Semangat Ekspor dari Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara
PT Pelindo sebagai salah satu anggota konsorsium mengambil peran pada sektor ekspor-impor dan pergudangan. Lahan milik pelabuhan seluas 38,18 hektar sangat potensial untuk menjalankan bisnis itu.
Aktivitas ekspor dan impor melalui Pelabuhan Krueng Geukueh di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, mengalami pasang surut. Namun, semangat ekspor terus dirawat karena provinsi berjuluk ”Serambi Mekkah” itu punya banyak komoditas kualitas ekspor.
Siang yang terik tidak menyurutkan semangat para buruh di Pelabuhan Krueng Geukueh untuk memuat cangkang kelapa sawit ke kapal, Selasa (1/8/2023). Mereka bekerja dengan antusias karena jarang-jarang ada aktivitas muat komoditas ekspor.
”Sudah lama saya tidak dapat giliran. Dengan adanya ekspor ini, paling tidak saya ada penghasilan sekitar Rp 1,3 juta sekali pemuatan,” kata Agam (50), salah seorang buruh pelabuhan.
Baca juga : Ekspor dari Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh, Tumbuh
Kapal MV Sun Brave yang berbendera Singapura berlabuh di dermaga. Kapal dengan panjang 127 meter dan bobot 9.976 gros ton (GT) itu siap membawa 10.000 cangkang kelapa sawit ke ”Negeri Sakura”, Jepang.
Proses pemuatan barang ke kapal memang belum secanggih pelabuhan besar lain di Indonesia. Namun, justru itu menjadi anugerah bagi buruh karena semakin banyak tenaga kerja yang terserap. Hari ini 34 buruh dipekerjakan untuk memuat 10.000 ton cangkang kelapa sawit.
Cangkang sawit diangkut menggunakan truk, lalu ditampung ke baki. Dengan menggunakan crane, baki berisi cangkang sawit diangkat untuk dipindahkan ke lambung kapal. Butuh waktu dua hari untuk memuat cangkang sawit ke kapal.
Ekspor cangkang kelapa sawit itu dilakukan oleh PT Biomas Andalan Indonesia Kharisma. Cangkang sawit tersebut menjadi bahan bakar pengganti batubara. Cangkang sawit diklaim ramah lingkungan karena residu sisa pembakarannya lebih sedikit.
Agam dan para buruh lain menggunakan alat pelindung diri, seperti topi, rompi, sepatu, sarung tangan, dan masker. Setelah memastikan pengait dari crane ke baki terpasang dengan baik, mereka mundur ke posisi yang aman. ”Keselamatan harus diutamakan,” kata Agam.
Direktur PT Biomas Andalan Indonesia Kharisma Peter Halim menuturkan, ini kelima kalinya dia mengirimkan cangkang sawit ke Jepang. Sekali ekspor sedikitnya 10.000 ton. Adapun jumlah yang telah diekspor oleh Peter sebanyak 51.250 ton.
Baca juga : Tergantung Ekspor, Kopi Gayo Didorong Masuk Pasar Domestik
”Cangkang ini saya kumpulkan dari beberapa pabrik kelapa sawit dari seluruh Aceh,” kata Peter.
Ia mengatakan, harga jual cangkang sawit di pasar internasional 100 dollar AS-130 dollar AS per ton atau Rp 1.515.290-Rp 1.969.877 per ton. Jika dikalikan 10.000 ton, maka nilai sekali ekspor Rp 15 miliar-Rp 19,6 miliar.
Meski demikian, ia menyebut dirinya masih eksportir pemula. Dia masih merintis bisnis jual beli cangkang kelapa sawit ke pasar global. Menurut dia, cangkang sawit melimpah karena di Aceh banyak pabrik kelapa sawit. Selama ini, cangkang malah dianggap sebagai limbah. ”Permintaan di luar negeri cukup tinggi dan persediaan di Aceh cukup banyak,” ucapnya.
Peter menambahkan, dia memilih Pelabuhan Krueng Geukueh sebagai lokasi ekspor karena waktu tunggunya lebih singkat ketimbang Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Sebagaimana diketahui, aktivitas ekspor di Pelabuhan Belawan sangat padat. Ia menginginkan efektivitas waktu agar pembeli terlayani dengan maksimal.
Mulai bergeliat
Beberapa perusahaan raksasa, seperti PT Arun Natural Gas Liquefaction, PT ASEAN Aceh Fertilizer (AAF), Exxon Mobil, dan PT Kertas Kraft Aceh, pernah beroperasi di daerah yang dijuluki ”Kota Petro Dollar” itu.
Pada masa kejayaan industri di Aceh Utara, Pelabuhan Krueng Geukueh pernah menjadi pelabuhan yang sibuk. Akan tetapi, setelah berakhirnya masa keemasan industri, pelabuhan menjadi sepi.
Belakangan, untuk menghidupkan kembali kawasan industri di sana, pada 2017 Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah tentang penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun. KEK Arun diharapkan dapat meneruskan kejayaan industri di Aceh.
Baca juga : Ekspor Indonesia Cetak Rekor Setelah Hampir 10 Tahun
KEK Arun dianggap paling siap untuk berkembang karena dikelola bersama oleh empat perusahaan besar, yakni PT Pertamina, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh/Badan Usaha Milik Pemprov Aceh.
