Buruh perkebunan menghadapi upah rendah, ketidakjelasan status, hingga minimnya pemenuhan hak. Hal ini membuat mereka belum sejahtera.
Oleh
NIKSON SINAGA, ZULKARNAINI, D REYNALDO TRIWIBOWO, EMANUEL EDI SAPUTRA, MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemiskinan masih membayangi buruh perkebunan. Di bawah target kerja yang berat, mereka harus berhadapan dengan upah yang minim sebagai buruh harian lepas tanpa ikatan status yang jelas. Kepatuhan perusahaan perkebunan terhadap aturan ketenagakerjaan dibutuhkan untuk memperbaiki nasib buruh.
Pantauan Kompas di lapangan dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan, situasi sulit itu dialami buruh di sejumlah perkebunan antara lain sawit, karet, dan teh.
Di perkebunan sawit, buruh umumnya mengeluhkan status ketenagakerjaan sebagai buruh harian lepas (BHL). Status itu membuat buruh tidak dapat menikmati hak-hak mereka, seperti upah bulanan, jaminan kesehatan, tunjangan hari raya, dan cuti.
Hal itu dialami Syarifudin (38), warga Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur. Ia bekerja sebagai tenaga panen di sebuah perkebunan sawit di Aceh Timur.
Sebagai pekerja berstatus BHL, Syarifudin digaji harian sesuai dengan hasil panen yang diperolehnya. Setiap 1 kilogram hasil panen dihargai Rp 300. Dalam sehari, ia bisa memanen minimal 500 kg dan maksimal 1 ton. Dalam sehari, dia memperoleh Rp 150.000-Rp 300.000. ”Saya digaji per hari. Kalau tidak kerja, tak ada gaji,” ujarnya, Selasa (25/7/2023).
Sebagai buruh lepas, Syarifudin tidak memiliki asuransi ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan. Beberapa kali ia mengalami kecelakaan kerja dan terpaksa menanggung sendiri biaya berobat.
Tidak ada kepastian kapan Syarifudin diangkat menjadi buruh dengan skema perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Dua skema ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lebih baik
Kondisi buruh kebun sawit yang lebih baik ditemui di kebun sawit yang telah mendapatkan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Adi Sunarto (30), pemanen sawit di salah satu kebun sawit di Langkat, misalnya, masih digaji kendati mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya tidak bisa bekerja.
Adi menikmati peningkatan hak pekerja setelah perkebunan sawit tempatnya bekerja mendapat sertifikasi RSPO dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). RSPO adalah sertifikasi yang menerapkan standar global yang berkelanjutan dalam pengelolaan perkebunan sawit, di antaranya dalam hal lingkungan hidup dan ketenagakerjaan.
”Sebelumnya saya sudah beberapa tahun menjadi BHL. Saya lalu diangkat menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (karyawan kontrak). Tiga bulan kemudian diangkat lagi menjadi karyawan tetap,” kata Adi.
Saat menjadi BHL, Adi mendapat upah Rp 121.500 per hari dan maksimal bekerja 20 hari. Jika bekerja penuh 20 hari, dia mendapat Rp 2.430.000. Adi hanya mendapat gaji pokok tanpa tunjangan apa pun, termasuk jaminan kesehatan atau cuti sakit. Jika tidak bekerja, gajinya dipotong.
Generasi muda
Tidak hanya buruh sawit, persoalan buruh juga dialami komoditas teh. Ketua Paguyuban Petani Teh Lestari Waras Paliant mengatakan, sebagian besar generasi muda tak melanjutkan kembali pekerjaan orangtua mereka. Hal itu terjadi karena upah yang rendah. Dalam sehari, buruh teh hanya mendapatkan Rp 35.000.
Dampaknya, luas lahan kebun setiap tahun terus menurun karena banyak petani melakukan alih fungsi lahan. Pada 2001, luas kebun teh di Indonesia 150.872 hektar. Pada 2020, luas kebun teh tersisa 112.307 ha.
Krisis perburuhan dialami pula dalam komoditas karet di tengah produksinya yang terus turun. Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Erwin Tunas mengatakan, pada 2017, produksi karet 3,7 juta ton, sedangkan pada 2022 diperkirakan tinggal 2,6 juta ton. Akibatnya, pabrik pengolahan karet kekurangan bahan baku. Pada 2017 -2022, dari 152 pabrik karet, 46 pabrik tutup dan tersisa 106 pabrik.
Ketua Gapkindo Sumsel Alex Kurniawan Edy menyebutkan, pada 2017-Mei 2023, delapan pabrik karet di Sumsel berhenti beroperasi akibat kekurangan bahan baku. ”Sekitar 1.500 karyawan kehilangan pekerjaan,” kata Alex.
Di Jambi, dua dari 11 pabrik karet tutup. Sejumlah pekerja karet membawa persoalan pesangon ke Pengadilan Hubungan Industrial karena jumlah pesangon berkurang setelah ada ketentuan baru dalam UU Cipta Kerja.
Menanggapi situasi ini, pemerintah berusaha meningkatkan kepatuhan perusahaan. Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Yuli Adiratna mengatakan, sektor perkebunan menyerap sekitar 600.000 tenaga kerja. Jumlah ini belum termasuk petani.
Pemerintah perlu mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Buruh Perkebunan. Daerah pun didorong membentuk peraturan daerah guna melindungi pekerja.
Guna meningkatkan kepatuhan norma ketenagakerjaan, Kemenaker bekerja sama dengan sejumlah organisasi nirlaba. Kemenaker juga meluncurkan platform digital ”Norma100” (norma100.kemnaker.go.id) untuk membuat perusahaan semakin patuh.
Setiap perusahaan harus mengisi kepatuhan norma ketenagakerjaan secara mandiri di laman itu. Setelah pengisian, pengawas ketenagakerjaan akan memverifikasi jawaban. Hasil pengisian dituangkan dalam laporan hasil verifikasi dan diberikan skor tingkat kepatuhan terhadap norma ketenagakerjaan.
Namun, pengawasan masih menjadi persoalan karena jumlah pengawas ketenagakerjaan terbatas. Lokasi perkebunan yang cenderung terpencil ikut menyulitkan pengawasan.
Khusus buruh sawit, Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan (Serbundo) Herwin Nasution mengatakan, ekspansi kebun sawit perlu dihentikan untuk mengevaluasi banyak hal, terutama sistem ketenagakerjaan. Buruh adalah bagian terbanyak di industri kebun sawit, tetapi mereka tidak sejahtera.
Pemerintah, kata Herwin, juga perlu mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Buruh Perkebunan. Daerah pun didorong membentuk peraturan daerah guna melindungi pekerja.