Berjuang Menjadi Buruh Tetap hingga Berjibaku Memperoleh Kembali Hak atas Tanah
Serikat buruh menjadi salah satu jalan untuk memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak buruh perkebunan sawit. Sayangnya, untuk mewujudkan wadah solidaritas buruh itu tidaklah mudah.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO, MEDIANA
·4 menit baca
Upaya memperbaiki nasib buruh perkebunan sawit harus menempuh jalan terjal. Kekuatan solidaritas antarburuh diharapkan bisa sedikit meringankan beban mereka. Namun, kenyataannya tidak semua buruh dapat leluasa berserikat.
Sebagian perkebunan sawit sangat tertutup sehingga beberapa buruh khawatir jika identitas mereka diungkap. Penelusuran Kompas dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan fenomena buruh yang sulit berkutik menghadapi keterisolasian itu.
Di sebuah kebun di Kalimantan Barat, misalnya, serikat buruh setempat berupaya keras agar para buruh yang masih berstatus buruh harian lepas (BHL) dapat diangkat dengan skema perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
E (35), salah satu buruh harian tetap di salah satu perusahaan sawit di Kalbar, berharap suatu ketika bisa menjadi staf perkebunan. Namun, hal itu sulit direalisasikan.
Salah satu pengurus serikat buruh di kebun itu, J (51), mengatakan, ia telah memperjuangkan agar hak-hak buruh di kebun sawit itu dipenuhi. Contohnya, baru-baru ini ada BHL yang sudah lebih dari setahun bekerja di tempat itu meninggal. Serikat buruh memperjuangkan agar pesangon yang bersangkutan dibayar. Namun, saat itu belum berhasil karena manajemen beralasan data tidak lengkap.
”Manajemen paling hanya datang memberikan beras. Hak-haknya tidak dibayar. Maka, serikat buruh terus memperjuangkan itu. Setelah diperjuangkan, barulah ada buruh yang mulai dibayar pesangonnya,” tutur J, Selasa (25/7/2023).
Direktur Lembaga Teraju dan anggota Koalisi Buruh Sawit Indonesia Agus Sutomo menuturkan, mayoritas buruh sawit di Kalbar berstatus BHL. Dari BHL untuk menjadi buruh harian tetap prosesnya begitu panjang. Banyak buruh yang bekerja di atas lima tahun tetap menjadi BHL.
”Sementara dalam konteks Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lama ataupun yang baru sebetulnya tidak dikenal buruh harian lepas selain perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT),” kata Agus.
Minim pemenuhan hak
Status kepegawaian yang tidak jelas itu berdampak pada minimnya hak-hak yang diterima buruh. Di lapangan, mereka harus berhadapan dengan risiko kerja yang tinggi. Dalam pemupukan sawit, misalnya, buruh rentan bersentuhan dengan zat kimia. Namun, tidak ada pemeriksaan kesehatan berkala bagi buruh.
Sebagian besar buruh pemupuk adalah perempuan. Mereka mengenakan alat perlindungan yang terbatas, bahkan tanpa perlindungan sama sekali. Buruh harus membeli sarana keselamatan itu saat masuk pertama kali bekerja di perusahaan.
Pada 2018, Agus menerima laporan kasus buruh yang meninggal karena terpapar pestisida. Buruh tersebut terkena kanker kulit dan mulut serta paru. Namun, pertanggungjawaban perusahaan minim karena buruh itu berstatus BHL.
BPJS Kesehatan untuk BHL jarang yang didaftarkan. ”Ada yang dipotong gajinya dianggap untuk membayar BPJS, tetapi tidak dibayarkan. Itu terjadi,” ujar Agus.
Sedikit perusahaan yang memberikan ”ruang bebas” kepada buruh untuk berserikat. Perusahaan masih berasumsi buruh adalah musuh. Padahal, Pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh mengisyaratkan, serikat buruh, federasi, atau konfederasi merupakan mitra perusahaan.
Persoalan status hubungan kerja yang dialami buruh sawit sangat berpengaruh terhadap upah, perlindungan sosial, serta keselamatan dan kesehatan kerja. (Nursanna Marpaung)
Perlahan beberapa perusahaan besar bisa menerima keterlibatan serikat buruh. Hal itu dampak dari koalisi buruh kebun sawit yang terus berkampanye. Mereka membangun serikat buruh serta konfederasi serikat buruh di Kalbar. Di Kalbar diperkirakan ada 500.000 buruh sawit. Namun, angka tersebut tidak termasuk BHL.
Kriminalisasi
Di Desa Kinjil, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Aleng Sugianto (58), Suwadi (40), dan Maju (51) ditangkap dan dipenjara sejak April karena dituduh mencuri sawit di perusahaan tempat mereka bekerja sama dalam skema plasma, sejak 2008. Aleng dan Suwadi adalah mandor, sedangkan Maju adalah buruh.
Karena tidak untung, mereka meminta agar tanah mereka dikeluarkan dari kesepakatan plasma. Hal itu sepengetahuan pihak desa. Namun, ketika Aleng dan rekan-rekannya memanen sawit di lahan mereka, perusahaan melaporkan itu sebagai pencurian dan mereka dipenjara.
Kuasa hukum Aleng dan kerabatnya, Aryo Nugroho, mengatakan, kasus Aleng merupakan satu dari sekian banyak kasus yang menimpa buruh kebun sawit di Kalteng. Mereka bisa mengelola ladang sendiri, tetapi terpaksa bekerja sama dengan perusahaan lewat plasma atau menjadi buruh karena beberapa alasan, seperti lahannya diserobot atau dipaksa masuk plasma.
”Hal ini terjadi karena ketidakjelasan kebijakan pemerintah soal kewajiban 20 persen kebun plasma, apakah di dalam atau di luar HGU karena ini memengaruhi konflik yang terjadi dengan masyarakat sekitar,” ujar Aryo.
Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja - Serikat Buruh Sawit Indonesia (Japbusi) Nursanna Marpaung mengatakan, persoalan status hubungan kerja yang dialami buruh sawit sangat berpengaruh terhadap upah, perlindungan sosial, serta keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
”Sebagian besar pekerja BHL tidak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial. Kalaupun ada pekerja BHL jadi peserta jaminan sosial, hal itu disebabkan perusahaan yang mendaftarkan, tetapi jenisnya hanya jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja,” ujarnya.
Menurut Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Yuli Adiratna, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia sudah mengadopsi delapan konvensi dasar Organisasi Buruh Internasional (ILO). Namun, Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO Nomor 110 tentang Kondisi Kerja Buruh Perkebunan dan Konvensi ILO Nomor 184 tentang Keselamatan dan Kesehatan di Bidang Pertanian.
Berdasarkan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengawasan ketenagakerjaan berada di provinsi. Menurut Yuli, seluruh tugas dan tanggung jawab terkait dengan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.