Ketimpangan Distribusi Dokter Masih Menjadi Persoalan di Bali
Bali masih menghadapi persoalan distribusi dokter di daerah. Dokter berpraktik terkonsentrasi di Denpasar dan sekitarnya. Di Banyumas, Jateng, seorang dokter menyatakan tak ada masalah mengurus surat tanda registrasi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA, MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
DOKUMENTASI DOKTER
Pertengahan Juni 2023, tim investigasi harian Kompas bekerja sama dengan seorang dokter untuk mengikuti sebuah seminar kedokteran di Jakarta Utara. Seminar ini diselenggarakan dua hari dengan biaya Rp 2,5 juta. Menurut dokter tersebut, seminar ini terbilang longgar. Peserta tidak diminta mengisi pretest dan posttest. IDI mewajibkan panitia melakukan pretest dan posttest untuk seminar yang lebih dari dua hari.
DENPASAR, KOMPAS — Jumlah dokter di Bali dinilai relatif sudah mencukupi, tetapi distribusi dokter di Bali diakui masih timpang. Dokter berpraktik masih terkonsentrasi di Kota Denpasar dan sekitarnya.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Bali I Gede Putra Suteja mengatakan, dengan jumlah dokter di Bali sekitar 4.060 orang, maka rasio dokter dan penduduk di Bali sudah mendekati rasio dokter yang diatur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni satu dokter melayani 1.000 orang. Namun, jumlah dokter berpraktik di Bali, menurut Suteja, masih terkonsentrasi di kawasan Kota Denpasar, Badung, dan Tabanan serta Gianyar.
”Seperti halnya persoalan yang dihadapi secara nasional, masalah di Bali adalah distribusi dokter di daerah,” kata Suteja kepada Kompas di Denpasar, Senin (17/7/2023). Selain persoalan distribusi dokter di daerah yang masih timpang, menurut Suteja, keberadaan rumah sakit di Bali juga masih terpusat di kawasan kota.
Mengacu laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali tentang banyaknya tenaga kesehatan menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali pada 2022, jumlah dokter di Bali pada 2022 sebanyak 4.069 orang. Dari sejumlah 4.069 orang dokter di Bali itu, 2.224 orang berpraktik di Kota Denpasar. Adapun jumlah rumah sakit umum di Bali, berdasarkan laporan BPS Provinsi Bali pada 2022, sebanyak 68 rumah sakit. Sebanyak 15 rumah sakit tersebut berlokasi di Kota Denpasar.
Lebih lanjut Suteja menyatakan, kebijakan pemerintah untuk menambah dokter di Indonesia, antara lain, dengan memperbanyak jurusan kedokteran di perguruan tinggi bukanlah solusi, yang tepat, untuk jangka panjang. Walaupun jumlah dokter di Indonesia diakui masih kurang, penambahan jurusan kedokteran itu dikhawatirkan memunculkan persoalan baru di kemudian hari.
”Persoalan yang utama yang masih dihadapi sekarang adalah ketimpangan distribusi dokter,” kata Suteja. ”Menurut pendapat saya pribadi, persoalan distribusi dokter itu justru dijawab pemerintah dengan solusi produksi, yakn, membuka dan menambah jurusan kedokteran. Seharusnya persoalan distribusi dokter itu dijawab dengan kebijakan pendistribusian dokter,” ujarnya lebih lanjut.
Suteja menambahkan, regulasi pemerintah mengenai penempatan dokter di daerah terpencil, terutama dokter spesialis, sebaiknya dikuatkan meskipun aturan mengenai pendayagunaan dokter spesialis saat ini sifatnya sukarela dan tidak lagi kewajiban bagi dokter spesialis baru lulus.
Tidak ada masalah
Di Banyumas, Jawa Tengah, hal berbeda diutarakan dokter Henry Christianto, dokter umum yang telah 12 tahun berkarya di daerah tersebut. Ia menyebutkan, selama ini tidak ada masalah yang rumit dalam mengurus surat tanda registrasi (STR) dokter untuk mendapatkan satuan kredit profesi (SKP) karena sudah menggunakan sistem online atau dalam jaringan.
”Dengan sistem online sebenarnya gampang. Di sini tinggal upload syarat-syaratnya,” ujar Henry.
Sertifikat bernilai satuan kredit profesi (SKP) kedokteran yang didapat Kompas ketika mengikuti sebuah seminar daring dari Surabaya, Jawa Timur, (Sabtu/24/6/2023).
Bagi Henry, mengurus segala persyaratan untuk STR dan SKP menjadi kesempatannya untuk meng-upgrade diri.
”Sebenarnya bukan masalah susah atau repot, melainkan tinggal menyempatkan waktu untuk si dokter itu. Soalnya, secara terbilang, bagi saya, seminar kadang menjadi sarana menambah ilmu. Jadi up-date-nya terus jalan. Dengan adanya diharuskan untuk mendapatkan SKP dari seminar, mau tidak mau kita jadi belajar lagi. Di situ mungkin sudah lupa, lalu ada update ulang. Misalnya pengobatan ini sudah ada update-nya dan juga dipaksa untuk membaca jurnal,” katanya.
Dalam mengikuti seminar, kata Henry, sebelum Covid-19 biasa dilakukan secara offline dan perlu membayar hingga sekitar Rp 2 juta. Seminar itu biasanya diadakan di Yogyakarta atau Jakarta. Hal itu, menurut dia, masih terjangkau.
”Biasanya kalau seminar offline itu biayanya agak lumayan. Namun, kalau dipikir-pikir, bagi saya, seminar itu justru untuk keluar dari kejenuhan,” katanya.