Berulang, Korban Tenggelam di Sungai-sungai Jawa Timur
Lebih dari 30 kasus kecelakaan fatal di sungai-sungai di Jawa Timur sejak awal tahun memperlihatkan pengabaian keselamatan dan jati diri sebagai masyarakat peradaban maritim memudar.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 30 kasus kecelakaan fatal terjadi di sungai-sungai di Jawa Timur sejak awal 2023. Situasi itu menguatkan indikasi masyarakat mengabaikan keselamatan. Jati diri sebagai bangsa maritim yang semestinya akrab dengan perairan memudar.
Kasus terkini dialami oleh Suherman (40), nelayan dari Bajangan, Kembang Ringgit, Pungging, Mojokerto. Jenazahnya ditemukan dan dievakuasi oleh tim SAR terpadu dari Bengawan Brantas wilayah Bandarasri, Jasem, Ngoro, Mojokerto, Senin (31/7/2023) pukul 01.05.
Menurut Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Mojokerto Abdul Khakim, Suherman tergelincir saat menyeberangi Bengawan Brantas wilayah Bandarasri seusai menjala ikan pada Minggu (30/7/2023) selepas pukul 12.00. Korban saat itu memanggul jala dan tangkapan yang diduga berat.
Abdul melanjutkan, ada empat tetangga Suherman yang bersama korban selama menjala ikan di sungai terpanjang di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo itu. Saat menyeberang sungai untuk pulang, Suherman tergelincir dan terseret diduga ke kedung bekas galian pasir. Keempat temannya mencoba menolong, tetapi gagal sehingga mereka melapor kepada aparatur desa dan polisi.
”Operasi SAR oleh tim terpadu dilaksanakan sampai pukul 17.30, tetapi belum berhasil menemukan korban,” kata Abdul. Tim kemudian memutuskan untuk melanjutkan operasi pencarian dan pertolongan (SAR) keesokan harinya. Namun, tim bersiaga sepanjang malam dengan harapan korban muncul ke permukaan.
Secara terpisah, Kepala Kantor SAR Surabaya Muhamad Hariyadi mengatakan, Senin pukul 01.05, tim yang masih berjaga melihat ada sesuatu yang mengapung di lokasi korban tergelincir dan tenggelam. Setelah didekati, ternyata korban, tetapi sudah meninggal. ”Jenazah dievakuasi dan diserahkan ke keluarga, sementara operasi SAR ditutup karena korban telah ditemukan,” ujarnya.
Bersamaan dengan waktu korban terjatuh dan tenggelam di Bengawan Brantas, tim SAR menemukan dan mengevakuasi jenazah tiga pemuda dari Bengawan Solo wilayah Banaran, Babat, Lamongan. Sejak awal tahun, Kantor SAR Surabaya mencatat ada 34 kasus orang terjatuh atau tenggelam di sungai di Jatim dan hampir semuanya meninggal. Artinya, setiap pekan ada satu kasus kecelakaan fatal di sungai. Ini tidak termasuk kecelakaan fatal di pantai, teluk, selat, dan laut.
Menurut Hariyadi, penting bagi masyarakat untuk waspada dan memperhatikan aspek keselamatan dalam berkegiatan di perairan, termasuk sungai. Dari 34 kasus orang tenggelam di sungai, 9-10 kasus dialami oleh korban berlatar belakang nelayan yang dianggap punya keterampilan dan adaptasi dengan perairan.
”Kondisi fisik perairan berubah sehingga perlu direspons dengan adaptasi dan peningkatan pengetahuan,” kata Hariyadi. Mungkin ada kendala bagaimana meningkatkan pengetahuan sehingga masyarakat lebih adaptif terhadap perubahan fisik perairan. Adaptasi bertujuan menekan potensi fatalitas jika terjadi kecelakaan.
Guru Besar Kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Ketut Buda Artana mengingatkan, adaptasi dan sikap memperhatikan keselamatan akan menekan potensi fatalitas kecelakaan. Salah satu respons adaptasi adalah jika berkegiatan di sungai membawa jaket keselamatan atau pelampung. Jika terjatuh ke air, tubuh tidak akan terseret ke kedalaman sehingga ada peluang menghindari ancaman kematian.
Namun, membawa pelampung ke sungai saat menjala ikan atau berperahu bagi masyarakat umum terasa kurang lazim. Padahal, berkelengkapan yang menjamin keselamatan merupakan salah satu cara adaptasi.
Kondisi fisik perairan berubah sehingga perlu direspons dengan adaptasi dan peningkatan pengetahuan.
Selain itu, lanjutnya, keterampilan berenang dan membaca kondisi fisik perairan tidak boleh diabaikan. Misalnya, tidak nekat menyeberang jika terasa kurang aman dan tidak ke sungai saat gelap atau tanpa penerangan. Juga diperlukan kelengkapan dan atau pendampingan dari aparatur berwenang sehingga dapat mengantisipasi atau menanggapi situasi secara cepat jika terjadi kecelakaan.
Menurut Ketut, tanpa perubahan cara pandang, pemahaman, dan kesadaran mengenai pentingnya keselamatan, kasus-kasus kecelakaan fatal di perairan akan terus terjadi. Korban akan terus ada dan bukan sekadar meninggalkan duka, melainkan mengganggu keberlangsungan ekonomi dan sosial keluarga.