Petaka Rakit Tenggelam di Buton Tengah, Operator Ditetapkan sebagai Tersangka
Rakit berukuran 8,3 meter x 2,3 meter itu diketahui maksimal menampung 20 orang. Akan tetapi, operator mengangkut 69 orang. Sebanyak 15 orang tewas saat rakit tenggelam di Teluk Mawasangka.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aparat kepolisian menetapkan operator rakit yang tenggelam di Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, sebagai tersangka. Rakit yang tenggelam dan menyebabkan 15 orang tewas tersebut diketahui ditumpangi 69 orang, tiga kali lipat lebih dari kapasitas maksimal.
Direktur Polairud Kepolisian Daerah Sultra Komisaris Besar Faisal Florentinus Napitupulu mengungkapkan, setelah penyelidikan, pihaknya menetapkan operator kapal berinisial S (50) sebagai tersangka. Pelaku diduga lalai sehingga menyebabkan hilangnya nyawa 15 orang pada kejadian rakit tenggelam di Buton Tengah, awal pekan ini.
”Tersangka dikenai Pasal 302 Undang-Undang No 17/2008 tentang Pelayaran dan Pasal 359 KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara. Kami memohon maaf penetapannya sedikit terlambat karena untuk meminta keterangan korban butuh waktu, di mana para korban selamat sedang berduka,” kata Faisal, di Kendari, Jumat (28/7/2023).
Kecelakaan laut ini terjadi di Teluk Mawasangka Tengah pada Senin (24/7/2023) pukul 00.20 Wita. Sebanyak 15 penumpang yang semuanya warga Desa Lagili, Kecamatan Mawasangka Timur, tewas dalam kejadian ini.
Menurut Faisal, dari data awal yang dihimpun, total penumpang sebanyak 48 orang, dengan 33 orang selamat. Akan tetapi, setelah pendalaman dan penyelidikan, total penumpang di kapal tersebut mencapai 69 orang. Sebanyak 66 orang berasal dari Desa Lagili dan tiga orang dari Desa Wambuloli.
Padahal, ia melanjutkan, rakit tersebut hanya dapat menampung 20 orang dalam sekali penyeberangan. Rakit penyeberangan tersebut hanya memiliki panjang 8,3 meter dan lebar 2,3 meter. Dalam penyeberangan juga tidak ada pelampung dan jaket penyelamat.
”Akhirnya, ketika kapal berpenumpang lebih tersebut kecelakaan menimbulkan korban jiwa. Kami juga telah berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk mencari langkah terbaik agar keselamatan masyarakat terjamin dan mata pencarian operator tidak hilang. Ke depan, kami akan ambil keterangan dari dinas perhubungan setempat terkait rakit ini,” tuturnya.
Penyeberangan dengan rakit, ia menambahkan, adalah moda transportasi utama masyarakat antardesa dan kecamatan yang dibatasi teluk tersebut. Dengan rakit, hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk menyeberang. Sementara perjalanan menggunakan transportasi darat bisa memakan waktu hingga tiga jam.
Operator kapal, S (50), menceritakan, sebelum kejadian, ia mengantar para tetangganya tersebut dari Desa Lagili, Mawasangka Timur, menuju Desa Lakorua, Mawasangka Tengah. Para tetangga, kerabat, termasuk seorang anaknya bermaksud mengikuti perayaan HUT Buton Tengah yang dipusatkan di Kecamatan Mawasangka.
”Di situ sudah banyak yang naik. Saya bilang sudah terlalu banyak, tapi tetap naik. Kami menyeberang ke Desa Lakorua, dan lancar. Satu penumpang itu dikenai tarif Rp 5.000,” katanya.
Setibanya di Desa Lakorua, ia menunggu di pelabuhan hingga pukul 00.00 Wita. Ia bermaksud untuk kembali mengantar para penumpangnya tersebut ke kampung. S mengaku hanya dirinya yang menjalankan rakit hingga selarut itu.
Dalam perjalanan pulang ke Desa Lagili, penumpang berjubel di atas rakit. Di tengah perjalanan melintasi teluk sepanjang hampir 1 kilometer tersebut, ia mematikan mesin karena menghindari tali bagang. Namun, sesaat setelahnya, kapal mulai miring ke kiri dan air mulai naik.
”Di situ pincara (rakit) mulai tenggelam dan orang mulai lompat ke air. Pincara lalu terbalik. Di tengah laut, saya bilang pegang bodi pincara biar tidak tenggelam. Setelahnya saya tidak ingat, dan baru sadar lagi di pantai. Saya cari anak saya karena ada juga jadi penumpang, dan dia selamat. Kalau tahu kejadian begini, saya tidak ambil banyak penumpang,” tuturnya.
Marlina (18), salah seorang korban selamat, menceritakan, ia bersama puluhan penumpang lain menaiki rakit tersebut untuk pulang ke rumahnya di Desa Lagili, Mawasangka Timur. Mereka baru saja mengikuti perayaan HUT Buton Tengah yang dipusatkan di Mawasangka, Minggu malam. Kedua wilayah ini dibelah Teluk Mawasangka Tengah dan akses transportasi paling mudah menuju dua daerah tersebut adalah menggunakan rakit.
Rakit yang menjadi andalan penyeberangan warga tersebut idealnya hanya ditumpangi 15-20 orang dalam sekali penyeberangan.
Para penumpang berdesakan di atas rakit kecil tersebut. Sebagian besar adalah remaja, juga anak-anak. Di tengah perjalanan, rakit bocor dan miring. Para penumpang melaporkan hal ini kepada operator yang menjalankan rakit tersebut.
”Tapi operatornya bilang tidak apa-apa. Habis itu kapal tambah miring dan air naik. Kami semua jatuh ke laut. Saya berusaha selamatkan diri berenang sampai tenaga habis. Alhamdulillah saya selamat,” ujarnya.
Sementara itu, Penjabat Bupati Buton Tengah Andi Muhammad Yusuf menuturkan, rakit penyeberangan yang kelebihan penumpang memang tidak bisa dibenarkan. Rakit yang menjadi andalan penyeberangan warga tersebut idealnya hanya ditumpangi 15-20 orang dalam sekali penyeberangan.
Ke depan, ia melanjutkan, pihaknya akan mengkaji hal ini, utamanya terkait aspek keselamatan dan kapasitas. ”Tentunya ini menjadi perhatian kami karena menyangkut nyawa. Di sisi lain, penyeberangan dengan rakit tersebut adalah moda utama yang menjadi andalan warga,” katanya.