Perempuan buruh harian lepas di perkebunan kelapa sawit harus menanggung beban ganda. Selain mengurus keluarga, mereka juga membantu suami mengumpulkan hasil panen sawit. Beberapa di antaranya menjadi tulang punggung keluarga.
Salah satunya Sumarni (35) yang harus berjibaku di salah satu kebun sawit milik swasta di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Seusai memasak, Rabu (26/7/2023), ia menuju kebun bersama suaminya.
Sumarni bukan buruh resmi di perkebunan itu. Namun, setiap hari ia membantu suaminya, Gunawan (35), buruh panen di situ. Gunawan bekerja dengan skema perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap.
Di kebun, Gunawan mengangkat egrek (alat panen sawit) sepanjang 16 meter. Dengan susah payah, ia mengangkat egrek seberat lebih dari 10 kilogram. Pisau di ujung egrek lalu memotong tangkai buah. Tandan buah segar (TBS) jatuh dari pohon setinggi 15 meter itu.
Sebagian buah sawit lepas dari tandan, yang disebut berondolan. Sumarni cepat-cepat mengumpulkan berondolan itu dan memasukkannya ke dalam goni.
”Saya bekerja atas kemauan sendiri, tidak ada dipaksa perusahaan. Namun, kalau saya tidak ikut bekerja, berondolan ini tidak bisa dikumpulkan suami dan premi (tambahan upah) suami saya berkurang,” katanya.
Sumarni adalah gambaran hampir semua istri buruh kebun sawit, khususnya di bagian pemanenan. Buruh pemanen menjadi bagian terbanyak dari semua buruh di perkebunan.
Buruh pemanen di Langkat dibayar Rp 3.037.000, hanya sedikit di atas upah minimum kabupaten. Mereka diberi target panen 40-50 TBS per hari, tergantung umur tanaman.
TBS yang dipanen melebihi target akan dihitung sebagai premi yang dihargai Rp 500 per TBS. Berondolan juga dihitung sebagai premi, dihargai Rp 450 per kg.
Sumarni mampu mengumpulkan berondolan sekitar 80 kg per hari. Dengan premi Rp 450 per kg, dia membantu suami mendapat premi sekitar Rp 36.000 per hari. Sumarni membawa anaknya yang berusia lima tahun ke kebun karena tidak ada penitipan anak.
Istri buruh dilarang bekerja di kebun. Namun, seiring kebutuhan, mereka membantu suami memungut berondolan. Tak heran, para istri harus waspada saat ada ”tamu”, sebutan manajemen untuk auditor eksternal kebun.
Ada pula perempuan yang memang bekerja di kebun. Status mereka umumnya buruh harian lepas (BHL). Seperti Rahayu (36) yang bekerja di bagian pembibitan di sebuah perkebunan swasta di Langkat.
Setiap hari Rahayu dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Dia pernah bekerja pada 2016-2018 di perkebunan itu. Dia terkena PHK tanpa pesangon apa pun. ”Waktu itu bagian pembibitan katanya ditutup sementara,” kata Rahayu.
Pada 2021, perusahaan kembali menghubungi Rahayu karena pembibitan dibuka lagi. Dia berstatus PHL/BHL dengan upah Rp 110.000 per hari. Jika bekerja maksimal 20 hari, ia menerima upah Rp 2,2 juta.
Rahayu bekerja menyemprotkan racun rumput dan pestisida. Alat pelindung diri terbatas dan tidak ada tes kesehatan. Adapun karyawan dengan status karyawan kontrak atau tetap menjalani tes kesehatan enam bulan sekali.
Tulang punggung
Situasi lebih berat dihadapi Nyaisah (65), perempuan kepala keluarga di Desa Seuneubok Cina, Kecamatan Indra Makmur, Aceh Timur, Aceh. Di usia yang tak lagi muda, ia membersihkan rumput, menyemprot pestisida, dan menabur pupuk. Statusnya BHL.
Ia berangkat pukul 07.00 dan pulang pukul 17.00 dengan bayaran Rp 70.000 per hari. Jika bekerja 21 hari, upah Nyaisah Rp 1,4 juta sebulan. Adapun UMP Aceh Rp 3,4 juta per bulan. ”Kalau tak bekerja, kami mau makan apa?” katanya.
Sebagai BHL, Nyaisah digaji harian. Dia tak memiliki BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan dari perusahaan. Beruntung dia mendapatkan BPJS Kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), premi dibayar oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Dia tidak mendapatkan tunjangan hari raya dan cuti.
Tidak banyak perempuan buruh beruntung menjadi pekerja tetap. Guratan luka dan urat-urat yang timbul di tangan Laurensia (49) menjadi saksi akan hal itu. Perempuan yang bekerja di sebuah kebun sawit di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, itu baru setahun terakhir ini menjadi pegawai tetap.
Perempuan dan anak menjadi kelompok yang sangat rentan dieksploitasi di perkebunan. Tidak ada perusahaan yang terang-terangan meminta istri buruh bekerja. Namun, sistem yang dibangun memaksa istri bekerja agar target kerja suami terpenuhi.
Ia bekerja selama 15 tahun. Dengan gaji Rp 3,2 juta per bulan, ditambah upah harian jika memenuhi target, Laurensia mendapatkan Rp 4,5 juta-Rp 5 juta per bulan. Upah itu untuk membiayai sekolah anaknya di sebuah SMP di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) Herwin Nasution mengatakan, perempuan dan anak menjadi kelompok yang sangat rentan dieksploitasi di perkebunan. Tidak ada perusahaan yang terang-terangan meminta istri buruh bekerja. Namun, sistem yang dibangun memaksa istri bekerja agar target kerja suami terpenuhi.
Perempuan berusia relatif muda juga semakin banyak bekerja di perkebunan. Mereka rentan terpapar bahan kimia, juga tidak mendapat hak cuti, kesempatan menyusui, hingga penitipan anak.
Perempuan PHL, kata Herwin, juga sengaja dipekerjakan 20 hari untuk menghindari upah sesuai UMK. Padahal, dalam jenis pekerjaan yang sama digunakan juga pekerja berstatus karyawan kontrak atau tetap. Pembuat kebijakan seharusnya memperhatikan nasib perempuan buruh ini dan memastikan pemberian hak-hak mereka.