Cukong Merajalela, Tambang Emas Ilegal di Pulau Buru Sulit Ditutup
Area tambang emas ilegal di Pulau Buru, Maluku, sulit dihentikan. Para cukong leluasa beroperasi tanpa takut ditindak aturan hukum.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
NAMLEA, KOMPAS — Hingga Kamis (27/7/2027), aktivitas tambang emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, masih beroperasi. Keberadaan cukong bermodal besar diduga membuat praktik itu tetap berlanjut. Padahal, sudah banyak nyawa melayang di kawasan itu akibat longsor hingga pembunuhan.
Mato (27), petambang Pulau Buru, menuturkan, kini ada ratusan lubang tambang. Setiap lubang dikuasai cukong yang menjadi pemodalnya. Modal untuk satu lubang sedikitnya Rp 100 juta. Setiap lubang biasanya mempekerjakan lima orang.
”Cukong datang dari luar Maluku. Mereka punya uang banyak,” ujarnya.
Modal itu sebagian besar digunakan membeli kayu penahan dinding tanah yang digali hingga lebih dari 30 meter. Dengan diameter kurang dari 2 meter itu, banyak lubang serupa berseliweran di dalam tanah.
”Keberadaan lubang berisiko karena ada di tanah yang sangat labil. Akibatnya, banyak orang tertimbun ketika tanah ambruk. Tidak bisa diselamatkan, bahkan dievakuasi,” tuturnya.
Tidak ada data pasti jumlah petambang yang tewas. Selain kecelakaan kerja, penyebab kematian adalah konflik sesama petambang.
Meski begitu, Mato menyebutkan, para petambang bekerja tanpa takut. Bukan dipicu potensi kecelakaan kerja, alasannya ada cukong menjamin keamanan mereka.
Jika ada rencana penertiban, petambang sudah mendapatkan informasi awal dan segera menyingkir. Setelah dirasa aman, mereka bakal datang lagi.
Semua itu setara dengan hasil pengolahan emas di Gunung Botak. Meski ada yang gagal, banyak cukong yang beruntung bisa meraup untung hingga dua kali lipat.
Tidak heran, kini ada sedikitnya 13.000 petambang yang mengadu nasib di sana sejak tahun 2011. Luas kawasan tambang bahkan mencapai 250 hektar.
Sebelumnya, Royke Lumowa, Kepala Polda Maluku 2018-2020, mengatakan, saat bertugas di Maluku, ia pernah ”digoda” sejumlah cukong. Royke ditawari suap belasan miliaran rupiah per bulan jika membiarkan tambang ilegal terus beroperasi.
Royke menolaknya. Dia tetap menutup lokasi tambang tersebut selama bertugas di sana. Royke juga rutin datang ke Gunung Botak untuk memastikan tambang tidak beroperasi. Namun, setelah Royke dimutasi, aktivitas tambang kembali beraktivitas.
Profesor Yusthinus T Male dari Universitas Pattimura, Ambon, mendesak tambang emas ilegal segera ditutup. Alasannya, kerusakan lingkungan sudah semakin parah. Salah satu pemicunya adalah penggunaan zat berbahaya, seperti merkuri dan sianida.
Hasil penelitian Yusthinus pada 2015, konsentrasi merkuri di sedimen, air, dan biota laut di pesisir sudah jauh melebihi ambang batas. Kini, setelah delapan tahun, konsentrasi merkuri dipastikan jauh lebih tinggi.
”Belum ada penelitian lanjutan, tetapi yang pasti kondisi lingkungan semakin parah,” katanya.
Ke depan, Yusthinus mendesak pemerintah pusat, lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, segera menetapkan Gunung Botak sebagai wilayah pertambangan. Tujuannya agar Gunung Botak dikelola dengan prinsip kelestarian lingkungan.
Sebelumnya, MIND.ID, holding pertambangan di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara, telah mendorong PT Aneka Tambang Tbk menjajaki peluang usaha pertambangan di Gunung Botak. Langkah pertama adalah menggelar pertemuan dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat (Kompas, 23/6/2023).