Kisah Pendaki Belia Tersesat di Gunung Ciremai, Sempat Jatuh hingga Halusinasi
Ciremai di Jawa Barat menjadi salah satu gunung favorit para pendaki. Namun, kasus pendaki yang hilang masih saja terjadi. Alam tidak bisa ditebak. Sikap disiplin kerap menyelamatkan manusia.
Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat, menjadi salah satu destinasi favorit para pendaki. Namun, gunung berapi aktif setinggi 3.078 meter di atas permukaan laut ini pun masih menyimpan beragam misteri. Pendaki yang melanggar aturan kerap tersesat, termasuk warga setempat.
Muhamad Dafiar Akbar (15) berjalan sempoyongan di tengah hutan, Blok Sumur Tegal, Desa Sayana, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jabar, Senin (7/8/2023) siang. Beberapa bagian telapak tangannya lecet, seperti tersayatan benda tajam. Kelingking kakinya juga terluka.
Hampir seharian dia tersesat di dalam hutan yang sepi setelah mendaki Ciremai. Warga Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, di kaki Gunung Ciremai ini terpisah dari rombongannya pada Minggu (6/8/2023). Ia bersama 150 warga mengikuti acara pendakian yang digelar pemerintahan desa.
Siswa salah satu sekolah menengah kejuruan di Kuningan ini nyaris putus asa. Dia tak tahu harus ke mana.
Bibirnya kering, kehausan. Perutya keroncongan.
Kepalanya mulai pusing karena kelaparan. Kakinya pun sudah letih meniti jalan. Namun, semua bagian hutan itu tampak serupa.
Baca juga: Elang yang Semakin Menghilang
Harapan datang ketika Cecep (45), warga setempat, menemukannya, Senin pukul 13.30. ”Waktu itu saya lagi ngarit. Pas saya tanya (Dafiar), katanya kesasar. Langsung saya ajak pulang ke kampung. Kondisinya sehat, cuma lemas. Diajak bicara kurang nyambung,” ujarnya.
Petani ini pun memberikan air minum miliknya yang tersisa setengah botol. Sebuah roti dalam kemasan juga mengganjal perut Dafiar.
Ia juga mengajak korban makan di rumah kerabatnya, tidak jauh dari lokasi mereka bertemu. Setelah itu, kondisi Dafiar mulai pulih dan bisa menjawab pertanyaan dengan baik.
Sore harinya, dengan sepeda motor bututnya, Cecep mengantarkan Dafiar pulang, sekitar setengah jam dari lokasi mereka berjumpa. Keluarga yang sudah menanti pun bahagia bertemu Dafiar. Ada juga yang pingsan.
”Kalau enggak ketemu saya, mungkin dia naik (ke gunung) lagi,” ungkapnya.
Pencarian yang melibatkan 67 personel pun diakhiri. Tim gabungan berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kuningan, Pos SAR Cirebon, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, polisi, TNI, aparat desa, hingga sukarelawan.
Keluarga mengucapkan terima kasih kepada Cecep, warga, dan petugas yang berupaya mencari Dafiar. Kopi hangat, kerupuk, dan roti juga tersaji untuk tamu yang datang silih berganti. Cecep tidak bisa lama-lama. Ia harus kembali ke hutan untuk mengangkut rumputnya.
Meski telah kembali, Dafiar tampak masih terguncang. Setelah mandi dan bersalin pakaian, ia duduk meluruskan kedua kakinya.
Telapak tangannya yang bengkak menghadap ke atas, seperti berdoa. Perlahan, ia mulai bercerita tantang pengalamannya tersesat di hutan Ciremai.
Semua bermula saat ia mendaki bersama sekitar 150 warga desa, Sabtu (5/8/2023) pagi. Acara itu untuk menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus pekan depan.
Kegiatan itu rutin digelar setiap tahun. Remaja, aparat desa, hingga ibu-ibu turut serta.
Dua hari sebelumnya, pemdes telah berkoordinasi dengan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai untuk melancarkan acara itu. Panitia pun telah menyiapkan logistik, regu penyelamat, hingga aturan agar peserta tidak meninggalkan kelompoknya. Setiap kelompok berisi 10 orang.
Dafiar yang kali pertama mengikuti kegiatan itu hanya membawa satu tas selempang berisi telepon pintar. Ia mengenakan jaket abu-abu dengan celana kain hitam. Bersama rombongan, ia naik melalui jalur Linggajati setinggi 650 mdpl, tidak jauh dari desanya.
Sabtu (5/8/2023) pukul 17.00, mereka sampai di Batu Lingga dengan ketinggian 2.200 mdpl. Di sana, peserta beristirahat sekaligus membangun tenda.
Perjalanan menuju puncak Ciremai dilanjutkan pada Minggu sekitar pukul 03.00. Namun, Dafiar bersama dua rekannya jalan lebih dulu.
Mereka pun sudah sampai di puncak sekitar pukul 05.00. Rombongan pun menyusul. Namun, ketiga anak ini tidak ikut acara utama, yakni upacara dan pengibaran bendera Merah Putih. Mereka pun pulang.
”Pas di puncak, air sudah habis. Jadi, pengin buru-buru pulang,” ujar Dafiar.
Di sinilah, Dafiar juga tertinggal dari dua temannya. ”Saya ikut orang lain yang lewat. Kirain mau kembali ke jalur Linggajati, ternyata orang itu lewat Linggasana. Saya kembali ke atas lagi. Di situ saya tersesat,” kata anak yang mengaku sudah tiga kali mendaki Gunung Ciremai ini.
