”Layar Tanjleb” Festival Film Purbalingga, Hiburan Gratis yang Menggerakkan Ekonomi
Program ”layar tanjleb” atau layar tancap dalam rangka Festival Film Purbalingga digelar di 24 lokasi di wilayah Banyumas Raya. Selain memberi hiburan gratis bagi warga, acara ini juga menggerakkan perekonomian.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Beralaskan rumput dan beratapkan awan, sekitar 1.000 orang duduk di lapangan SD Negeri 1 Toyareja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu (22/7/2023) malam. Sebagian dari mereka memakai jaket tebal dan sarung untuk menghalau hawa dingin. Sambil mengunyah sosis bakar, mi telor, dan pentol, mereka asyik menonton film yang diputar di layar besar.
Di antara orang-orang itu ada Miftahul Anwar (38) yang datang bersama istri dan anak laki-lakinya. Setelah melepas sandal, mereka lalu duduk di pinggir pagar sekolah. Mata mereka lekat pada layar besar di ujung lapangan yang menayangkan film.
Sesekali mereka berkomentar dan tertawa menyaksikan adegan film yang diputar dengan proyektor. ”Senang bisa ikut nonton di sini. Ini jadi hiburan buat masyarakat,” tutur Miftahul.
Pemutaran film di lapangan itu merupakan bagian dari program layar tanjleb atau layar tancap yang digelar dalam rangka Festival Film Purbalingga. Dalam acara itu digelar pemutaran film di tempat terbuka yang bisa dinikmati masyarakat secara gratis.
Bagi Miftahul dan keluarganya, menonton film secara gratis di acara itu merupakan kesempatan yang langka. Miftahul menuturkan, keluarganya biasanya menghabiskan akhir pekan dengan nonton televisi di rumah atau berkunjung ke rumah teman.
”Biasanya kalau malam minggu main ke rumah teman atau nonton televisi di rumah, tapi ini bisa bersama-sama menonton bareng sekeluarga,” tutur Miftahul.
Di dekat keluarga Miftahul, duduk pula Santosa (26) dan istrinya, Dwi Pangestu (22). Sambil menyantap mi telor, keduanya asyik menonton film. ”Saya dapat info ini dari teman. Karena penasaran, jadi kami main ke sini. Ternyata asyik, kayak pacaran lagi,” kata Santosa.
Malam itu, ada sejumlah film yang diputar, misalnya Ebeg Sejoli, Mantu Kiai, Jatah Lurah, Pedangan, Babad Wingking Griya, serta Petualangan Menangkap Petir. Film-film karya sineas muda di wilayah Banyumas Raya itu diputar mulai sekitar pukul 20.00 hingga pukul 23.00.
Masing-masing film itu menyampaikan kisah yang berbeda-beda. Dalam film Mantu Kiai yangdisutradarai Muchammad Risadi Ali Romadon, misalnya, dikisahkan perjuangan sepasang suami-istri yang menghadapi keterbatasan ekonomi. Sang suami pun harus bekerja menggarap sawah almarhum ayahnya demi menafkahi keluarga.
Sementara itu, film Pedangan menampilkan dialog-dialog sarat makna dan pesan mendalam dengan adegan berlatar perdesaan. Film karya sutradara Olivia Nur Andini itu berkisah tentang pasangan suami istri yang masih tinggal di rumah orangtua. Suami-istri itu kemudian bertekad hidup mandiri dengan membeli rumah sendiri.
Namun, ibu dari sang suami sempat keberatan dengan keinginan itu karena dia merasa khawatir jika harus tinggal sendirian di rumah. Permasalahan itu kemudian berhasil diselesaikan melalui percakapan dari hati ke hati yang dilakukan di pedangan atau dapur yang terdapat meja makan untuk makan bersama.
Film produksi Hika Production dari SMK HKTI 2 Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara, Jateng, itu ditutup dengan adegan pedangan di rumah sang ibu yang menjadi sunyi. Setelah itu, terdengar suara air mendidih yang dimasak di dalam cerek.
”Film-filmnya bagus dan sederhana, mencerminkan kehidupan sehari-hari. Kalau nonton film-film itu, saya jadi teringat film Si Doel Anak Sekolahan yang juga menggambarkan kehidupan sehari-hari,” kata Santosa.
Dampak positif
Direktur Festival Film Purbalingga Nanki Nirmanto mengatakan, pada Festival Film Purbalingga 2023 ada 24 titik lokasi pagelaran layar tanjleb di wilayah Banyumas Raya, mulai dari Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, hingga Kebumen.
”Film yang diputar adalah film yang menurut kami secara budaya bisa diterima oleh masyarakat luas karena konsep layar tancap sendiri adalah terbuka untuk umum. Jadi, bisa dikonsumsi untuk semua usia,” kata Nanki.
Film-filmnya bagus dan sederhana, mencerminkan kehidupan sehari-hari.
Selain menjadi hiburan bagi warga yang menonton, ajang ini juga menjadi kesempatan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk menambah pemasukan. Sebab, penyelenggaraan layar tanjleb selalu diikuti dengan kehadiran puluhan pedagang. Ada yang berjualan makanan, minuman, dan mainan anak.
”Alhamdulillah ini sejak sore sampai sekarang, laku lumayan banyak,” kata Dinda Yani (40), pedagang sosis bakar yang juga warga desa setempat.
Malam itu, Yani bisa menjual 240 tusuk sosis bakar ukuran kecil dengan harga Rp 2.000 per buah serta 96 tusuk sosis besar dengan harga Rp 5.000 per buah. Penghasilannya pun mencapai sekitar Rp 960.000.
Dengan kondisi itu, pergelaran layar tanjleb seolah menegaskan temuan Teguh Trianton dan Arif Hidayat dalam buku Hasil Pemetaan Festival Film Purbalingga (2023). Dalam buku itu disebut, Festival Film Purbalingga memberi dampak positif, baik di sisi ekonomi maupun pewarisan nilai-nilai luhur di dalam masyarakat.
Aktivitas menonton bersama di lapangan dalam acara layar tanjleb juga dinilai penting untuk mengajak masyarakat menanggalkan sikap individual dan kembali ke ruang komunal. Di ruang komunal itu, masyarakat bisa saling bertegur sapa sehingga silaturahmi bisa kembali terjalin.