Inisiatif Perikanan Berkelanjutan di Sentra Gurita Mentawai
Jeda tangkap menjadi salah satu ikhtiar Desa Sinaka menjaga populasi komoditas perikanan agar bisa menjadi sumber penghidupan secara berkelanjutan.
Masyarakat nelayan penangkap gurita di Desa Sinaka, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, berikhtiar menerapkan perikanan berkelanjutan. Jeda tangkap mulai diberlakukan di area tertentu agar populasi gurita terjaga. Inisiatif ini muncul dari pengalaman buruk penangkapan berlebihan komoditas teripang dan lobster di masa lampau.
Di bawah terik matahari menjelang siang, lima nelayan bahu-membahu memasang bendera berdasar putih dengan tulisan merah di perairan Pulau Beriulou. Mula-mula batu pemberat bendera diturunkan ke dasar perairan. Kemudian, menyusul bendera bertiang kayu yang dilengkapi pelampung.
Pekerjaan dari atas perahu itu tak mudah di saat laut biru bergelombang dan angin bertiup kencang. Namun, tugas yang dikerjakan perwakilan nelayan ini tuntas juga. Bendera berkibar di empat penjuru perairan pulau kecil ini. Tulisan di bendera tampak jelas, ”Ditutup Sementara, Dilarang Melakukan Penangkapan Biota di Wilayah Ini”.
Baca juga: Pabrik Terkendala Listrik, Nelayan di Mentawai Kesulitan Mendapatkan Es
Pemasangan keempat bendera itu menjadi penanda jeda tangkap di perairan Pulau Beriulou radius 50-100 meter dari bibir pantai. Kebijakan ini diinisiasi masyarakat dan pemerintah Desa Sinaka dengan pendampingan Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai. Jeda tangkap berlaku selama 17 Juni-26 Agustus 2023.
”Penutupan aktivitas di pulau ini merupakan upaya kami menjaga populasi gurita. Kami berharap selama penutupan perkembangan gurita dan biota lainnya meningkat,” kata Tarsan Samaloisa, Kepala Desa Sinaka, saat peresmian jeda tangkap di pulau berluas 1,8 kilometer persegi itu, Sabtu (17/6/2023).
Selama jeda tangkap, kata Tarsan, masyarakat dilarang beraktivitas di Pulau Beriulou, baik di darat maupun di perairan. Area seluas 1,8 kilometer persegi yang ditutup itu diawasi oleh sepuluh anggota Kelompok Masyarakat Pengawas ”Sijago Koat” yang berarti ”Penjaga Laut” dalam bahasa Mentawai.
Desa Sinaka, yang berpenduduk 2.189 jiwa, terletak di ujung selatan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Wilayahnya dari tengah hingga selatan pesisir timur Pulau Pagai Selatan. Desa dengan panjang garis pantai sekitar 200 km ini memiliki pulau kecil terbanyak di Pagai Selatan, yakni 20-an pulau, serta 100-an gosong karang.
Kondisi tersebut membuat wilayah Desa Sinaka kaya akan potensi perikanan. Masyarakat desa pun menggantungkan hidup dari hasil melaut. Sekitar 90 persen warga desa, kata Tarsan, bekerja sebagai nelayan dan dengan bertani sawah dan ladang sebagai sampingan.
Menangkap gurita (Octopus spp) merupakan sumber pencarian utama nelayan di Desa Sinaka beberapa tahun terakhir. Dari total 200-300 nelayan di desa ini, 150 nelayan di antaranya penangkap gurita. Sisanya menangkap ikan, lobster, dan teripang.
Berkah gurita
Komoditas gurita pun menjadi berkah bagi masyarakat Desa Sinaka. Selain populasinya melimpah, harga gurita pun melonjak sejak 2020. Harga di tingkat nelayan saat itu mencapai Rp 65.000 per kilogram untuk ukuran besar atau grade A (≥1 kg). Sekarang harga gurita grade A di tingkat nelayan Rp 45.000 per kg, sedangkan grade B (<1 kg) Rp 25.000 per kg.
