Buruh kebun di Tanah Air harus menghadapi minimnya upah dan status kepegawaian yang tidak tetap. Kesejahteraan minim dan ketiadaan pilihan membuat mereka terseok di rantai ekonomi yang timpang.
Pergulatan hidup yang berat dihadapi buruh-buruh perkebunan di Tanah Air. Salah satunya yang paling keras dialami oleh buruh kebun sawit di Kalimantan dan Sumatera. Sebagian besar buruh yang berstatus buruh harian lepas itu sulit mengakses layanan kesehatan, pendidikan bagi anak-anak mereka, dan mendapatkan upah yang minim.
Kesulitan itu dialami Guntur (48), buruh tani asal Desa Rabambang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ia baru enam bulan bekerja dan masih berstatus buruh harian lepas (BHL). Ia yang sebelumnya bekerja sebagai petambang ilegal mencoba peruntungan di perkebunan karena khawatir ditangkap polisi jika terus menambang secara ilegal. Namun, harapannya untuk bisa hidup lebih baik di perkebunan sawit tak begitu saja terwujud.
Guntur dijanjikan perusahaan untuk diubah statusnya menjadi buruh perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi hingga kini belum juga terwujud. Ia khawatir akan dilepas oleh perusahaan seperti yang terjadi pada enam kerabatnya dari kampung yang sama.
Selama enam bulan bekerja, Guntur membawa sendiri peralatan kerja dari rumahnya karena untuk mendapatkan dari perusahaan harus membeli dan dipotong dari upahnya. Selain itu, sampai sekarang ia juga belum memiliki jaminan kesehatan apa pun. ”Memang sudah dijanjikan, tapi sekarang masih belum dikasih (jaminan kesehatan),” ujarnya.
Untuk bekerja, Guntur menempuh perjalanan sekitar dua jam dari rumahnya. Ia tidak mau tinggal di mes karyawan karena tidak layak. ”Kamar mandi dan WC-nya hanya ada satu yang umum, bukan di tiap rumah,” katanya.
Ia diberi upah Rp 129.000 per hari. Upah dihitung dari berapa banyak tandan sawit yang bisa dipanen. Perusahaannya bahkan tidak menetapkan jam kerja. Ia hanya sanggup bekerja delapan jam sehari. Guruh belum menerima gaji bulanan sebagaimana buruh dengan skema PKWT atau karyawan kontrak.
Status kerja BHL tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan. Menurut undang-undang tersebut, perusahaan harus menerapkan sistem PKWT atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Dengan demikian, buruh bisa mendapatkan berbagai haknya, termasuk upah bulanan, jaminan kesehatan, dan banyak lagi.
Situasi serupa dialami buruh di Kalimantan Barat. J (51), salah seorang buruh tetap di perkebunan kelapa sawit Kalbar, mengemukakan, masalah yang dihadapi buruh setempat, khususnya BHL, ialah terkait dengan jaminan kesehatan. Perkebunan tempatnya bekerja sebenarnya memiliki klinik. Namun, ketika ada buruh yang harus dirujuk ke rumah sakit di Pontianak, biaya ditanggung buruh sendiri, kecuali yang bersifat gawat darurat.
”Perusahaan tidak memfasilitasi kendaraan untuk mengantar. Pernah ada buruh harian tetap diminta berangkat sendiri saat dirujuk,” ujarnya, Rabu (26/7/2023).
BHL juga tidak didaftarkan ke BPJS Kesehatan. Dari 2.000-3.000 buruh di kebun sawit tempatnya bekerja, baru sekitar 20 persen yang terdaftar di BPJS Kesehatan. Itu karena status mereka buruh tetap atau PKWTT. Adapun BHL belum memiliki BPJS Kesehatan. ”Ini juga sedang kami perjuangkan. Kata manajemen, masih memprioritaskan pekerja berisiko tinggi, tetapi belum terwujud juga,” ucapnya.
Bagi buruh yang diangkat menjadi pekerja tetap dengan skema PKWTT, nasib belum tentu lebih baik. E (35), misalnya, sudah bekerja di perusahaan sawit sejak 2012 sebagai buruh lepas. Kemudian, ia baru diangkat menjadi buruh tetap pada 2019 sebagai buruh panen sawit. Setiap hari ia harus memanen 550 kilogram sawit dengan gaji Rp 80.000.
”Dengan penghasilan Rp 80.000 per hari, saya berupaya mengatur sebaik-baiknya untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak. Terkadang kerja borongan, tetapi tidak menentu,” ujarnya.