Ia semakin panik ketika terjatuh. Dafiar tak tahu tersungkur berapa meter. Yang jelas, telapak tangannya luka karena berusaha memegang dahan pohon berduri. Kakinya juga lecet terkena bebatuan. Sandal dan tas selempang yang berisi telepon pintarnya hilang.
Ketika malam datang, seluruh peserta pendakian sudah kembali ke rumah, kecuali Dafiar. Ia masih terjebak di hutan gelap dengan suara serangga. ”Saya tidur tergeletak aja di kebun, enggak pakai tenda. Banyak nyamuk, tetapi mau bagaimana lagi. Saya kecapean,” ungkapnya.
Dafiar mengaku sempat menyerah karena tak kunjung menemukan jalan pulang. ”Udah kayak mau itu (putus asa) aja. Perasaannya enggak karuan. Saya sempat halusinasi juga malam itu, kirain ada orang lewat. Ternyata, kosong. Alhamdulillah, sekarang bisa pulang,” ujarnya.
Dafiar menambah daftar kasus pendaki yang tersesat di Gunung Ciremai. Pertengahan 2019, Fahrurizal (23) hilang saat mendaki, Minggu (7/7/2019). Ia ditemukan selamat keesokan harinya. Selain terpisah dari rombongan, ia juga mendaki tanpa registrasi.
Unang, Kepala Desa Linggajati, mengatakan, baru kali ini warga di desanya tersesat di Ciremai. Biasanya, katanya, pendaki dari luar Kuningan yang kesasar.
”Jadi, siapa pun yang melanggar tata tertib, bisa tersesat. Aturannya jelas, jangan terpisah dari kelompok,” ungkapnya.
Berdasarkan penuturan tetua desa dan pengalamannya, siapa pun tidak boleh sombong dan bertingkah buruk di Ciremai. ”Misalnya, ada yang menantang dengan bilang mana binatang buas di Ciremai? Pasti dia akan ketemu binatang. Jadi, enggak boleh nantang,” ujarnya.
Pendaki harus mengikuti jalur yang sudah ada dan jangan terpisah dari rombongan. Pendaki juga perlu menjaga tata krama dan mempelajari tentang karakteristik gunung.
Saat ini, diperkirakan ada sepasang macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Macan bernama Slamet Ramadhan dilepasliarkan tahun 2019 dan Rasi pada 2022. Selain macan, ada juga elang jawa, babi hutan, hingga surili di gunung seluas 14.841 hektar itu.
”Kita juga harus menjaga omongan di Gunung Ciremai. Kalau ada batu jatuh, orang di sini bilangnya awas, ada kapas jatuh. Jadi, lebih halus,” ungkap Unang. Bahkan, katanya, warga meyakini, larangan menyakiti penghuni gunung, seperti satwa atau mengambil flora di Ciremai.
”Kan selalu ada burung di daerah Linggabuana. Enggak tahu burung apa. Tapi, itu penunjuk jalan. Dulu, ada orang nembak burung itu. Enggak tahu kenapa, beberapa waktu setelah itu, orang itu mati juga,” ungkapnya.
Bagi Unang, peristiwa itu menunjukkan Gunung Ciremai menyimpan beragam misteri. Apalagi, katanya, gunung itu dulunya menjadi daerah syiar Islam. Tempat tertinggi Ciremai bahkan dinamai Puncak Sunan Gunung Jati, wali sanga atau satu dari sembilan ulama besar di Jawa.
Sunan Gunung Jati juga menjadi pemimpin Cirebon, termasuk wilayah Kuningan, abad ke-15. ”Ceritanya, para wali dulu biasa bertemu di Gunung Ciremai. Sampai sekarang, kalau ada orang mau ujian atau jabatan, kadang datang ke Ciremai. Bahkan, ada yang bawa sesajen,” ujarnya menuturkan cerita orangtuanya dulu.
Baca juga: ”Rasi” Dilepasliarkan, Populasi Macan Tutul di Gunung Ciremai Diharapkan Meningkat
Terlepas dari kisah itu, peristiwa hilangnya pendaki di Ciremai menunjukkan pentingnya persiapan fisik dan mental untuk mendaki. Misalnya, pendaki setidaknya berjumlah empat orang dalam satu kelompok serta membawa perlengkapan, makanan, minuman, dan alat navigasi yang lengkap.
”Pendaki harus mengikuti jalur yang sudah ada dan jangan terpisah dari rombongan. Pendaki juga perlu menjaga tata krama dan mempelajari tentang karakteristik gunung,” ujar Pelaksana Kedaruratan Logistik Unit SAR dan Evakuasi BPBD Kuningan Yayat Sudrajat.
Apabila membutuhkan jasa pemandu, pengelola pendakian menyediakannya. Setiap jalur pun telah memiliki tanda pendakian.
Namun, pendaki bisa juga memasang tanda seperti tali atau kain pada pohon di setiap jalur yang bercabang agar tidak tersesat.
Yayat pun mengingatkan pendaki agar tidak membuat api unggun sembarangan karena bisa memicu kebakaran hutan saat kemarau. Apalagi, Ciremai bakal ramai jelang 17 Agustus.
”Semua harus patuh aturan. Ini hutan. Kita tidak tahu ada apa saja di dalamnya,” ujarnya.