Aleng dan keluarganya, petani yang dituduh mencuri di kebunnya sendiri, jalani sidang kedua. Ia, anak, dan iparnya diancam tujuh tahun penjara karena memanen sawit.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kuasa hukum Aleng dan keluarganya mengajukan eksepsi dalam persidangan kedua. Kuasa hukum menilai dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat soal kepemilikan lahan.
Aleng Sugianto (58), Suwadi (40), dan Maju (51) merupakan satu keluarga asal Desa Kinjil, Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng, yang ditangkap karena dituduh mencuri di kebunnya sendiri. Aleng merupakan ayah Suwadi dan Maju merupakan iparnya.
Ketiganya ditangkap karena dituduh mencuri di kebun plasma yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan perkebunan sawit, yakni PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA). Meskipun lahan atau kebun tempat mereka memanen merupakan kebun mereka sendiri yang sebelumnya dibuktikan dengan bukti kepemilikan tanah. Perusahaan melaporkan mereka karena tanaman sawit yang ada di kebun tersebut merupakan milik perusahaan. Perusahaan tersebut mengalami kerugian mencapai Rp 2,9 juta.
Pada Selasa (18/7/2023) siang, digelar sidang kedua yang dipimpin Hakim Ketua Erick Ignatius Christoffel dan dua hakim anggota, yakni Widana Anggara Putra dan Firmansyah, dengan agenda sidang pembacaan eksepsi dari kuasa hukum para terdakwa.
Aryo Nugroho Waluyo, kuasa hukum terdakwa, mengungkapkan, pihaknya menilai dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat dan lengkap. Menurut dia, jaksa tidak menguraikan bukti kepemilikan PT BGA yang merasa dirugikan karena ada panen sawit dari Aleng dan keluarganya.
”Dalam dakwaan juga tidak menjelaskan peran masing-masing para terdakwa karena pada pasal dakwaan menyebutkan tentang penyertaan, yaitu di Pasal 55 KUHP, tetapi siapa berbuat apa tidak diuraikan JPU,” kata Aryo yang merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya.
Aryo menambahkan, dalam eksepsinya juga diuraikan soal proses pelanggaran hak terdakwa karena saat proses berita acara pemeriksaan dibuat di kepolisian tidak didampingi oleh penasihat hukum. ”Tiga hal itu menjadi poin utama eksepsi, kami berharap hakim bisa melihat hal ini,” ungkapnya.
Dalam dakwaan juga tidak menjelaskan peran masing-masing dari para terdakwa karena pada pasal dakwaan menyebutkan tentang penyertaan, yaitu di Pasal 55 KUHP, tetapi siapa berbuat apa tidak diuraikan JPU.
JPU dari Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat Yudhi Satriyo Nugroho tidak ingin berkomentar terkait sidang hari itu. Pihaknya akan memberikan tanggapan dari eksepsi kuasa hukum terdakwa pada sidang minggu depan.
”Ini kan pembacaan eksepsi kalau ditanya tanggapannya saya gak bisa komen, tunggu sidang berikutnya saja,” kata Yudhi Satriyo Nugroho yang merupakan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat.
Plasma
Persoalan Aleng berawal mula dari perjanjian plasma dengan perusahaan perkebunan sawit di desanya. Aleng merasa tidak mendapatkan keuntungan dari kesepakatan plasma antara dirinya dan perusahaan sehingga memutuskan keluar dari kesepakatan.
Tahun 2020, Aleng keluar dari perjanjian tersebut ditandai dengan keluarnya surat dari pengurus koperasi atau pengurus kebun plasma PT BGA. Karena merasa sudah keluar dari perjanjian, Aleng pun mulai mengelola kebunnya itu, termasuk sawit yang sudah ditanam di dalamnya.
Dalam pertemuan dengan Kompas, Corporate Affair PT BGA Jauhari Mahkrus menjelaskan, pihaknya dirugikan dengan aktivitas Aleng di kebun itu dengan memanen sawit milik perusahaan. Ia juga mengaku sudah beberapa kali memberi peringatan kepada Aleng dan keluarga sebelum akhirnya melaporkan kejadian itu ke kepolisian.
”Pelaporan ini untuk memberikan efek jera agar tidak merugikan anggota plasma lainnya,” ungkap Jauhari. Dirinya, saat ini, menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum yang sedang berlangsung.