”Saat musim gurita, penghasilan bisa Rp 300.000-Rp 500.000 per hari. Bahkan, jika sedang banyak, bisa dapat Rp 1 juta,” kata Muhammad Ilyas Vical Saogo (32), nelayan penangkap gurita Dusun Sinaka, Jumat (16/6/2023).
Nelayan Desa Sinaka menangkap gurita dengan menyelam di perairan dangkal pada kedalaman 5-10 meter di sekitar pulau atau gosong karang. Mereka menggunakan peralatan selam, seperti snorkel dan kaki katak. Alat tangkapnya berupa tombak besi.
Biasanya nelayan pergi menangkap gurita dengan kelompok kecil sejak pagi hingga sore. Mereka menuju lokasi dengan perahu bermesin tempel. Di dalam perahu itu juga diangkut sampan kecil 2-3 unit. Nelayan menyelam berpencar dengan sampan-sampan itu.
Fasilitas dan biaya operasional menangkap gurita, termasuk perahu dan BBM, ditanggung oleh penampung. Penampung mendapat keuntungan dari selisih harga gurita yang dibeli dari nelayan.
Sutrisno Madogaho (33), nelayan di Dusun Sinaka, juga menjadikan tangkapan gurita sebagai penghasilan utama. Maret lalu, misalnya, hasil gurita tangkapan Sutrisno 15-30 kg per hari. Jika semua tangkapan gurita itu dihargai Rp 45.000 per kg, penghasilannya Rp 675.000 hingga Rp 1,35 juta per hari.
Sutrisno menjelaskan, ia mulai rutin menangkap gurita sejak 2018. Harga gurita saat itu masih Rp 10.000 per kg. Lambat laun, harga gurita semakin bagus dan pengepul tambah banyak. Menangkap gurita pun menjadi tren di kalangan nelayan.
“Dulu gurita cuma untuk makan keluarga, sekarang untuk sumber ekonomi,” kata Sutrisno, yang sebelumnya merupakan penangkap teripang di Desa Sinaka, Senin (19/6/2023).
Berkah gurita dirasakan pula oleh Jertianus Madogaho (47), nelayan sekaligus penampung gurita di Desa Sinaka. Beberapa tahun terakhir ia beralih fokus jadi penangkap dan penampung gurita dari sebelumnya penangkap dan penampung teripang. Komoditas gurita dirasa lebih menguntungkan dan perputarannya cepat.
“Teripang perputarannya lambat, sekali sebulan dijual ke Sikakap, mencarinya juga susah. Kalau gurita, lebih cepat perputarannya, sekali sepekan,” kata Jerti, yang saat ini memodali 6-8 nelayan untuk menangkap gurita, Kamis (15/6/2023).
YCM Mentawai mencatat, selama periode Maret 2022-Maret 2023, hasil tangkapan gurita nelayan di dua dusun desa ini, yaitu Dusun Sinaka dan Dusun Koritbuah, mencapai 22 ton. Selama musim gurita (Oktober-Maret/April), hasil tangkapan bisa mencapai 8 ton per bulan. Saat tidak musim, hasil tangkapan berkisar 1-2 ton per bulan.
Para penampung di Desa Sinaka menjual gurita ke tauke di Sikakap, pusat perdagangan di Pulau Pagai Utara-Selatan. Kadang-kadang penampung di Desa Sinaka menjual gurita ke kapal ikan yang singgah ke desa. Dari Sikakap, gurita perusahaan pengekspor gurita di Padang ataupun Medan.
Baca juga: Buah Kesetiaan Adat dan Budaya di Mentawai
Masa lalu
Namun, penangkapan gurita yang menjadi tren di Desa Sinaka tak lepas dari bayang-bayang kejadian masa lalu. Komoditas teripang dan lobster pernah mengalami masa jaya, tetapi kemudian runtuh, terutama karena penangkapan berlebihan. Gejala itu mulai dirasakan pada komoditas gurita.
