Dahulu Berjaya, Kini Ramai-ramai Memutus Hubungan Kerja
Akibat kekurangan bahan baku, pada 2017-Mei 2023, delapan pabrik karet di Sumsel berhenti beroperasi. Kapasitas total delapan pabrik tersebut 323.200 ton per tahun.
Menurunnya produktivitas kebun karet dalam enam tahun terakhir membuat pabrik karet kekurangan bahan baku. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya daya operasional pabrik. Akibatnya, langkah efisiensi pun dilakukan, termasuk memberhentikan karyawan.
Situasi ini antara lain memukul buruh pabrik karet di sejumlah wilayah di Sumatera Selatan dan Jambi. Sayuti Harun (72), misalnya, mantan buruh pabrik karet Badja Baru yang berlokasi di Jalan Pangeran Sido Ing Kenayan, Kecamatan Gandus, Palembang, Sumsel, tidak menyangka perusahaan yang dulunya jaya dan berkembang kini harus gulung tikar.
Sayuti beruntung karena ia sudah pensiun dan dipekerjakan kembali menjadi petugas keamanan di perusahaan itu untuk menjaga aset perusahaan. Sayuti juga terus memberi informasi kepada 400 karyawan lain yang terkena pemutusan hubungan kerja tentang perkembangan pelelangan aset. Informasi itu penting karena dari hasil pelelangan, pesangon mereka baru bisa dibayar.
Bapak lima anak ini tidak menyangka bahwa pabrik karet tempat ia bekerja bakal pailit. Padahal, pabrik yang dibuka pada 1963 itu mengalami kejayaan pada 1990-an sampai 2000-an. Saat itu semua karyawan sejahtera. Gaji, tunjangan, hingga jaminan sosial rutin diterima dari perusahaan. Dana pertanggungjawaban perusahaan juga digelontorkan bagi warga di sekitar pabrik.
”Bahkan, pada tahun 2020, ketika saya sakit, semua biaya masih ditanggung perusahaan. Saya tidak menyangka, perusahaan ini bangkrut,” katanya, Kamis (27/7/2023).
Karena mengalami PHK, beberapa rekan yang senasib dengannya juga terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Sebagian besar menjadi pengemudi ojek daring sembari menunggu kejelasan pesangon.
SN (48) lebih beruntung karena tidak sampai terkena PHK. Ada beberapa karyawan di pabrik tempatnya bekerja yang harus pensiun dini dan pegawai kontrak tidak lagi dilanjutkan kontraknya. ”Kisaran uang pensiun yang diberikan Rp 90 juta-Rp 120 juta per orang, bergantung pada masa kerjanya,” ujar SN yang juga ketua serikat pekerja di pabrik itu.
Petani karet juga terpaksa harus memberhentikan buruh sadap karet karena produktivitas lahan yang merosot. Sudah dua tahun ini Eko Pramono (58), petani karet di Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, tak lagi mempekerjakan buruh sadap karet. ”Dalam satu minggu, satu hektar lahan karet saya hanya menghasilkan 60 kilogram,” katanya.
Kondisi ini terjadi akibat penyakit gugur daun. ”Biasanya gugur daun hanya terjadi setahun sekali. Namun, sejak dua tahun terakhir, fase gugur daun bisa mencapai empat kali setahun,” ujarnya.
Kondisi itu diperparah oleh harga karet yang tidak stabil. Di tahun ini harga karet tidak pernah di atas Rp 10.000 per kg. Kondisi itu berbeda dengan 2009 di saat harga karet bisa menyentuh Rp 23.000 per kg.
Eko mengganti 2 hektar lahan karetnya menjadi lahan sawit dan hanya menyisakan 1 hektar lahan karet. Kelapa sawit dinilai lebih menguntungkan karena harga dan produktivitas yang lebih stabil. Ia juga tidak perlu datang ke kebun setiap hari untuk menyadap.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex Kurniawan Edy mengatakan, akibat kekurangan bahan baku, pada 2017-Mei 2023, delapan pabrik karet di Sumsel berhenti beroperasi. Kapasitas total delapan pabrik tersebut 323.200 ton per tahun. ”Akibatnya, sekitar 1.500 karyawan harus kehilangan pekerjaan,” kata Alex.
