Masa Depan Suram Anak-anak Penyintas Gangguan Ginjal Akut
Lumpuh, tidak bisa bernapas dan makan secara normal. Pendengaran dan penglihatan pun terbatas. Semua itu kini diderita sebagian anak yang sebelumnya sembuh dari gangguan ginjal akut progresif atipikal.
Bibir anak balita itu bergetar dan matanya melotot saat perawat memasukkan selang lewat hidung menuju lambungnya. Perlahan air mata menetes ke pipinya yang pucat.
”Sabar ya, nak,” kata Eva Nurmala (35), Rabu (14/6/2023).
Nasifa nama anak berusia 3 tahun 7 bulan itu. Ia satu dari ratusan anak korban obat sirop mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di Indonesia.
Nasifa tinggal di Kota Batam, Kepulauan Riau. Sepuluh bulan lalu, dia mengalami demam dan batuk. Ayahnya, Lamhari (40), membeli obat batuk Unibebi Cough Syrup di apotek dekat rumah. Obat itu dikonsumsi Nasifa.
Belakangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis sirop produksi PT Universal Pharmaceutical yang diminum Nasifa itu termasuk obat dengan cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas.
Nasifa sempat koma karena ginjalnya rusak. Ia harus dirawat di Rumah Sakit Badan Pengusahaan (RSBP) Batam sekitar tiga bulan.
Baca Juga: Dampak Lanjutan Mengintai Anak dengan Gangguan Ginjal Akut
Nasifa juga satu dari sedikit anak yang mampu bertahan dari obat beracun itu. Dari 326 pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) akibat keracunan EG dan DEG di Indonesia, hanya 122 anak bertahan hidup.
Jauh dari perhatian orang banyak, hampir semua dari 122 anak yang bertahan itu tidaklah dapat kembali pulih seperti sedia kala. Salah satunya Nasifa yang mengalami kelumpuhan setelah mengonsumsi obat dengan EG dan DEG.
Kadang saya ngerasa (kondisi saat) ini bahkan lebih buruk dari kematian. Kasihan Nasifa kalau sampai besar nanti begini terus. (Eva Nurmala)
Dokter spesialis anak yang menangani Nasifa di RSBP Batam, Ronald Chandra, Minggu (18/6/2023), mengatakan, anak itu mengalami gejala sisa yang mengarah kepada cerebral palsy atau kemunduran motorik. Hal itu diprediksi menetap. Kecil kemungkinan Nasifa bisa kembali normal.
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sekaligus Ketua tim pencari fakta (TPF) Mufti Mubarok menyatakan, yang sembuh dari GGAPA tidak pulih 100 persen, malah ada efek sangat fatal. Banyak korban yang dinyatakan sembuh oleh pemerintah ternyata lumpuh.
Lebih dari kematian
”Kadang saya ngerasa (kondisi saat) ini bahkan lebih buruk dari kematian. Kasihan Nasifa kalau sampai besar nanti begini terus,” kata Eva.
Selain tidak bisa menggerakkan hampir seluruh anggota tubuhnya, Nasifa tidak merespons sentuhan, suara, maupun penglihatan. Ia hanya dapat mengonsumsi susu yang dialirkan lewat selang dari hidung ke lambungnya.
Selain itu, Nasifa juga tidak bisa bersuara karena tindakan trakeostomi dilakukan di bawah pita suara. Tindakan itu dibutuhkan untuk membantu Nasifa bernafas.
Tragedi Nasifa mengguncang kehidupan keluarganya. Semua sumber daya keuangan habis untuk kebutuhan Nasifa, padahal Eva dan Lamhari masih punya dua anak lainnya.
Nasifa bersama orangtua dan dua saudaranya tinggal di rumah kontrakan. Lamhari berprofesi sebagai sekuriti di perusahaan perkapalan dengan upah Rp 4,5 juta per bulan.
Eva bergabung dalam grup orangtua anak-anak dengan penyakit parah di daerah lain. Lewat aplikasi Tiktok, mereka menggalang dana bantuan dari warganet yang peduli.
Di Jakarta, ada Tay David Sulu (36) dan Septiana Juwita Sari (29), warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang mengalami seperti keluarga Eva. David hanya bekerja sebagai kurir sementara Septiana fokus mengurus Alvaro (4), anak mereka yang juga lumpuh.
Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil di Jalan Masjid, Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di kontrakan itu hanya ada tikar, kasur, dan alat rumah tangga seadanya.
"Susunya Alvaro ini khusus, delapan kali sehari, sebulan Rp 3 juta untuk susu saja, belum beras, gula. Kalau kontrol harus naik taksi daring. Bapaknya kerja tidak selalu bisa mengantar," kata Septiana sambil menggendong anaknya yang terus merengek di kontrakannya, Minggu (9/7/2023).
Alvaro mengalami GGAPA sejak diberi obat sirop parasetamol yang diduga mengandung senyawa EG dan DEG oleh salah satu rumah sakit di Lenteng Agung untuk mengobati demamnya pada 28 September 2022.
Setelah diperiksa, dia divonis terkena GGAPA. Dokter merujuk Alvaro ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat untuk cuci darah. Dia dirawat intensif di Pediatric Intensive Care Unit (ICU anak) dan rawat inap enam bulan di RSCM.
Diduga karena kelelahan fisik maupun pikiran, Septiana sampai kehilangan anak keduanya di usia kehamilan 8 bulan.
Sampai saat ini, Septiana rutin mengantar Alvaro ke RSCM. Alvaro cuci darah tiap Senin dan Kamis. Selasa jadwal kontrol ke dokter spesialis nutrisi dan neurologi pediatri. Rabu mengambil hasil cuci darah dan obat-obatan. Jumat menjalani rehabilitasi medik. Semua biaya kontrol ditanggung BPJS Kesehatan, tetapi mereka harus bersiasat untuk mengurus anaknya di rumah.
Menanti pertanggungjawaban
Kini David dan Septiana menanti pertanggungjawaban pemerintah atas kelalaian mengawasi obat yang beredar luas. Bersama orangtua korban lain, mereka melakukan gugatan kelompok ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mayoritas orangtua korban berasal dari DKI Jakarta itu, menuntut pertanggungjawaban 11 tergugat. Tiga kelompok tergugat, yaitu tiga lembaga pemerintah, dua perusahaan farmasi, dan enam perusahaan penyalur obat. Tiga lembaga pemerintah itu adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
”Sudah mediasi kemarin tetapi tidak mencapai kesepakatan. Jadi 18 Juli 2023 nanti kami menyerahkan revisi gugatan,” kata perwakilan kuasa hukum para korban, Siti Habiba saat dihubungi, Sabtu (8/7/2023).
Baca Juga: Sidang Kembali Ditunda, Keseriusan Para Tergugat Dipertanyakan