP tidak berani memaksa petani tambak terus membudidayakan udang karena berisiko mendorong mereka jatuh pada jurang kemiskinan yang dalam. Upaya yang bisa dilakukan adalah mendorong petambak mengembangkan komoditas perikanan yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan seperti ikan bandeng, rumput laut, dan kepiting.
Baca juga: Ekspor Rumput Laut Sidoarjo ke Australia
Namun, budidaya ikan bandeng juga penuh tantangan. Petambak dari Desa Kalanganyar, Sedati, Khumaedy (50), mengatakan, hasil budidaya bandeng belum mampu menyejahterakan petani sebab biaya produksinya tinggi, produktivitas hasil panen tidak maksimal, dan harga ikan di pasaran sulit naik.
”Biaya produksi itu antara lain pembelian nener (benih bandeng), pupuk, pakan, dan biaya perawatan rutin. Dengan dihapusnya petambak dari daftar penerima subsidi pupuk, beban petani bertambah berat karena harus beli dengan harga pasar yang nilainya hampir sepuluh kali lipat,” ujar Khumaedy, Selasa (8/8/2023).
Dia menambahkan, banyak petambak yang tidak mampu beli pupuk atau hanya membeli sebagian dari total kebutuhan. Hal itu berdampak pada kesuburan lahan dan ketersediaan pakan alami ikan. Sebagai gantinya, petambak harus menambah pakan pabrikan. Harga pakan ini pun naik karena pasokan bahan baku yang berasal dari impor terdampak situasi geopolitik global yang memanas.
Medy mengatakan, banyak petani yang memilih mengurangi pakan pabrikan. Sebagai gantinya, masa pemeliharaan menjadi lebih lama untuk mencapai pertumbuhan yang ideal. Dampaknya, jika dulu petambak bisa panen setiap empat bulan sekali, kini hanya dua kali setahun.
”Kondisi itu membuat pendapatan petambak berkurang. Mereka pun kurang bergairah menggarap lahannya secara serius. Bahkan banyak yang memilih menjual lahan kepada pengembang perumahan atau untuk kawasan industri,” katanya.
Baca juga: Perusahaan Rintisan Australia Akan Bangun Pengolah Rumput Laut di Jatim
Fenomena itu tidak hanya terjadi di Kecamatan Sedati, tetapi merata di seluruh pesisir Sidoarjo, seperti Kecamatan Buduran, Tanggulangin, hingga Jabon. Karena itu, untuk menjaga kesinambungan usaha budidaya perikanan, petani tambak terus berinovasi, salah satunya mengembangkan sistem budidaya tumpang sari.
Supari (50), petambak di Jabon, mengatakan, tumpang sari atau polikultur diterapkan pada komoditas bandeng, udang vaname, dan mujair/nila. Pola budidaya tersebut menuai hasil yang menggembirakan dan memicu semangat petambak untuk menggarap kembali lahannya.
Namun, petambak di Sidoarjo tak pernah berhenti berinovasi demi mendapatkan nilai ekonomi tinggi. Salah satunya memperluas pengembangan budidaya rumput laut yang sedang naik daun karena banyak diminati di pasar domestik dan pasar luar negeri.
Di tingkat petani, harganya Rp 6.000 hingga Rp 8.000 per kilogram. Rumput laut ini dipanen setiap 45 hari dan baru menebar benih lagi setelah tiga kali masa panen sehingga biaya produksinya tergolong rendah. Perawatannya juga mudah serta tidak memerlukan banyak pupuk maupun obat-obatan pembasmi hama dan penyakit.
Dengan pola tumpang sari, pendapatan petani lebih besar dibandingkan apabila hanya budidaya bandeng atau mujair.
Dia menambahkan, setelah menerapkan pola budidaya tumpang sari dengan komoditas utama bandeng, udang, dan rumput laut, pendapatan petani mencapai Rp 110 juta setahun untuk setiap hektar tambak yang dikelola. Artinya, petani bisa menghasilkan Rp 9 juta-Rp 10 juta setiap bulan setiap hektar. Adapun rata-rata kepemilikan lahan petambak di Jabon mencapai 4-5 hektar per petani.