Adapun 22 pabrik yang masih beroperasi dengan kapasitas 1,6 juta ton per tahun harus melakukan efisiensi agar tidak merugi. Efisiensi itu seperti mengurangi tenaga kerja dengan tetap memberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, perusahaan juga tidak lagi memberikan jatah lembur karena bahan baku yang tersedia jauh berkurang. Gapkindo mencatat, produktivitas karet di Sumsel terus turun. Pada 2022 hanya sekitar Rp 900.000 ton atau turun dari tahun sebelumnya 1 juta ton.
Dibawa ke pengadilan
Di Jambi, sejumlah buruh bahkan harus menggugat ke pengadilan hubungan industrial (PHI) karena pesangon tidak diberikan sesuai perjanjian kerja bersama (PKB). Perusahaan berpegangan pada ketentuan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Junaidi (30), salah satu buruh pabrik karet di Kota Jambi, termasuk yang menggugat ke PHI. Sesuai PKB perusahaan itu, jika pekerja di-PHK, akan menerima uang ”putus” dua kali ketentuan. Namun, belakangan, perusahaan mengacu pada UU Cipta Kerja, yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan UU Cipta Kerja, pesangon 0,5 kali dari ketentuan. Junaidi seharusnya menerima pesangon Rp 70 juta. Namun, dengan undang-undang baru itu, pesangon dia terpangkas.
Masta Aritonang, Ketua Pengurus Federasi Hukatan, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), menyebutkan, sudah dua pabrik karet di Jambi berhenti beroperasi dan menerapkan PHK besar-besaran. Kedua perusahaan itu digugat buruhnya ke pengadilan.
Industri karet nasional sudah terpuruk sejak harga karet turun pada 2013-2014. Kondisi memburuk sejak muncul penyakit gugur daun tahun 2017.(Roizin)
Wakil Ketua Gapkindo Jambi John Kennedy mengatakan, kekurangan pasokan bahan baku itu disebabkan petani karet beralih tanam komoditas lain. ”Kalau petani beralih ke komoditas lain, apa yang mau kami andalkan?” katanya.
Dua dari 11 pabrik karet di Jambi tutup sejak akhir tahun lalu. Kalangan industri mengalami kekurangan bahan baku berkepanjangan.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Erwin Tunas mengatakan, sejak 2017 produksi karet alam Indonesia menurun terus. Pada 2017, produksinya 3,7 juta ton dan pada 2022 diperkirakan 2,6 juta ton. Selama 2017 -2022, dari 152 pabrik, kini ada 46 pabrik tutup dan tinggal 106 pabrik beroperasi.
Persoalan terberat ialah penurunan pasokan akibat produktivitas pohon dan harga karet yang rendah. ”Solusi jangka pendek, pemerintah harus memberikan bantuan penghasilan lain supaya mereka tidak menebang pohonnya atau meninggalkan pekerjaan menyadap mereka,” ujar Erwin.
Ketua Asosiasi Unit Pengelolaan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Roizin mengatakan, industri karet nasional sudah terpuruk sejak harga karet turun pada 2013-2014. Kondisi memburuk sejak muncul penyakit gugur daun tahun 2017. ”Produksi karet dari petani sekarang tersisa 40 persen,” ujarnya.
Situasi itu berdampak buruk bagi kesejahteraan petani dan buruh sadap. Sebagai ilustrasi, harga per kilogram karet sekitar Rp 9.000. Apabila petani bisa memproduksi 100 kg, dia bisa menerima Rp 900.000. Penghasilan ini biasanya dibagi dengan buruh sadap sehingga masing-masing memperoleh Rp 450.000 per minggu. Jika produksi turun setengahnya, baik petani maupun buruh sadap hanya memperoleh sekitar Rp 30.000 per hari.
Dia berharap pemerintah segera bertindak cepat mengatasi masalah di perkebunan karet. Selain pengendalian penyakit gugur daun, pemerintah disarankan membantu penanaman kembali secara merata di seluruh Indonesia.
”Petani dalam kondisi untuk kebutuhan makan sehari-hari susah, apalagi diminta melakukan penanaman kembali. Mau minta perusahaan membantu, mereka saja susah bertahan karena secara nasional sudah ada 45 perusahaan sawit tutup,” katanya.
Baca juga: Nasib Buruh Perkebunan