BUMDes Kaduela di Kuningan, Telaga Biru Lawan Rentenir
BUMDes Arya Kemuning di Kabupaten Kuningan tidak hanya memberikan pendapatan dari sektor wisata. Kehadirannya menawarkan bekal literasi dan berbagi untuk warga di sekitarnya.
Badan Usaha Milik Desa Arya Kamuning di Kaduela, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bukan kaleng-kaleng. BUMDes ini memberdayakan warga, menghasilkan miliaran rupiah dari pariwisata, hingga menjadi agen literasi keuangan inklusif melawan jebakan rentenir.
Sepak terjang BUMDes ini kembali tampak saat peluncuran Ekosistem Literasi Keuangan Inklusif dan Desa Sadar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Sabtu (22/7/2023). Berbagai instansi turut serta mendukung acara itu.
Mulai dari Kantor Otoritas Jasa Keuangan Cirebon, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon, BPJS Ketenagakerjaan Cirebon, Bank Negara Indonesia Kuningan, hingga pemerintah daerah. Saking banyaknya yang terlibat, pidato sambutan sampai tujuh kali oleh pejabat setiap lembaga.
Meski demikian, ratusan warga tetap antusias, termasuk yang duduk melantai di atas rumput saat siang terik. Mereka bahkan sudah bersiap sejak subuh untuk ikut jalan santai. Maklum, warga juga menanti acara inti: pengumuman undian doorprize dengan hadiah utama sepeda motor.
Baca juga : Jois Harsa, Serba Bisa Membangun Desa
Bagi Iyom Maryam (47), Ketua Kelompok Wanita Tani Barokah Lestari, kegiatan itu adalah berkah. Meski tak dapat sepeda motor, kelompoknya mendapat pesanan 600 dus berisi penganan dalam acara itu.
”Alhamdulillah, dapat uang untuk jajan anak,” ucapnya tersenyum.
Menariknya, dodol hingga keripik stik pisang itu bersumber dari lingkungan setempat. Bahkan, Iyom bersama 12 anggotanya pernah membuat dodol tomat ketika harga komoditas itu anjlok hingga Rp 400 per kilogram awal tahun ini. Padahal, biasanya mencapai Rp 8.000 per kg.
Selain memanfaatkan bahan baku setempat, kreativitas itu juga lahir setelah Iyom berkolaborasi dengan BUMDes Arya Kamuning setahun terakhir. Tidak hanya menikmati promosi seperti acara siang itu, mereka juga mendapatkan bantuan modal Rp 1 juta. Mereka pun merasa berdaya.
”Dari pada di rumah aja lihat-lihat HP (handphone), mending aktif di sini. Yang penting, tugas di rumah tidak ditinggalkan. Makanya, ada yang bilang, KWT itu kelompok wanita tangguh,” ujarnya tertawa. Kerja sama KWT dengan BUMDes juga membuat ibu-ibu bisa healing.
”Uang lelah bikin kue kami belikan seragam dan jalan-jalan naik odong-odong ke 'Bali' alias Balongan Indah di Indramayu (Jabar). Ha-ha-ha,” ucap Iin Yunani (39), Bendahara KWT Barokah Lestari. Iin yang sebelumnya merantau 20 tahun di Jakarta pun kini sibuk dengan aktivitas ekonomi di desa.
Iin pulang kampung sejak 2021 setelah suaminya meninggal. Awalnya ia khawatir dua anaknya tidak betah di desa. Apalagi, perputaran uang di daerah tidak sebanyak di kota.
”Ternyata, saya bisa sibuk di sini. Kan, ada tempat wisata. Anak-anak juga nyaman,” ujarnya.
Karyawan BUMDes yang mengelola tempat wisata digaji bulanan sesuai upah minimum Kuningan, berkisar Rp 2 juta. Sekitar 200 pekerja pun telah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Cuan wisata
Desa di lereng Gunung Ciremai itu memang layak jadi tujuan wisata. Ada Telaga Biru Cicerem yang menyuguhkan panorama telaga berwarna biru. Paling anyar adalah Side Land, yakni kolam renang di alam terbuka dengan pemandangan sawah serta seluncuran sepanjang 40 meter.
”Dalam sebulan bisa 20.000 pengunjung yang datang ke dua tempat wisata itu,” ucap Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim, pengelola destinasi tersebut. Dengan harga Rp 15.000 per orang, potensi pendapatan dari tiket di tempat wisata itu saja bisa mencapai Rp 300 juta sebulan.
”Pendapatan kami per tahun bisa Rp 3 miliar. Tahun lalu, BUMDes kami berkontribusi Rp 532 juta untuk pendapatan asli desa,” ucap Iim, yang mulai memimpin lembaga itu sejak Oktober 2020. Bahkan, 15 bulan pertama berjalan, BUMDes itu menghasilkan lebih dari Rp 580 juta.
”Kami juga ada CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) untuk pengajian, sekolah, anak yatim, sampai penerangan jalan,” ungkap Iim, yang pernah merantau ke Jakarta. Sekitar 200 warga dari berbagai usia terlibat dalam destinasi wisata itu. Mulai dari petugas tiket hingga fotografer.