Di Aceh, HM (26) saban hari menerobos gelap menuju titik kumpul di dalam kebun sawit di Desa Seuneubok Cina, Kecamatan Indra Makmur, Aceh Timur. HM yang berstatus BHL ini diupah berdasarkan banyaknya tandan sawit yang dipanen. Jika sedang musim trek atau paceklik, dia hanya mampu memanen 100 tandan. Jika sedang musim buah, HM memanen sampai 300 tandan.
Setiap bulan HM memperoleh upah minimal Rp 2,5 juta dan maksimal Rp 3,2 juta. ”Setiap bulan ada saja pemotongan. Alasan perusahaan, ada buah yang menyusut. Biasanya satu orang dipotong Rp 100.000,” ujarnya.
Untuk mencari penghasilan tambahan, seusai kerja di kebun, HM ikut mengangkut buah sawit ke truk. Satu muatan penuh diupah Rp 300.000-Rp 400.000. Ia yang sudah bekerja selama 16 bulan itu berharap diangkat menjadi tenaga kontrak melalui skema PKWT dan selanjutnya menjadi karyawan tetap. Namun, hingga kini tidak ada informasi kapan dia naik status menjadi PKWT.
Terkatung-katung
Sekretaris Serikat Pekerja Kelapa Sawit Indonesia (Sepasi) Kalteng Dianto Arifin mengatakan, UU Cipta Kerja memperburuk kehidupan buruh. ”Saat ini perusahaan hanya perlu mempekerjakan mereka tiga bulan, setelah itu kontraknya habis dan dilepas. Buruh luntang-lantung lagi mencari pekerjaan. Perusahaan cari pekerja banyak saat panen. Panen selesai kontrak diputus. Buruh tak dapat kepastian, perlindungan, dan kian buruk situasinya,” katanya.
Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumarjono Saragih mengatakan, BHL sudah lama dipersoalkan. Kendati demikian, di beberapa kejadian, BHL jadi pilihan yang secara sadar diambil pekerja. Padahal, Sumarjono mengeklaim perusahaan terus mendorong agar semuanya karyawan tetap.
”Karena itu, isu BHL perlu dicari (titik) kompromi antara kearifan masyarakat setempat dan hukum Indonesia. Kalau pekerja di dalam pabrik pengolahan, semuanya sudah karyawan tetap yang terikat dengan peraturan dari pemerintah mengenai jam kerja,” tuturnya.
Ada problem kepatuhan dalam penerapan aturan ketenagakerjaan. Data Kemenaker menunjukkan, jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini sekitar 1.500 orang, sedangkan perusahaan yang wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan (WLKP) daring pada 2023 ada 1,5 juta perusahaan. Situasi itu, antara lain, menyebabkan pengawasan norma ketenagakerjaan di sektor perkebunan belum optimal.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Yuli Adiratna, saat dikonfirmasi, mengatakan, sudah ada Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Rencana aksi ini digarap lintas kementerian/lembaga.
Yuli mengakui, ada problem kepatuhan dalam penerapan aturan ketenagakerjaan. Data Kemenaker menunjukkan, jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini sekitar 1.500 orang, sedangkan perusahaan yang wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan (WLKP) daring pada 2023 ada 1,5 juta perusahaan. Situasi itu, antara lain, menyebabkan pengawasan norma ketenagakerjaan di sektor perkebunan belum optimal. Selain itu, lokasi perkebunan juga cenderung terpencil.
Tidak hanya buruh sawit, sebagai perbandingan, buruh petik teh di Jawa Barat juga belum sejahtera. Kondisi ini membuat pekerja di kebun teh minim regenerasi. Menurut Ketua Paguyuban Petani Teh Lestari Waras Paliant, sebagian besar generasi muda dari para pemetik teh tidak melanjutkan kembali pekerjaan orangtua mereka.
”Bayangkan saja, dalam sehari, seorang buruh teh hanya bisa mendapatkan Rp 35.000. Itu pun tidak setiap hari. Beda dengan buruh pabrik yang bisa mendapatkan gaji setara UMR (upah minimum regional),” ujarnya.
Sebagian besar petani hingga buruh teh telah berusia lanjut. Dari sedikitnya 30.000 anggota paguyuban yang tersebar di 14 daerah sekitar Jabar dan Jawa Tengah, hampir semuanya berusia lebih dari 40 tahun.
Kondisi ini, menurut Waras, mengancam potensi produksi teh di Jabar, bahkan Indonesia. Sawit bukan tidak mungkin juga akan ditinggalkan buruhnya, seperti nasib kebun teh, jika tidak mendatangkan kesejahteraan bagi mereka. Apalagi jika di masa depan ada komoditas yang lebih menguntungkan.