Polisi Ini Raih Gelar Doktor karena Soroti Hilangnya Sanksi Pidana bagi Pejabat yang ”Main” Izin Tambang
Kapolres Lumajang AKBP Boy Jeckson meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Pelita Harapan setelah menyoroti hilangnya sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan izin tambang.
Oleh
KHAERUDIN
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kapolres Lumajang Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Boy Jeckson Situmorang meraih gelar doktor ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan dengan predikat summa cum laude atau dengan pujian tertinggi. Boy berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ”Rekonstruksi Sanksi Pidana dalam Kebijakan Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berorientasi pada Keadilan Ekologis” dalam sidang terbuka di Gedung Hope Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, Sabtu (29/7/2023).
Dalam disertasi tersebut, Boy menyoroti hilangnya sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Menurut Boy, aturan hukum baru dalam penerbitan izin usaha pertambangan berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Predikat kelulusan dengan pujian tertinggi tersebut disampaikan langsung oleh Rektor Universitas Pelita Harapan (UPH) Jonathan L Parapak, yang bertindak sebagai ketua sidang promosi doktor. ”Tim penguji memutuskan untuk mengangkat saudara Boy Jeckson Situmorang menjadi doktor dalam bidang ilmu hukum dengan yudisium summa cum laude, dengan pujian tertinggi,” kata Jonathan.
Boy yang kariernya banyak dihabiskan di lingkungan reserse kepolisian ini kerap menangani perkara pertambangan ilegal sejak masih menjabat sebagai perwira pertama. Disertasi Boy secara khusus menyoroti hilangnya sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan IUP dan IUPK dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut Boy, sebelumnya dalam Pasal 165 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat sanksi bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan IUP atau IUPK. Boy mengatakan, penghapusan sanksi pidana bagi pejabat yang main-main dengan izin usaha pertambangan ini berdampak serius pada maraknya tindak pidana lingkungan. Pada gilirannya, kerusakan ekologis terutama di daerah dengan banyak lokasi tambang mudah terjadi akibat dihapuskannya sanksi bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan izin tambang.
”Dihapuskannya sanksi pidana kepada pejabat yang menyalahgunakan wewenang ini memberi ruang bagi maraknya tindak pidana dalam penerbitan izin pertambangan minerba di Indonesia,” ujar Boy.
Dihapuskannya sanksi pidana kepada pejabat yang menyalahgunakan wewenang ini memberi ruang bagi maraknya tindak pidana dalam penerbitan izin pertambangan minerba di Indonesia.
Ironisnya menurut Boy, sanksi pidana bagi pelaku usaha pertambangan dan masyarakat justru diatur secara tegas dalam UU yang baru. ”Padahal, di sisi lain, UU Nomor 3 Tahun 2020 ini secara tegas mengatur sanksi pidana kepada pelaku usaha pertambangan maupun masyarakat, tetapi tidak kepada pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya dalam pemberian izin usaha pertambangan,” ujarnya.
Boy menilai sebenarnya pengawasan terhadap pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan izin pertambangan sangat penting. Terutama untuk mewujudkan tata kelola pertambangan yang berorientasi pada keadilan ekologis dan kesejahteraan warga di sekitar lokasi tambang.
”Tentu saja hal ini menjadi potensi masalah dalam pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Padahal, pengawasan terhadap penyenggaraan kewenangan pemberian izin ini tidak hanya penting untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara yang berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi juga sebagai usaha memberikan keadilan ekologis dalam artian melestarikan serta menjaga keberlangsungan dari lingkungan hidup agar dapat diwariskan sebaik-baiknya kepada generasi penerus,” tutur mantan Kapolres Nganjuk ini.
Sebelum menyelesaikan program doktor di UPH, Ajun Komisaris Besar Boy menamatkan pendidikan jenjang magister hukum di Universitas Diponegoro. Rekam jejak Boy sebagai reserse yang berkutat dalam penanganan kasus-kasus pidana lingkungan sudah dimulai sejak dia mendapat penugasan di Kalimantan Timur. Di sana Boy sering menangani kasus pertambangan ilegal. Termasuk saat menjabat sebagai Kapolsek Loa Janan Polres Kutai Kertanegara yang wilayahnya didominasi pertambangan batubara.
Perbandingan Aturan tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Infografik