Sutrisno merasakan, populasi gurita mulai berkurang. Tahun 2018, saat musim gurita, hasil tangkapannya rata-rata sekitar 60 kg per hari, bahkan pernah 83 kg per hari. Adapun Maret lalu, saat musim gurita, hasil tangkap Sutrisno paling tinggi 30-an kg per hari.
Selain itu, ukuran gurita juga semakin kecil. Menurut Sutrisno, di awal-awal ia menangkap gurita dulu, tak sulit menemukan gurita ukuran 2-5 kg per ekor. Sekarang gurita dengan ukuran sebesar itu semakin langka.
Sekarang gurita dengan ukuran sebesar itu semakin langka.
Dari sisi penampung, gejala berkurangnya populasi gurita juga dirasakan Jerti. Kondisi tersebut diyakini akibat penangkapan gurita tanpa henti. Hal itu tidak hanya karena andil nelayan, tetapi juga ada andil pengepul gurita di Sikakap.
Kata Jerti, dulu ada masa istirahat menangkap gurita 4-5 bulan, terutama saat gurita sedang tidak musim. Sekarang, penangkapan gurita berlangsung sepanjang tahun. Nelayan terus menangkap gurita karena pengepul di Sikakap juga tidak berhenti membeli.
“Saat masih ada istirahatnya, menangkap gurita lebih mudah, tidak perlu jauh-jauh. Di pantai dekat rumah saja bisa dapat 20-40 kg per hari, bahkan ada yang 50 kg. Sekarang sudah sulit begini karena gurita terus ditangkap,” kata Jerti.
Selain penangkapan berlebihan, penggunaan alat tangkap terbaru, seperti pancing gurita tiruan, diduga ikut berpengaruh. Vical mengatakan, pancing gurita tiruan tidak selektif sehingga gurita kecil pun bisa tertangkap. “Kami tidak pakai pancing karena bisa memusnahkan gurita-gurita kecil,” katanya.
Tarsan menceritakan, desa yang ia pimpin juga pernah diberkahi dengan teripang dan lobster di masa lalu. Teripang dan lobster ditangkap dengan cara menyelam puluhan meter di dasar laut dengan menggunakan mesin kompresor sebagai alat bantu napas.
Masa keemasan teripang, kata Tarsan, berlangsung tahun 1980-an hingga tahun 1990-an. Mayoritas nelayan saat itu fokus menangkap teripang. Namun, akibat penangkapan berlebihan, teripang semakin sulit didapat.
Muhammad Idris Maulana Salam (35), warga Dusun Sinaka, sempat merasakan sisa-sisa kejayaan teripang saat memulai menjadi penampung hasil laut tahun 2010. Satu nelayan bisa menghasilkan 80-100 kg teripang kering per dua pekan dengan harga Rp 250.000 per kg.
Namun, sejak 2014, kata Idris, yang juga menjabat Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sinaka ini, hasil komoditas teripang benar-benar memudar. Saat ini, satu nelayan cuma bisa menghasilkan 5-10 kg teripang kering per dua pekan. Harga teripang kering melambung tinggi, mencapai Rp 800.000 per kg.
Tarsan melanjutkan, setelah era teripang, giliran lobster menjadi primadona. Para nelayan berbondong-bondong berburu lobster. Namun, lagi-lagi karena penangkapan berlebihan dan alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti menggunakan potas, lobster kemudian juga sulit didapat.
"Nelayan Desa Sinaka sudah di ujung pemanfaatan bisa menikmati, seperti gurita ini. Dulu masa kejayaan teripang dan lobster, kebanyakan yang menangkap dan menikmati nelayan dari luar. Mereka dikendalikan para pedagang. Ketika era gurita ini, kami bersyukur masyarakat di sini bisa memanfaatkannya," kata Tarsan.