PT Pelindo sebagai salah satu anggota konsorsium mengambil peran pada sektor ekspor-impor dan pergudangan. Lahan milik pelabuhan seluas 38,18 hektar sangat potensial untuk menjalankan bisnis itu. Dermaga pelabuhan juga mampu menampung dua kapal seperti MV Sun Brave.
Untuk urusan pelayanan operasional terminal nonpeti kemas PT Pelindo menunjuk subholding PT Pelindo Multi Terminal sebagai pengelolanya. Pelindo Multi Terminal lahir seusai empat BUMN pelabuhan merger dan mengibarkan satu bendera, yakni PT Pelindo.
Branch Manager PT Pelindo Multi Terminal Lhokseumawe Joni Hutama mengatakan, aktivitas ekspor di Pelabuhan Krueng Geukueh mulai tumbuh. Sejak awal tahun 2023 telah berlangsung delapan kali ekspor. Komoditas yang diekspor adalah minyak sawit mentah (CPO) dan cangkang kelapa sawit.
Adapun total ekspor pada 2023 sebanyak 52.673 ton, jauh meningkat dibandingkan ekspor tahun 2022 yang sebanyak 23.215 ton. Komoditas CPO masih mendominasi ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukueh.
Selain Krueng Geukueh, Aceh punya empat pelabuhan ekspor lain, yakni Kuala Langsa, Meulaboh, Calang, dan Krueng Raya Malahayati. Meski demikian, selama ini hasil alam dari Aceh, seperti kopi, rempah, dan ikan, banyak diekspor melalui Pelabuhan Belawan, Sumut.
Untuk urusan impor, pada 2022 dan 2023, barang yang masuk ke Pelabuhan Krueng Geukueh hanya aspal cair sebanyak 9.800 ton. Kapal asing masih enggan masuk ke Aceh karena seusai bongkar tidak ada jaminan barang ekspor selalu tersedia.
Joni mengatakan, Pelabuhan Krueng Geukueh menjadi andalan untuk aktivitas ekspor-impor di ”Tanah Rencong” itu. ”Secara fasilitas, pelabuhan kami sangat siap untuk menjadi lokasi ekspor. Dermaga kami bisa disandari dua kapal besar sekaligus,” katanya.
Bukan hanya itu, untuk fasilitas pendukung lain, Pelabuhan Krueng Geukueh memiliki gudang dan area penumpukan kontainer yang memadai. Pelabuhan ini memiliki luas 38,18 hektar. Dari luasan tersebut, 13,7 hektar belum terpakai.
Joni menambahkan, Pelabuhan Krueng Geukueh dapat melayani banyak aktivitas, seperti jasa peti kemas, pelayanan kapal, penyimpanan/gudang, dan terminal khusus. Pelabuhan Krueng Geukueh dapat menjadi pelabuhan alternatif untuk kegiatan ekspor dan impor mengingat Pelabuhan Belawan cukup padat.
Baca juga : Pemerintah Upayakan Perluasan Ekspor Produk UMKM
Kepala Dinas Perhubungan Aceh Faisal mengatakan, pelabuhan-pelabuhan di Aceh sudah siap menjadi pelabuhan ekspor. Pelabuhan Krueng Geukueh telah berstandar internasional. Secara fasilitas sudah cukup mumpuni. Namun, selama ini banyak komoditas dari Aceh diekspor melalui Pelabuhan Belawan.
Saat ini, Pemprov Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah menyusun Qanun/Perda Aceh tentang Tata Niaga Komoditas Aceh. Qanun ini mengatur agar komoditas unggulan Aceh diekspor melalui pelabuhan di Aceh. Qanun ini sedang dalam telaah Kementerian Dalam Negeri.
”Ke depan komoditas Aceh harus diekspor melalui pelabuhan di Aceh agar aktivitas ekonomi di Aceh semakin tumbuh,” ujar Faisal.
Beberapa komoditas yang dominan diekspor adalah kopi, ikan, rempah, kondensat, dan batubara. Data Badan Pusat Statistik Aceh menunjukkan, pada 2022, total volume ekspor Aceh 8.847,16 juta kilogram dengan nilai 585,72 juta dollar AS. Tiga negara tujuan ekspor terbesar adalah India, Malaysia, dan Thailand.
Ke depan komoditas Aceh harus diekspor melalui pelabuhan di Aceh agar aktivitas ekonomi di Aceh semakin tumbuh.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Mukhlis Yunus berpendapat, sebenarnya Aceh punya komoditas ekspor dan pelabuhan yang memadai. Namun, dia menilai para pemangku kepentingan belum bersinergi untuk menjalankan ekspor-impor melalui Aceh.
”Misalnya, kopi Gayo nyaris semua diekspor ke luar negeri, tetapi lewat pelabuhan luar Aceh. Pemerintah, eksportir, dan pengelola pelabuhan harus mencari cara agar ke depan (komoditas itu) keluar dari pelabuhan di Aceh,” kata Mukhlis.
Ia menyebutkan beberapa hal yang harus dibenahi, yakni biaya harus kompetitif, waktu tunggu harus singkat, ada jaminan ketersediaan kapal, dan fasilitas harus lengkap.Ia optimistis, jika para pemangku kepentingan mau bersinergi, aktivitas ekspor-impor di Aceh akan jauh berkembang.
Baca juga : Gotong Royong Mencetak Eksportir Baru