Perusahaan Rintisan Australia Akan Bangun Pengolahan Rumput Laut di Jatim
Adapun rencana besarnya di tahun 2024 adalah mendirikan perusahaan rumput laut di Jawa Timur untuk mendukung program hilirisasi pemerintah.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Sebuah perusahaan rintisan asal Australia berencana membangun industri pengolah rumput laut di Jawa Timur pada tahun 2024. Rencana itu diyakini bakal memberikan nilai tambah signifikan bagi petambak serta turut mendorong hilirisasi produk perikanan nasional.
Pendiri (Co Founder) ULUU, perusahaan rintisan asal Australia itu, Julia Reisser, mengatakan, perusahaannya mengolah rumput laut menjadi material pengganti plastik. Hal itu sejalan dengan upaya menanggulangi dampak perubahan iklim global.
Adapun rencana besarnya pada tahun 2024 adalah mendirikan perusahaan rumput laut di Jatim untuk mendukung program hilirisasi pemerintah. Dia ingin tidak hanya sekadar mengekspor rumput laut dalam bentuk material mentah, seperti yang telah dilakukan.
”Kami sangat berterima kasih dan bersyukur dapat berada di sini. Kami sedang bekerja sama untuk mendirikan pabrik yang ada di Jatim. Kami juga bersyukur karena dapat mempererat kerja sama dengan Koperasi Agar Makmur Sentosa,” ujar Julia pada acara Pengiriman Perdana Rumput Laut Gracilaria dari Koperasi Agar Makmur Sentosa ke ULUU Australia, Jumat (4/8/2023).
Julia juga berterima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta semua pihak yang telah mendukung rencananya. Pihaknya mengaku sangat menantikan kerja sama dengan semua pihak di masa yang akan datang. Perusahaannya juga ingin memberdayakan masyarakat, terutama petani rumput laut.
Direktur Jenderal Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tubagus Haeru Rahayu mengatakan, komoditas rumput laut Indonesia saat ini masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. KKP sebenarnya menghendaki adanya hilirisasi industri pengolah rumput laut untuk memberikan nilai tambah kepada petani.
”Dengan dukungan ULUU yang akan membangun pabrik di Indonesia, harapannya konsep hilirirasi tersebut bisa diimplementasikan. Saya hanya mengingatkan, pertama jangan lupa menggunakan tenaga kerja lokal sehingga tidak menjadi persoalan di Sidoarjo ataupun Jatim. Kedua, jangan lupa dengan persoalan lingkungan karena itu gunakan instalasi pengolah limbah (ipal),” kata Tubagus.
Harapannya konsep hilirirasi tersebut bisa diimplementasikan.
Dia menambahkan, konsep industri yang ditawarkan oleh ULUU sejalan dengan program blue economy yang diinisiasi KKP. Adapun konsepnya adalah menjaga lingkungan laut dengan melakukan konservasi yang baik. Caranya, antara lain, ialah memperluas wilayah konservasi dengan target pada tahun 2025 sebesar 30 persen dari total area laut.
”Tahun 2025 laut kita ini sudah benar-benar terjadi konservasinya. Kalau lautnya terjaga dengan baik, lingkungan pasti menjadi lebih baik,” ucap Tubagus.
Apabila lautnya bagus, sumber daya alamnya harus terus dijaga agar tidak ada IUU (ilegal, unreported, unregulated). Menteri KKP sudah meminta kepada Bappenas untuk merevisi target produksi ikan hasil tangkapan sebesar 2,5 juta ton dialihkan ke sektor budidaya.
Pengembangan perikanan budidaya termasuk rumput laut itulah yang dinilai sejalan dengan konsep blue economy. Selain itu, lanjut Tubagus, Indonesia memiliki wilayah pulau yang sangat luas, yakni lebih dari 17.000 pulau. Ini harus dijaga dari ancaman dampak perubahan iklim global dengan pengelolaan pulau-pulau kecil.
Dia menambahkan, ada lima komoditas yang sedang dikembangkan oleh KKP, yakni udang, kepiting, lobster, tilapia (jenis ikan) dan rumput laut. Tantangannya, antara lain, ialah banyak tambak di wilayah pantai utara Jawa yang tidak produktif (idle) untuk budidaya udang. Bahkan, bisa dikatakan jumlahnya mencapai 99 persen.
Total tambak tradisional di Indonesia mencapai 247.803 hektar, sebanyak 70 persennya berada di pantai utara Jawa sehingga menjadi tantangan tersendiri.
”Kalau kita paksakan terus dengan udang, petaninya tambah miskin. Kebijakan kami adalah mendorong komoditas yang lebih tahan (terhadap perubahan lingkungan), yakni ikan bandeng, rumput laut, dan kepiting,” ujar Tubagus.
Kondisi petani tambak di pantura Jawa ini berbeda dengan petani tambak di Sidoarjo yang kini memiliki pendapatan bersih Rp 110 juta atau sekitar Rp 9 juta per bulan untuk kepemilikan tambak seluas 1 hektar. Petambak di Sidoarjo rata-rata memiliki area budidaya seluas 3-4 hektar.
Membaiknya tingkat kesejahteraan petambak di Sidoarjo terjadi salah satunya karena mereka membudidayakan rumput laut, selain ikan bandeng dan udang vaname. Petambak menggunakan sistem atau pola budidaya tumpang sari.
Ketua Koperasi Agar Makmur Sentosa Hery Sudaryanto mengatakan, pihaknya menyambut antusias rencana pendirian pabrik pengolahan rumput laut di Indonesia. Alasannya, pabrik itu akan disuplai bahan bakunya dari koperasi.
Karena itu, dia berharap dukungan pemda terkait rencana revitalisasi tambak-tambak yang tidak produktif agar kembali berproduksi. Produktivitas yang tinggi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan rumput laut yang diprediksi cukup besar.
”Jadi, dalam waktu enam bulan ke depan, kami akan fokus meningkatkan produksi. Rumput laut ini prospeknya sangat besar sekali. Kita harus bersatu padu mengelola ini dengan manajemen yang baik dan profesional,” kata Hery.
Menurut rencana, koperasi akan memiliki unit usaha untuk mengolah rumput laut menjadi tepung agar karena memiliki nilai tambah cukup besar. Kebutuhan tepung agar di dalam negeri juga besar. Selain itu, harga tepung agar di pasar dalam negeri saat ini di atas Rp 200.000 per kg. Sementara itu, harga rumput laut Rp 8.000, maksimal Rp 10.000 per kg.
”Jadi, nilai tambahnya besar sekali. Kami berharap kesejahteraan anggota, terutama petani tambak. Dan, itu akan memberikan efek ekonomi yang cukup besar,” ucapnya.