Bahkan, menurut Iim, beberapa karyawan BUMDes yang mengelola tempat wisata digaji bulanan sesuai upah minimum Kuningan, berkisar Rp 2 juta. Sekitar 200 pekerja pun telah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Di luar itu, warga yang berdagang juga meraup rezeki.
Iim menilai, berbagai capaian BUMDes itu bukan hanya karena memanfaatkan anugerah alam, tetapi juga merupakan buah inovasi dan kolaborasi. Pembayaran tiket masuk destinasi wisata, misalnya, kini dengan nontunai via Standar Kode Respons Cepat Indonesia atau QRIS.
Sebanyak 63 pedagang di area wisata juga telah memanfaatkan QRIS. Transaksi jual beli secara nontunai pun sudah lazim di desa yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kantor Bupati Kuningan itu. Pihaknya turut menggunakan aneka media sosial untuk promosi wisata.
Selain mengelola destinasi wisata, BUMDes Arya Kamuning juga mengembangkan literasi keuangan inklusif. Literasi kepada warga itu, antara lain, menyangkut edukasi pengelolaan keuangan, pemanfaatan produk keuangan, hingga pencegahan pinjaman daring ilegal.
Adapun keuangan inklusif mencakup akses warga pada jasa keuangan, seperti perbankan formal. Pihaknya menjadi agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif atau Laku Pandai. Dengan program OJK ini, warga bisa menikmati layanan perbankan tanpa ke kota.
Warga hanya cukup datang ke BUMDes setempat. Hingga kini sudah ada 260 rekening baru BNI dan 14 simpanan pelajar melalui Laku Pandai. Pihaknya berusaha menghadirkan perbankan di desa serta ingin menyadarkan pentingnya masyarakat mengatur keuangan.
Baca juga : OJK Kembangkan Ekosistem Literasi Keuangan Inklusif di Desa Wisata Kuningan
Lawan rentenir
Apalagi, sejumlah orang dari luar desa kerap menawarkan pinjaman berbunga tinggi. ”Di sini banyak 'bank emok' keliling. Warga pinjam pagi, tetapi harus bayar sore. Jadi, warga gali lubang tutup lubang. Ini memberatkan. Bahkan, pernah ada spanduk menolak bank itu,” ungkapnya.
Iim sadar, tidak mungkin menghapus aktivitas bank keliling. Namun, dengan literasi keuangan inklusif, pihaknya perlahan melepaskan warga dari jeratan rentenir.
”Kami tidak bisa melarang tanpa memberikan solusi. Makanya kami buat solusinya dulu,” ucap bapak tiga anak ini.
Hingga kini sekitar 200 nasabah telah mengakses pinjaman dari perbankan umum melalui Laku Pandai. Mereka meminjam Rp 1 juta hingga Rp 5 juta. Cici Fitrianingsih (40), warga setempat, misalnya, baru dua bulan ini mengambil kredit dari BUMDes Rp 1 juta untuk modal usaha.
Setiap bulan, ia harus mengangsur Rp 115.000 selama 10 bulan. ”Bagi kami, ini sangat membantu kalau dibandingkan dengan bank mingguan yang bunganya tinggi sekali. Kalau tidak bayar dikejar-kejar. Saya pernah daftar bank mingguan, tetapi belum sempat pinjam,” katanya.
Ia mengurungkan rencana pinjam di bank mingguan atau disebut ”bank emok” karena khawatir tidak bisa melunasinya. ”Dengar-dengar, pinjaman Rp 1 juta, bayaran per minggunya itu bisa sampai Rp 120.000 selama beberapa bulan. Belum juga dipakai, uangnya sudah habis,” katanya.
Menurut Cici, banyak ibu-ibu terjerat karena maraknya tawaran bank mingguan dan lebih praktis dibandingkan harus ke kota untuk meminjam di bank umum. Namun, setelah BUMDes menjadi agen Laku Pandai, lanjutnya, warga pun mulai lepas dari jeratan bank keliling tersebut.
Kepala Subbagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen Kantor OJK Cirebon Panny Malangsari mengatakan, selain bank keliling, pinjaman online atau pinjol ilegal juga mengancam warga desa. Apalagi, penawaran pinjaman ilegal bisa menjangkau siapa saja yang punya telepon pintar.
Hingga pertengahan tahun ini, pihaknya menerima 622 pengaduan dan konsultasi warga dari wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan atau Ciayumajakuning.
”Sekitar 17 persen itu terkait pinjol ilegal,” ucap Panny.
Pihaknya mengakui, literasi keuangan inklusif masih menjadi pekerjaan rumah. Apalagi, dari sekitar 4 juta warga di Ciayumajakuning, literasi keuangan baru menjangkau sedikitnya 4.000 orang. Itu sebabnya, Panny mendorong berbagai pihak ikut berperan dalam mengedukasi masyarakat.
BUMDes Arya Kamuning menjadi contoh baik. Lembaga ini tidak hanya mengelola potensi desa untuk menghasilkan cuan dan memberdayakan masyarakat, tetapi juga mencegah warga terjerat rentenir.
Baca juga : Kreativitas Warga Cirebon Perbaiki Nasib