Ikhtisar menjaga
Tidak mau masa kejayaan komoditas gurita hanya tinggal cerita seperti teripang dan lobster, muncul inisiatif dari warga dan pemerintah Desa Sinaka untuk menjaga sumber pencarian masyarakat itu. Ikhtiar tersebut diawali dengan pembentukan peraturan desa (perdes). Warga didampingi oleh YCM Mandiri sejak November 2021.
Setelah melalui proses panjang, Pemerintah Desa dan BPD Sinaka menetapkan Perdes Nomor 2 tentang Tata Kelola Wilayah Perikanan Tradisional Berkelanjutan pada Februari 2023 lalu. Perdes ini mengatur agar wilayah perikanan tradisional masyarakat desa bisa dikelola secara lestari dan memberikan hasil berkelanjutan.
Perdes Sinaka Nomor 2 Tahun 2023 antara lain mengatur lokasi wilayah perikanan tradisional desa, penguasaan wilayah perairan dusun/kampung, alat tangkap yang diizinkan dan dilarang, batas minimal ukuran tangkapan, jeda tangkap, dan pengawasan.
Untuk jeda tangkap, penerapannya mulai diuji coba sejak 17 Juni lalu di Pulau Beriulou, satu dari 34 titik tangkap perikanan di Desa Sinaka. Dengan ini diharapkan gurita punya waktu untuk berkembang sehingga ukurannya lebih besar dan populasinya terjaga. Jika hasilnya bagus, jeda tangkap akan dilakukan bergilir di semua titik tangkap.
"Nelayan sekarang bergantung pada hasil tangkapan gurita dan ikan. Dengan upaya ini, kami berharap jangan putus lagi sumber penghasilan masyarakat. Potensi darat lemah, kami di kawasan hutan. Lalu ekor pulau. Untuk perkebunan sangat kecil. Satu-satunya diharapkan ya komoditas perikanan ini," kata Tarsan.
Sama seperti kita, alam juga butuh pemulihan. Kalau dieksploitasi terus, kapan dia akan pemulihan, jumlahnya tentu akan berkurang.
Manajer Program Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat YCM Mentawai Yuafriza mengatakan, penangkapan gurita di Desa Sinaka hampir dilakukan sepanjang tahun, kecuali saat cuaca buruk. Selain itu, sebagian nelayan juga masih menangkap gurita ukuran kecil, bahkan ukuran 200 gram.
”Jika ini terus-menerus terjadi, tentu akan mengancam sumber daya gurita dan keberlanjutan spesiesnya,” kata Yuafriza, Sabtu (27/7/2023). Penerapan Perdes Sinaka Nomor 2 Tahun 2023, termasuk pengaturan jeda tangkap, menjadi salah satu instrumen untuk mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan.
Menurut Yuafriza, jeda tangkap dapat menjadi media belajar warga Desa Sinaka untuk bersama-sama memulai pentingnya menjaga ketersediaan sumber daya perikanan. “Konsistensi pelaksanaan jeda tangkap ke depan diharapkan dapat menjaga keseimbangan ketersediaan sumber daya perikanan, terutama gurita,” ujarnya.
Penerapan jeda tangkap pun direspons positif oleh para nelayan di Desa Sinaka. Sutrisno, misalnya, mendukung kebijakan tersebut karena akan berdampak baik pada populasi dan ukuran gurita. “Kalau gurita habis, ya, habis juga mata pencarian kami,” katanya.
Secara terpisah, Pejabat Bupati Kepulauan Mentawai Fernando Jongguran Simanjuntak mengapresiasi inisiatif masyarakat dan pemerintah Desa Sinaka. Meskipun belum teruji secara ilmiah, jeda tangkap tersebut bisa jadi media belajar masyarakat bersama-sama.
“Sama seperti kita, alam juga butuh pemulihan. Kalau dieksploitasi terus, kapan dia akan pemulihan, jumlahnya tentu akan berkurang. Apa yang dilakukan masyarakat ini sangat baik dan sangat perlu kita dukung,” ujar Fernando, yang sebelumnya menjabat Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Selasa (25/7/2023).