Kecelakaan laut di sejumlah daerah hingga mengakibatkan korban jiwa menunjukkan bahwa aspek keselamatan dalam pelayaran di perairan Nusantara masih terabaikan.
JAKARTA, KOMPAS — Aspek keselamatan dalam pelayaran rakyat cenderung terabaikan. Korban jiwa terus berjatuhan. Selain karena keterbatasan sarana dan belenggu kemiskinan di pesisir, kesadaran sebagian warga dan nelayan terhadap aspek keselamatan juga masih minim.
Rentetan insiden kecelakaan di perairan terjadi selama beberapa hari terakhir. Di Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, 15 orang meninggal saat rakit penyeberangan yang ditumpangi tenggelam di perairan Teluk Mawasangka Tengah, Senin (24/7/2023) pukul 00.20 Wita. Sebanyak 33 penumpang lain selamat.
Rakit yang menjadi andalan penyeberangan warga tersebut idealnya ditumpangi 15-20 orang sekali penyeberangan. Saat insiden terjadi, penumpang mencapai 48 orang.
Di Kalimantan Selatan, Mahfud (50), nelayan, dilaporkan hilang saat melaut mencari udang di perairan Kabupaten Tanah Laut. Ia diduga tenggelam setelah perahunya ditemukan terbalik akibat dihantam gelombang, Senin. Hingga kemarin, pencarian korban belum membuahkan hasil.
Rara Rahmita Nurafifah, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, Banjarmasin, menyampaikan, gelombang tinggi berpotensi terjadi di perairan selatan Kalsel atau Laut Jawa serta perairan Kotabaru. Pada Senin, tinggi gelombang berkisar 2,5-3,5 meter. Kondisi itu berbahaya bagi pelayaran, terutama bagi nelayan kecil.
Di Jawa Timur, kecelakaan Kapal Layar Motor Putri Kuning terjadi di Selat Madura, tepatnya di perairan Giligenting, Sumenep, Rabu (19/7/2023) pukul 02.00. Kapal terkena cuaca buruk dan diduga menabrak instalasi rig atau anjungan lepas pantai milik perusahaan minyak dan gas bumi. Kapal rusak dan tenggelam. Sebanyak 2 penumpang meninggal, 1 orang hilang, dan 7 lainnya selamat.
Korban meninggal ditemukan terombang-ambing di perairan. Korban selamat ditolong nelayan dan pemancing setelah terombang-ambing memanfaatkan material yang mengapung. Fakta ini menguatkan kenyataan bahwa pelayaran Putri Kuning tidak ditunjang dengan kelengkapan dasar dan standar untuk menjamin keselamatan jiwa, yakni jaket keselamatan atau pelampung.
Sementara itu, Kepolisian Resor Sumenep belum dapat memastikan kabar dua penumpang—lelaki dan perempuan—yang juga menaiki Putri Kuning dan hilang. Keberadaan mereka diungkapkan oleh saksi korban selamat, tetapi tak tercatat di manifes.
Kecelakaan fatal yang dialami terutama oleh pelayaran rakyat dan nelayan tradisional memperlihatkan ada pengabaian aspek keselamatan. Kecelakaan fatal di laut berarti ada pengabaian keselamatan sebagai aspek paling penting.
Kasus kecelakaan laut lainnya di perairan Jatim, antara lain, menyangkut kematian nelayan saat mencari penghidupan. Mereka melaut tanpa melengkapi diri dengan kelengkapan dasar. Saat melaut, kapal bocor atau rusak dan tenggelam akibat dihantam cuaca buruk dan ombak.
Mereka lalu menceburkan diri ke laut. Namun, gara-gara tak memiliki jaket apung dan gagal memanfaatkan benda mengapung, mereka kehilangan nyawa. Hal ini dialami Abdul Aziz (43), nelayan Gresik yang tewas tenggelam di perairan Bangkalan, 27 Februari lalu. Ada pula Widji (58), nelayan Lamongan, yang tenggelam di perairan Jenu, Tuban, Maret 2023.
Fatal
Guru Besar Kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Ketut Buda Artana menilai, kecelakaan fatal yang dialami terutama oleh pelayaran rakyat dan nelayan tradisional memperlihatkan ada pengabaian aspek keselamatan. Kecelakaan fatal di laut berarti ada pengabaian keselamatan sebagai aspek paling penting. Ketiadaan pelampung dan kealpaan pengawasan sehingga ada penumpang yang tidak tercatat dalam dokumen perjalanan menjadi kesalahan mendasar.
”Padahal, life jacket (pelampung) terjangkau. Minimal, dalam operasi nelayan atau membawa penumpang, life jacket harus disediakan sesuai jumlah orang di kapal,” ujar Ketut.
Dari kasus Putri Kuning, dengan dua penumpang yang tidak tercatat, tetapi tenggelam dan belum bisa dipastikan, lanjutnya, hal ini menandakan pengabaian keselamatan oleh aparatur negara dalam pengawasan. Seharusnya, aparatur di Pelabuhan Panarukan tidak mengizinkan Putri Kuning berlayar jika tak ada kelengkapan standar, apalagi ada penumpang tak masuk manifes.
”Itu belum termasuk, misalnya, konstruksi kapal yang ideal, apalagi teknologi yang jika mahal akan benar-benar memberatkan sehingga diabaikan. Inilah lingkaran setan dalam keselamatan pelayaran,” katanya.
Secara terpisah, dalam keterangan tertulis, Bupati Sumenep Achmad Fauzi menyatakan terus mendorong program perlindungan nelayan melalui Sistem Keamanan Pelayaran (SiKapal). Sistem identifikasi otomatis (AIS) ini berupa alat elektronik yang dapat mengirim sinyal darurat ke peladen narahubung 112.
”Semacam panic button (tombol panik) untuk mempercepat SAR,” ujarnya.
Di Kalimantan Tengah, kecelakaan di perairan terjadi hampir setiap bulan. Kepala Seksi Operasi Kantor Pencarian dan Pertolongan Kota Palangkaraya Salman menyatakan, sebagian besar kecelakaan terjadi lantaran kesalahan manusia, terutama karena tak mengindahkan keamanan selama menggunakan moda transportasi air.