Pendapatan Rp 110 juta itu diperoleh dari hasil panen rumput laut Rp 45 juta. Selain itu, Rp 50 juta dari hasil panen bandeng dengan asumsi setahun panen dua kali, masing-masing Rp 25 juta. Untuk budidaya udang vaname, petambak bisa mendapat Rp 15 juta setahun dengan asumsi tiga kali dalam setahun, setiap kali panen dapat Rp 5 juta.
”Dengan pola tumpang sari, pendapatan petani lebih besar dibandingkan apabila hanya budidaya bandeng atau mujair,” ujar Supari.
Komoditas unggulan Jatim
Ketua Koperasi Agar Makmur Sentosa Hery Sudarmono mengatakan, petani di Sidoarjo membudidayakan rumput laut jenis Gracilaria sp. Komoditas ini banyak diminati dipasar luar negeri. Bahkan, sejak didirikan pada Februari 2023, koperasi telah mengekspor rumput laut ke China sebanyak 25 ton.
Terbaru, pada Jumat (4/8/2023), pihaknya kembali mengekspor rumput laut ke sebuah perusahaan rintisan, ULUU di Australia. Pengiriman perdana mencapai 15 ton atau senilai Rp 150 juta. Pengiriman itu menjadi bagian dari komitmen koperasi untuk memenuhi permintaan perusahaan sebesar 1.000 ton pada 2024.
Luas area budidaya rumput laut di Jabon mencapai 1.200 ha dengan jumlah petani sekitar 150 orang. Namun, saat ini baru 82 petani yang tergabung dalam koperasi dengan luas area budidaya sekitar 300 ha. Kemampuan produksinya sekitar 500 ton rumput laut setiap bulannya.
Pola budidaya tumpang sari dengan komoditas rumput laut juga mendapat apresiasi dari Pemprov Jatim. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, selain berhasil meningkatkan kesejahteraan petai tambak, juga beriringan dengan penerapan green and blue economy. Sebab, jenis rumput laut Gracilaria sp merupakan jenis rumput laut yang bisa hidup di tambak dan bisa menyubstitusi penggunaan pupuk kimia.
”Karena banyak daerah pantura yang masih sering kekurangan pupuk untuk tambak. Saya rasa penerapan metode tumpang sari ini juga beriringan dengan penguatan green economy dan blue economy,” ujar Khofifah, Jumat.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan Jatim. Dalam empat tahun belakangan, yakni periode 2019-2022, usaha petani rumput laut dan pelaku industri telah memberikan kontribusi signifikan terhadap ekspor Jatim. Ekspor rumput laut rata-rata tumbuh positif sebesar 19,30 persen selama periode tersebut dengan nilai ekspor pada tahun 2022 mencapai 106,89 juta dollar AS untuk volume sebesar 68.996,29 ton.
Komoditas rumput laut Jatim juga telah merambah 23 negara, terutama China, Korea, Filipina, Vietnam, dan Amerika Serikat. Jenis rumput laut yang dikirim selama ini meliputi rumput laut Eucheuma cottonii kering, Eucheuma spinosum kering, dan rumput laut jenis lain untuk konsumsi baik segar maupun kering. Rumput laut juga banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna, penyamakan, wewangian, insektisida, dan fungisida.
Pada akhirnya, upaya budidaya rumput laut jenis Gracilaria sp oleh petani tambak di pantura Sidoarjo dipastikan bakal memperkaya jenis rumput laut asal Jatim yang merambah pasar luar negeri. Hal itu juga akan meningkatkan potensi penerimaan devisa negara.
Saat bersamaan, menggairahkan kembali usaha budidaya tambak, mendongkrak kesejahteraan petani, menjadi solusi masalah pupuk, hingga mendukung upaya pemerintah dalam mengembangkan konsep ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.